Setiap akhir bulan, surat Haryati datang bersama foto-foto terbarunya. Gadis itu semakin menawan saja. Baju yang dikenakannya juga gaul-gaul mengikuti zaman.
"Haryati tetaplah Haryati. Meskipun sekarang penampilannya sedikit berubah, tapi dia tetap rendah hati mau berkirim surat denganku." Darinah memandangi foto cantik sang adik dan terlihat begitu mengaguminya.
Sebetulnya Haryati saat pertama kali mengirim surat pernah bilang mau menitipkan uang untuk ibunya sekalian. Namun, Darinah menolak dan menyuruh Haryati mengirim uang lewat wesel pos saja.
Aku pernah menegurnya, tetapi malah berakhir keributan. Kali ini aku mencoba kembali membujuknya.
"Kasihan Haryati, Dar. Dia harus bolak-balik ke kantor pos. Kenapa tidak kamu izinkan saja Haryati selipkan uang kiriman untuk Ibu bersama suratmu?"
"Mas, kamu mau dituduh sama Ibu macam-macam? Ibu pasti mikirnya nanti duit Haryati diambil sama kita."
"Janganlah berpikir begitu, Dar."
"Loh, Mas ini tahu sendiri watak Ibu, kan? Aku cuman bosan saja kalau harus ribut sama Ibu terus. Ibu pintar mencari celah untuk memusuhi kita. Makanya lebih baik kita yang menutup celah-celah itu sebelum kejadian." Bibir Darinah merengut. Dari tadi Darinah sibuk melipat pakaian dan tidak kelar-kelar.
Ada benarnya juga apa yang dikatakan Darinah. Sebaiknya kami menghindar dari hal-hal yang bisa membuat Ibu mertua marah. Selain itu, kulihat perut Darinah semakin hari semakin membesar, aku harus lebih bisa menjaga perasaannya.
Bukan aku atau Ibu mertua yang tampaknya paling merasa kehilangan Haryati. Aku masih sibuk di sawah seperti biasa. Ibu mertua juga konsisten mengurus kebun. Dengan kesibukan, cukup membuat kami bisa untuk tidak mengingat Haryati terlalu banyak. Akan tetapi, tidak dengan Darinah. Usai binatang-binatang ternak kami dijual, Darinah merasa kesepian. Haryatilah yang menemaninya.
Haryati selalu bisa membuat Darinah tersenyum dan bercerita tentang banyak hal. Kini, kepergian bocah polos itu menyisakan kesedihan mendalam. Darinah jadi banyak melamun. Tidak ada lagi cerita-cerita tentang Haryati. Paling-paling kalau surat dari Jakarta tiba, barulah dia sangat antusias bercerita. Sudah dibahas kemarin, esok hari dibicarakan lagi sama Darinah. Namun, aku tidak pernah memadamkan semangatnya. Selalu kudengarkan apa pun yang ingin dikatakan oleh istriku itu.
Seperti hari ini, Darinah tampak tidak sabaran menunjukkan surat dari Haryati. Dia menyuruhku untuk bergegas mandi.
"Ayo, Mas, cepetan mandi. Aku sengaja belum membuka surat Haryati. Kita baca sama-sama."
Aku tersenyum. Wanita kalau sedang merasa girang entah kenapa jadi mirip anak kecil. Sebagai bentuk perhatian, kuelus kepala Darinah. Namun, siapa sangka tanganku justru ditepiskan olehnya.
"Loh, kenapa, Dar?"
"Bau, Mas. Coba cium tanganmu sendiri. Pasti bau lumpur sawah."
"Sudah kucuci bersih di sungai. Jangan sembarangan kamu, Dar."