Tum sudah mulai terbiasa dengan dot dan botol susu. Darinah telah berhasil menjebaknya.
Saat Darinah mengolesi puting dengan garam, Tum memaksa untuk menyusu. Saat itulah anak itu trauma dengan air susu ibunya. Dia mendorong-dorong dada Darinah setiap ditawari ASI.
"Syukurlah, Tum sudah mau disapih. Aku tidak akan tersiksa lagi," ucap Darinah menarik napas penuh kelegaan.
Aku tidak tahu apakah kalimat tersebut pantas dikatakan oleh seorang ibu. Namun, aku percaya kepada istriku. Dia tidak mungkin melakukannya tanpa alasan. Di samping itu, aku juga tidak tahu rasa sakit yang dialami Darinah saat menyusui Tum. Darinah sering berteriak-teriak kesakitan. Tak jarang pula air matanya keluar saat menyusui putri kami. Jadi, kupikir sudah tepat keputusan Darinah berhenti menyusui Tum.
Belum genap dua tahun usia Tum saat itu, rupanya Darinah membuat kejutan lagi. Dia bilang jadwal datang bulannya sudah telat dari tanggal biasanya.
"Kamu telat berapa Minggu, Dar?" kejarku yang hampir-hampir tak percaya.
"Seingatku sudah satu bulan, Mas."
Aku senang bukan main mendengar kabar bahagia tersebut. Namun, tidak dengan Darinah. Dia malah tampak khawatir.
"Kenapa, Dar? Apa kamu tidak senang dikasih kepercayaan lagi? Bukankah kecemasan kita tentang kemandulan justru berhasil ditepiskan?"
"Mas, Tum masih terlalu kecil untuk menjadi seorang kakak. Aku takut nanti tidak bisa fokus lagi mengurusnya. Karena setiap wanita yang memiliki bayi, tentu akan lebih fokus kepada bayinya." Darinah berpegangan di tepian kursi memperhatikan Tum yang masih asyik memainkan botol susunya yang baru.
"Kalau semua sudah menjadi kehendak yang di atas, maka kita wajib untuk menyambutnya dengan penuh rasa syukur."
"Mas enak bilang begitu karena tidak merasakan lahiran. Sakit tahu!" Wajah manis itu bersungut-sungut.
"Sudah menjadi kodrat wanita untuk melahirkan, Dar. Seandainya aku bisa mewakili rasa sakitmu saat melahirkan, pasti dengan senang hati aku wakilkan. Biarlah aku saja yang merasakan sakit. Kamu jangan." Sudah seribu cara aku membujuk Darinah. Dia masih tak terima juga.
"Memangnya kamu pikir itu hal mudah? Rasa sakit saat seorang ibu melahirkan anaknya adalah perjuangan berat, nyawa yang menjadi taruhannya. Rasa sakitnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya seperti seribu macam penyakit yang datang secara bersamaan. Tak terbayangkan bukan? Belum lagi derita setelah melahirkan."
"Percayalah, Dar. Itu artinya Sang Khalik menaruh kepercayaan kepada kita. Kamu yang terpilih menjadi seorang wanita yang sempurna."
Darinah menelurkan air mata. Entah itu air mata penyesalan karena telah banyak mengeluh. Entah air mata kebahagiaan.
***
Pada akhir September 1992, Darinah melahirkan kembali seorang putri buat kami. Melahirkan dengan cara yang sama yaitu mengejan di bawah kolong tempat tidur dengan dukun yang sama pula waktu menangani kelahiran Tum dulu.