Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #19

Pertengkaran

Caci maki Ibu mertua kepada Darinah terdengar amat menyakitkan. Sambil berderai air mata, Darinah berusaha melawan seperti orang kesetanan.

"Sudah kubilang berapa kali, Bu. Mas Turi akan merapatkan kandang biar kambingnya tidak kabur terus. Tapi Ibu tidak sabaran." Darinah berteriak-teriak. Suaranya melengking menyakiti gendang telinga.

"Heh, anak sial! Kamu tahu berapa kerugian yang disebabkan kambing-kambingmu terhadap tanaman-tanamanku?"

Anak sial? Darinah disebut oleh ibunya sendiri seperti itu. Seketika hatiku mencelus mendengarnya. Rasanya pasti sakit sekali jadi Darinah.

Darinah pergi ke belakang. Dalam hitungan detik, dia kembali membawa sebuah celurit.

"Ibu kalau membenciku silakan bunuh saja aku, Bu. Daripada aku punya seorang Ibu, tapi tak pernah merasakan kasih sayang. Daripada aku hidup dan membawa sial lebih baik aku mati di tangan ibuku sendiri." Darinah menyerahkan celurit ke tangan ibunya.

"Asal Ibu tahu, aku juga tidak pernah menginginkan terlahir dari rahim Ibu. Bunuh saja aku sekarang, Bu!" Darinah nekat menyodorkan lehernya. Seolah-olah siap untuk ditebas.

Aku langsung berlari dan merebut celurit dari tangan Ibu mertua yang mematung. Kuseret tubuh Darinah menjauh dari sang ibu.

Haryati tiba terlebih dahulu sebelum Bapak mertua muncul tepat di belakangnya.

"Bu, kita pulang, ya," bujuk Haryati sambi berderai air mata.

"Kamu jangan pernah seperti kakakmu, Har. Dia bukan manusia." Wanita yang rambutnya selalu digelung itu meninggalkan rumah kami. Haryati turut di belakangnya.

Bapak mertua tidak berkata apa pun. Namun, matanya menyiratkan kesedihan dan kekecewaan mendalam.

Darinah terduduk di tanah. Tubuhnya terlihat lemah sekali. Mungkin tenaganya habis karena berteriak-teriak dari tadi.

"Sabar, Dar. Kita harus menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Bagaimanapun Ibu tetap orang tua yang harus kita hormati. Jangan terlalu keras terhadapnya."

"Maafkan ibumu, Dar. Maafkan aku juga yang tidak becus menjalankan peran sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah," imbuh Bapak mertua.

"Aku sudah berusaha sabar, Pak. Tapi lihat sendiri, Ibu tidak pernah mau menganggapku. Bagaimana dia memperlakukanku layaknya seorang musuh. Lalu aku harus diam saja begitu, Pak?" Darinah menutupi wajah dengan kedua tangan. Seolah ingin menunjukkan betapa rapuh dirinya.

"Aku mengerti perasaanmu. Ayo kita pindah ke kamar!" Aku menuang segelas air dari kendi untuk diminum oleh Darinah.

"Minumlah airnya, lalu beristirahatlah di kamar."

Wanita itu menghabiskan minumannya. Lalu pergi ke kamar sesuai perintahku.

Sementara itu, Bapak mertua kuajak duduk di lincak.

"Nak, maaf karena ibumu sudah membuat kekacauan." Bapak selalu berkata dengan lembut. Namun, akhir-akhir ini suaranya terdengar parau. Kekehannya pun sudah mulai jarang terdengar.

"Saya hanya kasihan sama Darinah, Pak. Dia sedang mengandung."

"Darinah mengandung, Tur?" tanya Bapak kaget.

"Kemarin lusa saya mengantarnya ke dokter. Kemungkinan usia kandungannya sudah memasuki minggu ketiga."

"Mbak Dar hamil, Mas?" Haryati tiba-tiba muncul. Dia ikut-ikutan terkejut. Di tangannya ada kresek hitam, kurasa itu adalah buah mangga muda yang kujatuhkan tadi.

"Iya, Har."

"Kasihan sekali Mbak Dar. Dia pasti sangat menderita," ucap Haryati iba.

"Maka dari itu, aku minta tolong sama kamu, Har. Tolong temani Darinah kalau aku sedang tidak ada di rumah. Untuk sementara waktu, jangan biarkan Ibu bertemu dengan kakakmu dulu. Semua ini demi keselamatan Darinah dan calon bayi kami. Selama trimester pertama, pikiran Darinah harus tenang. Dia tidak boleh stres atau tertekan." Aku berharap Haryati bisa memenuhi permintaanku.

"Baiklah, Mas. Akan aku usahakan. Boleh aku melihat kondisi Mbak Darinah?"

Bapak mertua yang menyahut. "Biarlah kakakmu beristirahat, Har. Sebaiknya kita pulang."

"Baik, Pak."

Aku membuka kresek hitam berisi mangga muda. Aku teringat senyum tulus Nenek dan canda tawanya. Nenek War dan Bapak mertua sama-sama humoris, bisa diajak bercanda. Keduanya tentu tidak dapat dibandingkan dengan ibu mertuaku yang pelit senyum.

Lihat selengkapnya