Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #26

Kesaktian Nenek

Tum lahir setelah tiga belas bulan kepergian Suci dengan bobot tiga kilo. Berkilauan mata Darinah setiap memandangi bayi cantik dan lucu itu.

"Tum, namamu unik bukan? Kata Bapak, yang memberikan nama untukmu adalah leluhur kita." Kebiasaan Darinah saat memakaikan baju Tum adalah mengajaknya berbicara. Meski bayi itu belum mengerti apa yang diucapkan oleh sang ibu, dia terus menatap gerak bibir Darinah.

"Dar, Tum lahir Jumat kliwon pagi bukan?" tanyaku memastikan. Aku akan turun ke kota kecamatan untuk membuat surat lahir dan akte untuk Tum. 

"Iya, Mas."

"Kamu tahu, Dar. Setiap anak yang lahir pada Jumat kliwon dipercaya bisa membawa keberuntungan?" 

"Mas, setiap anak yang terlahir itu membawa keberuntungan untuk orang-orang di sekitarnya, terutama ibu bapaknya," sangkal Darinah. Dia tidak terlalu suka dengan perhitungan kejawen.  

Aku berbeda dengan Darinah. Ilmu kejawen di keluargaku masih kuat. Kami selalu menghitung segala sesuatunya berdasarkan primbon. Namun, tak sedikit pun aku memaksa Darinah mengikuti keyakinanku. 

"Mas, mau bawa sepeda Bapak atau jalan kaki?" tanya Darinah.

"Bawa sepeda, Dar. Memang kenapa?"

"Rantai sepedanya sedikit keras. Mampirlah ke bengkel dekat rumah Nenek dan minta pelumas."

"Baiklah. Aku akan mampir ke rumah Nenek sekalian. Mau nitip sesuatu untuk Nenek?"

"Bilang saja cucunya rindu."

Aku tersenyum. 

***

Setelah tiga jam meninggalkan rumah, aku pulang. Surat kelahiran Tum sudah beres. Namun, akte kelahirannya harus menunggu sekitar dua mingguan. Rantai sepeda juga sudah dikasih pelumas. Aku membawa sebuah kejutan untuk Darinah. 

"Lihat, Dar, siapa yang kubawa untukmu?" Aku bermaksud menyenangkan hati istriku dengan membawa Nenek ke rumah.

Begitu aku membuka pintu yang diikuti Nenek dari belakang, Darinah sedang menangis. Wajahnya memerah, dia tampak ketakutan.

"Ada apa, Dar?" Nenek yang terlihat sama paniknya denganku langsung mengangkat tubuh bayi mungil kami. Tingkat kepekaan Nenek lebih tajam dariku. 

Kulihat dua mata Tum mendelik ke atas. Nenek komat-kamit membaca doa, lalu meniupkan ke ubun-ubun Tum. 

Darinah memandang anak kami sambil sesenggukan. Tidak hanya Darinah, aku pun panik setengah mati melihat kondisi Tum. 

"Tur, carilah daun dadap serep untuk menurunkan suhu panas di tubuhnya. Cuci yang bersih terlebih dahulu sebelum kamu memberikannya padaku," titah Nenek. 

Aku langsung pergi ke kebun samping rumah mencari daun yang dimaksud Nenek. Kupetik beberapa lembar daun yang menyimpan banyak khasiat tersebut dengan pikiran semrawut. Oh, anakku, bertahanlah.

Saat aku mencuci lembaran daun yang diinginkan Nenek tersebut tak terasa air mataku keluar. Kuserahkan daun-daun itu kepada wanita tua yang matanya terpejam dan mulutnya masih komat-kamit. 

Sementara itu, Tum sudah pindah ke pangkuan ibunya lagi. Anak itu tidak merengek. Padahal, saat kutempelkan punggung tanganku, keningnya terasa panas sekali. 

Lihat selengkapnya