Kutemukan senyuman indah di wajah ayu itu lagi. Sebelumnya dia tampak lebih layu dan tawanya terkikis oleh masa. Gadis itu sepertinya sudah benar-benar bisa melupakanku.
Haryati tertawa lepas bersama Darinah sambil menikmati rujak. Mata mereka merah dan berair seperti orang habis menangis. Padahal mereka hanya sedang kepedasan.
"Eh, Mas. Kamu sudah pulang rupanya. Mau rujak?" tawar Darinah.
Aku mencomot irisan bengkuang dan mencoleknya ke sambal.
"Aduh, pedas sekali. Siapa yang bikin sambalnya?" Aku mencomot satu lagi irisan bengkuang kali ini tanpa sambal untuk menetralisir lidahku.
"Haryati yang bikin. Tapi sedap kan, Mas?"
"Terlalu pedas menurutku, Dar. Saranku, kamu jangan kebanyakan makan sambal. Nanti perutmu mulas terus, loh."
"Ini yang kepengen si jabang bayi, kok," elak Darinah.
"Katakan pada si jabang bayi, kasihan ibunya kalau kebanyakan makan pedas."
"Kamu juga yang eling, Har. Tidak baik makan pedas terus." Aku tidak mau terlihat terlalu kaku di depan Haryati.
"Sebenarnya cuman pakai lima buah cabainya, Mas. Biasanya kalau buat dimakan sendiri, aku pakai sepuluh."
Aku menggelengkan kepala. Suka heran sama para wanita yang suka makan pedas, apa mereka tidak takut perutnya meledak?
"Oh, ya, Har. Bagaimana rencana perjodohanmu waktu itu?" Aku mengalihkan topik pembicaraan.
Haryati melirik ke arah Darinah.
"Perjodohan apa?" Darinah tampak bingung.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Oh, Tuhan, aku lupa kalau Darinah belum kuberi tahu soal Haryati yang hendak dicarikan calon suami oleh Bapak.
"Anu, Mbak. Bapak menginginkan aku untuk berumah tangga."
"Terus kamu mau?"
Haryati mengangguk sambil menatap takut-takut ke Darinah.
Kini mata Darinah tajam melihat ke arahku. Layaknya seekor elang yang hendak menerkam mangsanya.
"Maaf, Dar. Aku lupa memberitahu. Saking bahagianya karena mendengar kamu hamil."
"Har, Har. Sebaiknya kamu belajar dariku. Aku dinikahkan karena perjodohan. Padahal, ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi. Aku yang nikah umur 18 tahun saja rasanya kemudaan. Apa lagi kamu yang baru 15 tahun." Ekspresi wajah Darinah tampak tidak senang.
"Kamu pikir-pikir saja lagi dulu sebelum mengambil keputusan, Har. Kalau kamu dijodohkan sama orang yang tidak dikenal bagaimana?"
Aku sedikit tersinggung dengan ucapan Darinah. Padahal kami saja dijodohkan dan sebelumnya tidak mengenal satu sama lain.