Memasuki usia satu tahun, Tum sudah bisa berjalan dengan cukup lancar. Akan tetapi, dia masih kesulitan bicara. Beberapa kosakatanya masih tidak tepat. Memanggilku saja yayah, bukan ayah. Lain lagi kalau memanggil ibunya. Hanya ujungnya saja yang terucap.
"Coba ucapkan I-bu!" Aku membimbing Tum agar bisa menyebut kata ibu dengan lengkap.
"Bu ... Bu ...." Selalu saja begitu. Huruf i-nya menghilang entah ke mana.
"Nanti kalau sudah waktunya juga bisa sendiri, Mas." Darinah melempar senyum kepadaku dan Tum. "Oh, ya, aku berniat mau menyapih Tum, Mas."
"Memang tidak apa-apa? Bukannya Tum masih butuh ASI, Dar?"
"Daripada aku terus tersiksa. Dua putingku sudah pada gompal digigitin terus. Sakit tahu!" Darinah merajuk manja. "Biarlah dia minum susu formula saja," tandasnya.
"Ya, sudah. Kamu kan, ibunya. Pasti lebih tahu apa yang terbaik buat anak kita." Aku memainkan pipi Tum yang bulat dan berisi dengan gemas.
"Masalahnya, Tum suka merengek kalau aku tidak memberinya ASI. Kadang sampai naik-naik ke tubuhku minta netek. Padahal sudah kutipu dia. Aku oleskan obat merah ke payudaraku agar dia takut. Nyatanya tidak terpengaruh. Sudah pernah juga aku gosok-gosokkan daun pare biar kapok karena susunya jadi pahit. Eh, tetap saja, walaupun dia sampai melet-melet kepahitan, lanjut lagi neteknya."
"Hmm. Coba kamu pakaikan saja garam yang banyak. Siapa tahu dia mau berhenti," usulku yang tibanya dadakan. Mana aku tahu soal begituan.
"Baiklah, nanti akan aku coba." Darinah mengusap-usap rambut Tum. Lalu membopongnya. "Mas, hari ini jadi pergi ke kota?" tanya Darinah kemudian. Aku nitip susu formula, ya. Tanya saja ke penjualnya untuk usia dua tahun.
"Iya, Dar. Sebentar lagi aku berangkat."
Untuk sekarang ini, aku benar-benar merasakan nikmatnya bernapas. Pertama, karena ketakutan Darinah soal dirinya yang mandul terpatahkan setelah kami dikaruniai seorang putri kecil yang lucu dan menggemaskan. Kedua, aku sudah berhasil membeli beberapa petak tanah.
Satu jam dari sekarang, aku akan pergi ke kantor desa untuk mengurus surat-suratnya. Selain itu, aku berencana membeli sepeda baru. Sepeda Bapak mertua sudah terlalu tua, kadang mengeluarkan bunyi tidak enak.
"Mau pergi, Nak?" tanya Bapak mencegatku di samping rumah.
"Iya, Pak. Mau ke kantor desa."
Bapak tampak sedang berpikir. "Mau mengurus surat-surat?" tanyanya lagi. "Lihatlah, Bu, anak mantu kita. Dia berhasil membeli tanah," ucapnya terlihat bangga.
Ibu mertuaku itu hanya memiringkan bibir saja. Tampaknya, dia punya prinsip yang sukar digoyahkan. Sekali benci tetaplah benci. Matanya yang tajam bagai busur panah yang siap membidikku.
"Baguslah, kalau begitu mereka bisa secepatnya enyah dari tanah orang tuaku." Selain kata-kata menohok, sosok yang dipanggil ibu itu tampaknya tidak dapat berbicara hal-hal yang baik. Selalu saja nyelekit seperti sengatan tawon.
"Berangkatlah sekarang, Tur. Percuma ngomong sama orang yang tidak punya hati."
"Bela terus saja mantu kesayanganmu itu. Nanti kita lihat, calon suami Haryati bisa lebih kaya darinya." Ibu mertua berkata dengan nada amat sinis.
"Sssst! Ngomong apa kamu ini, Nar. Sudah sana pergi ke kebun!"