"Ada apa dengan Haryati, Mas?" tanya Darinah padaku. Dia tadi sempat melihat Haryati yang berlari.
"Kamu tolong bereskan makanan yang jatuh itu, ya, Dar." Aku menunjuk pada makanan terbungkus daun pisang yang tadi dibawa Haryati berserakan di tanah. Piring beling yang dijadikan wadah tidak pecah. Hanya posisinya yang terbalik.
"Baik, Mas."
Kakiku cepat-cepat melangkah menuju rumah mertua. Kupanggil-panggil nama Haryati, tapi dia tak kunjung menampakkan diri. Aku nekat saja masuk ke dalam kamarnya.
"Har, apa yang terjadi?" tanyaku iba melihat gadis berwajah ayu itu menangis sesenggukan. Dia tengah memeluk bantal guling.
"Ke sini, Har. Ceritakan apa yang kamu rasakan." Aku menawarkan bahuku untuk dijadikan oleh Haryati tempat bersandar.
Tanpa butuh waktu yang lama, gadis itu sudah membenamkan kepalanya di dadaku. Berdebar. Itulah yang selalu dirasakan oleh jantungku saat berada di sisinya.
"Maaf, Mas. Kita tidak bisa terus begini. Aku tidak tahu bagaimana kalau berada di posisi Mbak Dar. Dia terlihat bahagia saat sedang bersamamu. Tapi jujur aku tidak sanggup melihat kalian bermesraan seperti tadi." Haryati menyusut ingusnya dengan potongan kain kecil.
Padahal yang dilakukan Darinah hanya menyandar di bahuku. Apanya yang mesra? Aku dan Darinah saja tidak pernah melakukan hubungan selayaknya pasangan suami istri. Berpelukan pun hanya sekali. Namun, kenapa Haryati tampak begitu cemburu? Ah, terkadang memang perasaan wanita sulit sekali dimengerti.
"Maaf, kalau aku melakukan hal yang membuat hatimu terluka, Har." Aku membiarkan tangisnya pecah. Siapa tahu dengan begitu bisa sedikit mengobati luka di hatinya.
"Tidak, Mas. Aku yang salah. Seharusnya aku mundur. Mas Turi milik Mbak Darinah seutuhnya. Aku tidak boleh menjadi orang ketiga di antara kalian. Kalau begini terus, aku merasa menjadi orang jahat yang tidak berperasaan." Haryati tidak memedulikan bajuku yang basah oleh air matanya. Sesekali kaus usangku diremas olehnya.
"Tapi, Har. Biarpun aku adalah suami Darinah, kamu tentu tahu cintaku hanya padamu."
"Tidak, Mas. Kita harus menghentikan semuanya. Menghilangkan perasaan kita masing-masing. Cinta kita tidak terikat oleh apa pun. Lama-kelamaan, kita hanya akan saling menyakiti satu sama lain. Aku memang merasa senang bisa berduaan denganmu. Mendapatkan kasih sayang dan perhatianmu. Tapi semua ini salah." Dengan matanya yang begitu sembab, Haryati menatapku lekat-lekat. "Aku kasihan sama Mbak Dar. Dia yang lebih berhak atasmu."
Naluriku berkata bahwa aku juga ingin mengambil keputusan sama dengan apa yang dikatakan Haryati. Namun, perasaan di dalam hati ini terlampau sulit untuk disingkirkan.