Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #23

Lahirnya si Jabang Bayi

RSUD Banyumas, 03 Oktober 1989.


Perut Darinah makin besar. Usia kandungannya kini sudah sembilan bulan. Mungkin harinya segera tiba. Darinah terus menerus mengeluhkan perutnya yang melilit dan sakit.

"Dar, bertahanlah. Aku akan meminta bantuan." Aku tidak tega meninggalkan Darinah yang merintih kesakitan sendirian. Aku berniat meminta bantuan Bapak mertua untuk menemani Darinah, sementara itu aku akan pergi ke kota mencari mobil sewaan. 

"Biar aku saja yang pergi ke kota. Darinah saat ini membutuhkanmu," ucap Bapak mertua tegas.  

"Tapi mata Bapak ...."

"Tenang saja. Kalau siang-siang begini aku masih bisa melihat jalanan dengan cukup jelas. Bawalah Darinah ke rumah sakit yang sama dengan tempat neneknya dirawat." 

"Nenek dirawat?"

"Sudah tiga hari Nariyem yang menemaninya."

Kabar buruk yang seharusnya tidak aku dengar saat Darinah sedang merasakan kontraksi seperti ini. Meskipun hatiku tersirami oleh perasaan sedih dengan kabar Nenek, tapi aku harus tetap berupaya tegar di depan Darinah.

Darinah terus mengerang kesakitan dan tidak berhenti mengelus-elus perutnya. 

"Nyebut, Dar."

"Aduh sakit sekali rasanya, Mas. Perutku mulas." Keringat Darinah mengucur deras. 

"Bertahanlah, Dar. Bapak sedang mencari mobil sewaan untuk mengantarmu ke rumah sakit." Aku mengemasi beberapa pakaian ganti untuk Darinah. 

"Tur, mobil Pak Nono sudah datang. Kita langsung berangkat sekarang." Bapak berbicara dengan napas terengah-engah. 

"Baik, Pak." 

Aku dan Bapak mertua memapah Darinah ke mobil. Mobil yang dulu pernah membawa Haryati ke Jakarta kini mengantarkan kami ke rumah sakit. Sopirnya pun sama yaitu Pak Nono. 

Aku dan Bapak mertua bergantian berjaga di depan UGD. Bapak mertua habis menengok Nenek di ruangan lain. 

"Sekarang giliranmu menengok Ibu, Nak."

"Baik, Pak. Saya titip Darinah sebentar." 

Aku pergi ke ruangan di mana Nenek dirawat. Dalam ruangan itu ada juga Mbak Nariyem. Wanita itu langsung memilih keluar begitu mengetahui aku datang. 

"Turi, kamu akhirnya datang." Nenek menangis. Di tangannya tertancap jarum infus. Tubuh Nenek tampak jauh lebih kurus. Aku sampai sedikit pangling. Nenek yang selalu kelihatan segar, kini tampak layu.

Aku menggenggam tangan Nenek yang terasa tulang belulangnya. "Bagaimana keadaan Nenek sekarang? Sudah ada kemajuan?"

"Seperti yang kamu lihat, Tur. Aku seperti hidup enggan, mati pun tidak mau."

"Nenek tolong nurut sama dokter dan suster, ya. Nenek pasti bisa sembuh seperti dulu lagi." 

"Aku sudah pasrah. Tur. Aku sudah bolak-balik periksa ke Dokter Lili, biasanya cepat sembuh. Tapi sekarang malah aku sampai berbaring di sini. Kemungkinan sakitku sudah parah. Mungkin penyakit suamiku telah menular ke tubuhku. Mungkin juga ajalku sudah dekat." Nenek terisak.

Lihat selengkapnya