Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #21

Merantau

Awalnya Darinah bersikukuh ingin ikut mengantar Haryati ke kota, tetapi aku melarangnya. Dia tidak boleh terlalu banyak bergerak terlebih dahulu.  

"Mbak Dar, aku pamit, ya. Maaf tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku janji, nanti kalau sudah sampai di Jakarta, aku akan sering mengirim surat." Haryati menghapus air matanya.

"Oh, adikku rupanya sudah besar, sudah dewasa dan mau pergi merantau. Jaga diri baik-baik, Har. Maaf, tidak bisa mengantar."

Kakak adik itu berpelukan cukup lama. 

Aku berjalan sambil menenteng tas berisi pakaian milik Haryati. Haryati berjalan di belakangku. 

"Kalau capek bilang saja, Mas. Biar bisa gantian bawa tasnya." Suara Haryati bagaikan racun berbisa yang mampu melumpuhkanku. Aku lebih suka dia diam saja seperti tadi. Hatiku sering bergetar kalau gadis itu berbicara.

"Tas ini terlalu berat, Har. Biar aku saja yang bawa."

"Hmm. Baiklah. Nanti kalau keponakanku lahir, jangan lupa difoto buat kenangan, ya, Mas. Di dekat rumah Nenek ada tukang foto yang bagus." Beberapa waktu yang lalu, Haryati terlihat jelas membentengi jarak antara kami. Namun, hari ini tampaknya dia mulai meruntuhkan benteng-benteng tinggi itu. 

"Ya. Kalau tidak lupa."

"Jangan sampai lupa, dong, Mas. Nanti pokoknya fotonya dicetak. Kirim ke tempat aku bekerja sama suratnya Mbak Dar." 

"Baiklah, Har.

Aku membiarkan Haryati terus mencerocos. Kutanggapi dengan jawaban singkat-singkat saja. Biarlah dia menyadari sendiri kalau sekarang aku yang sedang menghindarinya.  

Suara Haryati tak terdengar lagi. Aku terpaksa menoleh ke belakang. Ternyata Haryati tertinggal cukup jauh. Aku hendak menyambanginya, tetapi kuurungkan niatku. Kubiarkan dia berjalan menyambangiku.

"Kenapa tiba-tiba jalanmu menjadi lambat, Har?" tanyaku yang langsung menunduk untuk menghindari matanya.

"Capek, Mas. Tadi aku berhenti untuk beristirahat sebentar. Kakiku pegal." Haryati mulai mengeluh. Pergi ke mana-mana naik sepeda saja dia suka mengeluh. Apalagi ini disuruh jalan kaki. 

Dari desa ke kota membutuhkan waktu paling lama setengah jam. Tidak heran kalau Haryati sebentar-sebentar minta berhenti untuk istirahat. 

Aku dan Haryati berjalan menyusuri jalan setapak. Sebelah kanannya sebuah saluran irigasi memanjang sampai ke desa sebelah. Sedangkan sebelah kirinya terbentang sawah-sawah yang amat luas. 

Haryati duduk di tepian jalan setapak. Aku ikut duduk dengan memberi jarak tiga langkah dari tempat duduknya. 

"Har, apa tujuanmu sebenarnya pergi ke Jakarta?" Tatapanku tetap lurus ke depan mengamati sawah-sawah yang mulai tertanami dengan benih-benih padi. 

Haryati melengos. Namun, aku berusaha tak menghiraukan pandangannya. Aku ingin tahu, apakah alasan Haryati pergi karena desakan Darinah beberapa waktu lalu atau ada alasan lain yang membuatnya memilih pergi.

"Ada banyak alasan yang membuatku ingin pergi merantau, Mas. Walau sebenarnya aku sendiri lebih nyaman untuk menetap di kampung halaman. Akan kuberitahukan tiga alasan utamanya." 

Haryati mengambil napas. Ia tersenyum pada alam liar yang ada di depannya. Sementara itu, layaknya seorang pengecut aku hanya berani memandangnya melalui ekor mataku. Biarlah tetap begini adanya, menjadi pengecut akan lebih baik untukku. 

"Alasan pertama, mungkin benar apa kata Mbak Darinah. Aku hanya gadis lugu yang tidak tahu apa-apa. Mendapatkan pengalaman di kota besar mungkin akan membentuk kepribadianku untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi." 

Aku tidak yakin dengan alasan yang disebutkan Haryati barusan. Aku tidak siap melihat dia menjadi wanita dewasa. 

"Tetaplah menjadi gadis polos dan baik seperti biasanya, Har." Lagi-lagi aku memilih menjadi pengecut karena hanya berani berucap di dalam hati.

"Alasan kedua, lagi-lagi Mbak Darinah yang membuatku sadar kalau memang aku masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku ingin sedikit menentang tradisi keluarga kita, yaitu menikah muda dan dijodohkan." Haryati menahan napas. Kemudian dihempaskannya kembali. "Aku ingin menikah dengan lelaki pilihanku sendiri."

"Yang ketiganya, dengan pergi jauh dari kampung kita, aku berharap kenangan-kenangan kita berdua juga ikut terbawa. Biar sewaktu pulang nanti, aku sudah meninggalkannya jauh-jauh."

Aku yang tadi tertunduk, langsung menegakkan kepala. Aku beranikan diri untuk menatap Haryati. Dia menyeka matanya yang basah. Kutarik tanganku kembali saat sadar ingin menghapus air mata yang mengganggu keindahan wajahnya. 

"Oh, ya, Har. Apa kamu sudah tahu mau bekerja di Jakarta mana?" Aku mengalihkan topik agar Haryati tidak larut dalam kesedihan. 

"Di Menteng, Mas."

Lihat selengkapnya