Aku menciptakan sejarah tidak menyenangkan. Semalam aku telah menghabiskan mi instan rebus yang sudah tidak layak dimakan. Bumbu mi instan sudah pada menggumpal dan lengket. Beruntung aku tidak keracunan makanan kadaluarsa.
Meski sempat tidak yakin untuk memakannya, tetapi rasa lapar membuatku kalap. Pantas saja, mi instan tersebut berada di dekat tempat sampah. Rupanya memang sengaja mau dibuang oleh Darinah. Perihal mi instan, aku tidak ingin membahasnya di depan Darinah. Aku takut dia malah jadi kepikiran.
Pagi-pagi begini aku sudah bangun. Semua perabotan kotor kucuci bersih. Pakaian kotor menggunung yang semalaman sudah kurendam, juga kusikat habis. Biar nanti Darinah tinggal menjemurnya.
"Dar, aku mau turun ke kota." Aku sudah mandi dan sekarang sedang menyisir rambut di depan kaca yang menempel pada pintu lemari.
"Iya, Mas." Darinah dengan mata setengah mengantuk, sedang membersihkan bekas ompol Trias.
"Oh, ya, semalam kamu tidak makan, Dar?"
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Mas. Kemarin nasinya kuhabiskan, karena kupikir kamu akan makan di warung."
"Tidak usah memikirkanku. Yang penting kamu dan anak-anak, Dar. Hari ini aku pergi ke pasar, sekalian mau mencoba sepeda baru." Sebenarnya sepeda barunya sudah datang seminggu lalu. Aku belum ada waktu untuk mencobanya.
"Baiklah, hati-hati di jalan, Mas."
Aku melesat dengan lincah dengan sepeda jengki berwarna merah. Sepeda ini bekas, tapi masih bagus. Aku memesannya di toko sepeda dekat kantor kecamatan beberapa waktu lalu.
Aku mengambil banyak bahan makanan seperti beras, tepung-tepungan dan gula untuk persediaan di rumah. Tidak lupa sayur mayur, bumbu-bumbuan dan beberapa ekor ikan dan daging merah kesukaan Darinah juga kubeli.
Sepulang dari pasar, aku sengaja mampir ke rumah Nenek untuk memberikan sekantong beras.
"Saya lihat Nenek terlihat semakin bugar saja," pujiku.
"Kamu pikir aku tidak tahu, kamu sedang merayuku bukan? Dengan membawa beras kemari dan memujiku seperti itu, pasti ada maunya." Nenek sedang menginang. Acapkali berbicara, ludahnya yang berwarna merah karena kinang muncrat-muncrat.
"Ya. Tentu saja tanpa memberitahu apa maksud kedatangan saya kemari, Nenek sudah bisa membaca pikiranku terlebih dahulu."
"Heh, kamu pikir aku manusia sakti yang bisa membaca pikiran orang?'
"Iya. Saya memang sudah memikirkannya sejak lama. Nenek ini benar-benar memiliki indra keenam." Aku tersenyum jahil.
"Tidak mempan. Aku tetap tidak tertipu dengan bujuk rayumu."
"Oh, ya?" Aku tersenyum kembali. "Bagaimana kalau Darinah sampai tahu? Nenek ternyata bisa membaca pikiran orang lain."
"Ancaman macam apa ini?" Dari nada suaranya Nenek sedang menutupi ketakutannya.
"Jadi, bolehkah saya minta tolong? Temani Darinah di rumah, Nek. Kasihan dia." Kedua telapak tanganku saling menempel, membentuk sebuah permohonan.
"Ah, cucuku sekarang sudah berubah. Dia bukan lagi anak penurut. Aku tidak tega sama Tum. Harusnya dia masih bisa menikmati air susu ibunya."
"Saya juga sama dengan Nenek. Begitu tahu Darinah memutuskan untuk berhenti menyusui Tum, saya marah. Saya tidak pernah setuju dengan keputusan itu."