Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #12

Celengan Bambu

"Sudah kamu cari ke semua tempat, Dar?" tanyaku berusaha tetap tenang. Aku membantu mencarinya untuk menemukan celengan bambu.

Darinah terlihat lesu sekali. Dia menggelengkan kepala. "Kita harus menemukannya, Mas. Celengan itu sangat berharga. Tidak boleh hilang."

"Iya, Dar. Kita cari sama-sama. Karena rumah ini masih belum banyak barang, pasti mudah untuk menemukannya." Aku berusaha meyakinkan Darinah. Kucari celengan bambu di setiap sudut rumah.

Aku meraba-raba ke kolong tempat tidur, kemudian bernapas lega setelah tanganku merasakan sesuatu yang keras. Aku menemukan benda berbentuk tabung memanjang itu yang ternyata terselip di pinggir dipan. "Ini apa, Dar?"

"Ketemu, Mas?" tanyanya dengan wajah tak percaya.

Darinah bersorak senang. Aku turut bernapas lega. Kesedihan Darinah hilang diganti dengan kegembiraan. Wanita itu memintaku cepat-cepat membelah celengan bambunya.

"Kalau begitu, tolong ambilkan salah satu perkakas di belakang."

Darinah langsung melesat ke arah dapur. Di samping dapur ada sebuah kotak kayu besar berisi banyak alat-alat perkakas.

"Hati-hati, Mas. Jangan sampai uangnya terkena kudi." Kudi adalah perkakas tajam untuk membelah benda keras seperti bambu. Bentuknya mirip dengan parang. Namun, sisi bawahnya lebih melengkung.

Aku mulai membelah bagian berlubang yang biasa digunakan untuk memasukkan uang. Setelah bambu itu terbelah jadi dua, gulungan uang kertas berhamburan bersamaan dengan serbuk kekuningan yang berada di dalam bambu.

Darinah memunguti gulungan uang satu per satu dan membersihkannya dari serbuk bambu. Kedua matanya berbinar cerah. Dia tersenyum amat bahagia. Tetaplah seperti itu, Dar. Jangan pernah tumpahkan lagi air mata kesedihan. Ada aku di sini.

"Aduh! Perih sekali." Darinah mengibaskan tangannya di depan mata. Sepertinya dia kemasukan serbuk bambu.

"Jangan dikucek!" larangku menghentikan tangannya yang hampir mengucek mata. "Biar aku tiup."

Aku meniup kedua mata Darinah yang memerah. Dia mengerjapkannya beberapa kali sesuai perintahku. Namun, ternyata Darinah masih merasakan perih. Air matanya mengalir.

"Tunggulah sebentar! Aku akan segera kembali." Aku bergegas ke samping rumah. Mencari batang kecombrang. Kalau di daerah Banyumas terkenal dengan nama burus. Kebetulan sekali tanaman tersebut tumbuh liar di dekat rumah. Jadi, aku tinggal memangkasnya saja.

Kubersihkan batang kecombrang dengan air. Kemudian bagian luarnya dikupas sedikit. Hingga terlihat bagian dalamnya berwarna putih dan berserat. Kusisir bagian putih berserat tersebut menggunakan pisau. Serabut-serabut putih dari burus sudah terkumpul cukup banyak. Aku memeras serabut putih itu ke sendok. Beberapa tetes airnya keluar.

"Dar, aku biasanya pakai ini kalau mataku sedang bermasalah. Tapi kamu harus tahan sama perihnya."

"Ya sudah, Mas. Lekas teteskan ke mataku. Aku sudah tidak tahan." Kedua mata Darinah terkatup rapat. Dia tak kuasa membukanya karena masih merasakan perih.

Aku merasa tak tega. Namun, ini demi kebaikan Darinah. "Janji, ya, kamu harus kuat. Air burus kalau diteteskan ke mata perih banget."

Darinah sekuat tenaga memaksakan untuk membuka sedikit matanya. Aku mencelupkan ujung jariku ke dalam sendok. Meneteskan air burus ke dua mata Darinah.

"Ah, perih sekali, Mas. Sakit," keluh Darinah, membenamkan kepalanya ke dadaku. Sehingga membuat sendok di tanganku terpental ke tanah.

Aku bisa merasakan sebuah kehangatan. Sebagai seorang istri, Darinah sedang meminta perlindungan dari suaminya, yaitu aku. Di situlah aku merasa dihargai sebagai seorang suami.

***

Aku dan Darinah pergi ke pasar hewan pagi-pagi sekali. Mata Darinah masih sedikit merah akibat insiden bongkar celengan kemarin. Isi celengannya kami gunakan untuk membeli binatang ternak. Nanti agak siangan beberapa ekor ayam dan kambing baru bisa diantarkan ke rumah.

Kami juga sempat memesan kasur kapuk di toko furnitur. Namun, kasurnya baru bisa diantar esok hari.

Setengah hari ini melelahkan sekali. Tenaga kami habis buat muter-muter mencari ayam dan kambing yang cocok. Sempat terjadi perdebatan tawar-menawar di antara aku, Darinah dan para pedagang. Akhirnya, kami bisa mendapatkan harga yang cocok setelah lima kali mengelilingi pasar. Tentunya ditemani dengan sepeda milik Bapak mertua.

Lihat selengkapnya