Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #15

Perjodohan

Sudah memasuki akhir tahun, pernikahanku dan Darinah tak terasa telah berumur tiga setengah warsa. Aku masih sibuk bekerja di sawah. Namun, sekarang tugasku sedikit berbeda dari yang sebelumnya. 

Kini aku tidak lagi membajak sawah menggunakan tenaga sapi atau kerbau, melainkan dengan mesin traktor. Meski masih banyak petani yang mengandalkan binatang pembajak tersebut, tetapi menggunakan traktor lebih canggih dan memudahkan dalam bekerja. Beberapa teman Bapak mertua mengajariku caranya menjalankan traktor. Bapak mertua juga kadang ikut terlibat saat aku hendak menyalakan mesinnya. 

"Pak, kapan traktornya dikembalikan ke Pak Lurah? Saya merasa tidak enak karena sudah lama meminjam," tanyaku pada Bapak mertua. Traktor yang digunakan olehku memang punya Pak Lurah. Aku menyewanya.

"Tak usah dipikirkan. Pak Lurah sendiri yang bilang, pakai saja sampai selesai pekerjaamu."

Mendengar penuturan dari Bapak mertua, aku menjadi semakin bersemangat bekerja. Berpetak-petak sawah sudah menunggu untuk ditraktor. 

Bapak pamit pulang ke rumah terlebih dahulu karena mendadak perutnya mulas. Aku masih harus melanjutkan membajak dua petak sawah lagi. 

Usai menyelesaikan pekerjaan di sawah, aku langsung pulang diiringi embusan angin sore dan langit yang mulai menggelap. 

"Dar, aku pulang." 

Darinah menyambut dengan senyum sumringah. 

"Syukurlah kalau sudah pulang, Mas. Aku rebuskan air dulu untuk mandi."

Darinah sekarang perhatian sekali dan melayaniku dengan baik. Selesai aku mandi, sudah ada segelas teh manis dan sepiring pisang goreng di atas meja. Aku yang hanya mengenakan kaus berkerah dan bawahan sarung, langsung mencomot pisang goreng hangat. 

"Mas, aku mau membicarakan sesuatu," kata Darinah terlihat sungkan.

Aku menatap wajah manis Darinah. Pipinya tampak semakin berisi saja. "Bicaralah!"

"Apa tidak sebaiknya hasil upah Mas bekerja di sawah kita simpan di bank saja? Biar lebih aman. Soalnya kalau di celengan bambu terus nanti dimakan rayap bagaimana?" kata Darinah ikut mencomot pisang goreng. Dia juga meminum teh manis dalam satu gelas yang sama denganku. Katanya, lebih nikmat satu gelas berdua daripada harus masing-masing gelas. 

Biasanya mendiskusikan banyak hal kami lakukan sebelum tidur. Rupanya istriku ini sudah tidak sabar. Jadi, aku tetap memasang telinga dengan baik untuk mendengarkan. 

"Kalau mau, kamu saja yang atur, Dar. Hari ini aku lelah sekali. Badanku terasa remuk. Tulangku pada linu." Padahal setiap hari Darinah selalu memijit badanku. Namun, keluhanku selalu sama saja. Begitulah memang risiko berkarir di sawah.

Darinah memberengut. "Masa harus aku semua?" 

Aku tahu Darinah pasti juga sangat capek. Selain mengurus rumah dan keperluanku, ada tugas lain yaitu mengurusi hewan ternak. 

"Aku akan sempatkan bantu ngurus ayam sama kambing kalau tidak terlalu sibuk di sawah, Dar."

"Baiklah."

"Kalau sudah ada ayam yang bertelur, tawarkan saja ke tetangga, siapa tahu ada yang mau beli, Dar." 

"Iya, Mas. Aku kadang jual telurnya." 

Kata Darinah, ayam kami sudah bertambah banyak. Ada puluhan. Kambingnya pun sudah beranak tiga ekor. Sekarang lagi bunting lagi. Semakin banyak jumlahnya, membuat beban Darinah semakin bertambah pula. Aku terlalu sibuk di sawah, jadi tidak sempat mengecek binatang peliharaan kami.

"Kalau aku sedang kewalahan, Bapak suka bantu cari pakan buat kambing kita, Mas."

"Oh, ya? Apa tidak diomelin sama Ibu?" 

Lihat selengkapnya