Aku mengembalikan sepeda milik Bapak mertua begitu kami tiba di rumah. Darinah langsung terkulai di atas kasur.
"Kamu tidak sesumringah tadi, Dar."
"Mungkin efek capek naik sepeda, Mas."
Memang benar, pergi pulang naik sepeda melewati jalan berliku-liku dan naik turun membuat pantat jadi sakit dan sedikit melelahkan. Namun, entah kenapa aku tidak yakin alasan itu yang membuat Darinah terkulai lemah kembali.
"Apa perlu aku membawa dokter tampan itu kemari agar wajahmu kembali cerah, Dar?"
Darinah menatapku bingung. "Astaga, kamu betulan cemburu sama Dokter Lili, Mas?"
Aku tidak mengiyakan. Aku hanya tidak suka Darinah terlihat lebih ceria di depan laki-laki lain ketimbang di depan suaminya sendiri.
"Dar, apa perutmu masih mual?"
"Masih, Mas."
Aku mengambil obat yang diresepkan Dokter Lili dan membaca aturan minum yang tertera di dalam kemasan. "Aku ambilkan makan dulu, Dar. Setelah itu, minumlah obatnya."
Baru memakan dua suapan nasi, Darinah muntah lagi. Bibirnya mengering seperti tanah yang tidak tersentuh oleh air hujan.
"Kita pergi ke dokter lagi, ya?"
"Tidak, Mas. Lebih baik kamu elus-elus saja perutku."
Aku menuruti keinginan Darinah, mengelus-elus perutnya. Tidak lama, dia tertidur. Aku juga ikut tidur.
Aku bangun dari tidurku saat pagi telah menyapa. Rupanya Darinah sudah bangun lebih dulu. Istriku sedang memberi makan ayam-ayam kami di samping rumah.
"Dar, gimana keadaanmu sekarang? Apa perutnya sudah tidak mual?"
"Perutku sudah terasa enakan, Mas. Mungkin obatnya bekerja dengan baik."
Darinah berjongkok. Kulihat ke dalam matanya tampak sendu. Darinah membelai salah satu jengger ayam.
Aku ikut berjongkok, iseng menghitung ada berapa ekor ayam dalam kandang.
"Ayam-ayam kita sudah berjumlah dua puluh lima ekor, Dar?" Aku merasa kaget sekaligus takjub. Selama ini memang aku terlalu disibukkan dengan pekerjaan di sawah, jadi kurang perhatian sama hewan ternak kami.
"Iya, Mas. Belum termasuk yang mati dan kujual. Semua kalau ditotalkan ada tiga puluh satu ekor."
Aku meloloskan napas panjang. Pantas saja Darinah berat melepaskan binatang ternak kami, rupanya dia pandai dalam berbisnis dan mampu melipatgandakannya.
"Dar, bagaimana kalau yang kita jual kambing-kambingnya saja?"
"Bagaimana kalau kandang kambingnya saja yang diperbaiki?" Raut Darinah tidak ikhlas.
"Dar, kambingnya semakin hari semain tumbuh menjadi kambing yang kuat. Aku rasa percuma saja kalau kandangnya diperbaiki, mereka tetap bisa menerobos keluar."
"Aku tahu maksudmu, Mas."