Sewaktu pulang dari sawah, perasaanku masih tak nyaman. Aku membilas tubuh menggunakan air dingin di belakang rumah.
"Dar, apakah pakaianku mau kamu rendam?" teriakku. Biasanya kalau dia mendengar suara air gemericik langsung lari ke belakang.
Darinah tidak menyahut. Kuputuskan untuk merendamnya sendiri saja. Kuguyur kaus dan celana panjang yang dipenuhi lumpur. Kemudian kucampurkan sabun colek dengan sedikit air di ember dan memasukkan baju yang lumpurnya sudah hilang terbawa air.
Karena Darinah tak kunjung menyahut panggilanku, kucari dia ke ruang tamu. Betapa terperanjatnya aku melihat Darinah sedang berjongkok sambil meremas-remas kepalanya. Dia menangis tanpa suara. Kakiku mendadak lemas melihat air mata Darinah yang lagi-lagi harus keluar.
"Dar, katakan apa yang terjadi?"
Kegelisahan semakin menggerogotiku karena kulihat ada seekor ayam tergeletak kaku di samping Darinah. Bulu-bulu hitamnya pada rontok dan tercecer di sekitarnya. Kupeluk tubuh Darinah erat-erat. Tubuhnya yang berisi gemetaran. Pastilah sesuatu telah terjadi, aku tidak mau bertanya lebih lanjut mengingat kondisi Darinah yang tak memungkinkan. Kupapah dia ke tempat tidur.
Barulah setengah jam kemudian, Darinah tampak lebih tenang. Dia mau membuka mulut dan bercerita apa yang sebenarnya telah terjadi padanya.
"Maafkan aku, Mas. Ayamnya mati satu ekor gara-gara aku bunuh." Wanita itu menangis tersedu-sedu.
"Memang kenapa sampai kamu bisa membunuh unggas tak berdosa itu, Dar?" tanyaku penuh penekanan. Bisa-bisanya dia membunuh binatang peliharaan kami itu.
"Ini semua karena aku tertekan. Ibu datang ke rumah, lalu marah-marah."
Aku mengelus dada. Untuk kali pertama ibu mertuaku mau menginjakkan kaki di rumah ini. Namun, kenyataannya begitu menyakitkan, wanita itu memaki-maki istriku, putri kandungnya sendiri. Rasa amarah dan kecewa langsung bergelayut di dalam pikiranku.
"Dua anak kambing kita lepas dari kandang, Mas. Katanya tanaman Ibu banyak yang rusak karena ulah kambing-kambing milik kita. Tanamannya diinjak-injak dan dimakan." Darinah melanjutkan sambil terisak.
"Sebelum kamu pergi, kambing-kambing sudah dikasih makan belum, Dar?" Tadi pagi Darinah berpamitan padaku pergi ke pasar, lalu sekalian ke bank.
"Sudah, Mas. Aku sudah memastikan semua kambing dan ayam-ayam kenyang. Kuberikan mereka makanan yang cukup. Tapi mungkin karena aku pulangnya kelamaan jadi mereka sudah lapar lagi. Ini salahku, kupikir karena lama tak berkunjung ke rumah Nenek, jadi aku mampir ke sana sekalian untuk mengetahui keadaannya. Aku mana tahu kalau hal seperti ini bisa terjadi."
Aku merengkuh tubuh Darinah, menghapus air matanya. "Nanti kita pikirkan jalan keluarnya sama-sama."
Kasihan sekali Darinah, hidupnya jauh dari kasih sayang orang tua sejak kecil. Kini, saat sudah berumah tangga pun, nasibnya belum semujur harapannya.
"Apa sebaiknya kita jual saja ayam-ayam dan kambingnya, Dar? Aku tidak mau kamu ribut sama Ibu terus."
"Tapi, Mas, aku sudah terlanjur nyaman ngurus ayam sama kambing. Aku sudah sayang sama mereka."
Aku bisa mengerti perasaan Darinah, tetapi dia juga harus mengerti dirinya sendiri. Dia akan lebih menderita lagi kalau tetap ngotot mempertahankan ternak-ternaknya.
"Dar, kamu mau mendengarkan omongan suamimu ini, kan? Aku tidak mau melihat kamu ribut lagi sama Ibu." Aku masih berusaha keras membujuk Darinah.
"Padahal hasil jualan ayam dan telur sudah lumayan, Mas. Sayang kalau harus dijual."
"Tidak apa-apa, Dar. Kalau untuk makan, aku rasa hasil dari membajak sawah masih lebih dari cukup. Nanti kita pikirkan lagi kerjaan sampingan yang sekiranya tidak mengganggu orang lain." Aku memberi saran seperti ini demi kerukunan hidup kami dengan orang tua.
***
"Dar, tumben sekali kamu sudah selimutan?"
Darinah membuka bagian selimut yang menutupi wajahnya saat aku mulai naik ke tempat tidur. Wajahnya tampak putih pucat.
"Aku tidak enak badan, Mas."