Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #14

Untuk yang Terakhir Kalinya

"Semua yang terjadi adalah kesalahanku. Kata maaf saja tidak akan pernah cukup untuk menebusnya, Dar. Aku tahu itu. Kamu boleh marah dan membenciku. Tolong, jangan hukum aku dengan air matamu. Aku sudah berjanji untuk tidak membuatmu menangis. Sekali ini saja kumohon maafkan aku." Aku duduk bersimpuh di depan Darinah. Kuamati kelopak matanya jarang berkedip. Sungguh, aku takut sekali Darinah akan berubah dingin lagi seperti waktu awal pernikahan kami.

Darinah tetap membeku dengan posisi yang sama hingga larut malam. Tatapannya yang kosong, membuat napasku terasa sesak. Darinah duduk di atas dipan beralaskan tikar dan menyandarkan bahunya ke dinding anyaman bambu.

"Dar, tidurlah! Nanti kamu bisa sakit," bujukku pada Darinah.

"Maaf, aku yang bersalah. Kamu dan Haryati tidak. Semua terjadi karena aku. Aku penyebabnya." Suara Darinah terdengar berat. Dia seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri.

"Sudahlah, Dar. Sekarang tubuhmu butuh untuk istirahat."

"Kalau saja dari awal aku tak membencimu. Kalau saja aku melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Apa mungkin kamu dan Haryati bermain di belakangku? Tidak, Mas. Semua akibat pasti selalu ada sebabnya. Aku sudah merenungkannya. Mari tunaikan kewajiban sebagai suami-istri sekarang juga." Air mata Darinah berjatuhan.

Aku terperangah. "Dar, kamu ini ngomong apa? Jangan pernah melakukan kewajiban karena didasari rasa terpaksa!"

Aku tahu Darinah pasti terluka dengan kenyataan pahit bahwa aku melakukan kesalahan sama setelah mendapatkan maaf darinya. Akan tetapi, tak pernah kusangka efeknya bisa sedahsyat ini.

"Aku sungguh-sungguh, Mas. Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama lagi. Aku tak mau rasa bersalahku semakin menggunung. Biarkan dengan ini aku bisa sedikit mengurangi dosa-dosaku padamu. Aku memintanya dalam keadaan sadar." Darinah menatapku lekat-lekat. Membuatku takut saja.

"Awalnya aku pikir hubunganmu dan Haryati tidak sejauh ini. Aku berusaha untuk ikhlas atas semua yang terjadi. Tapi yang tadi itu sungguh membuat perasaanku tiba-tiba sakit. Aku tidak tahu, mungkin karena kita selalu bersama, akhirnya aku jatuh cinta padamu."

Malam kelabu bertabur bintang di langit menjadi saksi. Inilah pertama kali aku bersetubuh dengan seorang wanita. Aku dan Darinah melakukannya hingga mata kami terlelap.

Darinah yang selalu kokoh dengan pendiriannya, justru dia yang melanggarnya sendiri. Belum genap usianya dua puluh, tapi wanita itu telah menyerahkan mahkotanya yang paling dia jaga.

***

"Maaf, pertempuran semalam membuatku lelah. Aku jadi bangun kesiangan begini." Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Mengamati Darinah yang mukanya terlihat segar. "Kamu sudah mandi, Dar?"

Darinah tampak malu-malu. "Aku sudah mandi, sudah keramas juga. "Ada senyum yang terbit di ujung bibirnya. "Mas, mau kuambilkan sarapan?"

"Kamu memang istri yang cekatan, Dar. Nanti saja. Aku mau mandi dulu. Tolong siapkan handuknya, ya."

"Sudah, Mas. Aku taruh di paku belakang pintu. Embernya juga sudah kupenuhi air semua."

"Terima kasih, Dar."

"Iya, Mas."

"Dar?"

"Iya, Mas?"

"Kamu sudah tidak marah lagi padaku?"

Darinah menggeleng. "Akan lebih baik kalau kita tidak membahas lagi hal itu."

"Aku sungguh-sungguh minta maaf."

"Sudah kumaafkan. Tolong jangan minta maaf terus! Nanti aku malah jadi marah sungguhan." Bibir Darinah merengut.

"Kamu cantik kalau lagi merengut, Dar."

Lihat selengkapnya