Mobil Pak Nono sudah menunggu. Tadi pagi-pagi sekali, aku turun ke kota untuk meminta tolong Pak Nono mengantarkan kami ke Cilacap. Beruntung beliau sedang tidak ada jadwal pengantaran ke Jakarta.
Kemarin Nenek bilang padaku, "Bawalah istri dan anak-anakmu ke rumah orang tuamu."
"Tapi, Nek, Trias masih terlalu kecil. Kasihan kalau harus diajak melakukan perjalanan jauh."
"Terserah saja. Tapi jangan harap istrimu bisa hidup tenang. Dia itu butuh suasana dan orang-orang baru yang menyayanginya."
"Tapi kan, sudah ada Nenek."
"Dengar ya, Tur. Aku mau-mau saja di sini menjaga istri dan anak-anakmu. Tapi Darinah akan sakit hati setiap melihat ibunya. Kepalanya akan selalu dipenuhi dengan pertanyaan kenapa nenek dari anak-anaknya tidak pernah mau melihat cucu-cucunya. Kenapa ada ibu yang jahat seperti itu?"
Sekarang aku mengerti. Ternyata alasan Nenek menyuruhku membawa Darinah dan anak-anak agar menjauhkan diri dari Mbak Nariyem.
Mobil yang membawa kami berhenti tepat di depan rumah Nenek. Kami mengantar wanita tua itu terlebih dahulu.
"Jaga diri kalian baik-baik." Nenek menciumi Tum dan Trias bergantian.
Darinah menumpahkan air mata di pelukan Nenek cukup lama. Aku mencium punggung tangan penuh keriput itu dan berpamitan pergi.
"Kembalilah saat suasana hatimu sudah lebih baik, Dar."
Darinah mengangguk dan melambaikan tangan.
Langit Cilacap tampaknya lebih panas ketimbang Banyumas. Suasana sejak aku kecil dulu masih terasa. Tidak ada perubahan yang berarti. Jalanan yang belum di aspal, petak-petak sawah yang saling berjajar rapi. Nyaris mirip dengan kondisi di Banyumas. Bedanya, kalau di Cilacap lebih banyak daerah pesisir, sedangkan di Banyumas bukit-bukit dan gunung lebih mendominasi.
Aku menatap rumah tua khas dengan ventilasi udara di atas jendela berbentuk kipas tradisional. Tiga tahun lamanya aku tak menginjakkan kaki di sini. Kini, bersama keluarga kecilku, aku kembali.
"Turi?" Seorang wanita yang rambutnya masih terlihat hitam meski usianya sudah tua keluar dari rumah. Kami saling berpandangan sesaat. Ada rasa rindu yang menusuk-nusuk di dalam kalbu.
Aku langsung berjongkok memegangi kaki Ibu. "Maafkan aku, Bu. Aku baru datang kemari."
Dihujani rasa bersalah dan kesedihan amat mendalam, tak kuasa aku menahan air mata agar tidak jatuh. Ibu membantuku bangun dan memelukku dengan erat.
Hanyut dalam perasaan membuatku hampir lupa untuk memberi tahu Ibu kalau aku tidak datang sendiri.
"Lihatlah mereka, Bu!" Aku menunjuk ke arah Darinah dan dua putriku.
Masih dalam keharuannya, Ibu tersenyum sembari mengelap air mata menggunakan ujung jari.
Darinah menyalami Ibu. Tum juga tanpa disuruh melakukan hal sama. Putri sulung kami itu terlihat bingung.
"Tum, ini Nenek," terangku memberitahu.
Ibu mengelus pucuk kepala Tum dengan kasih sayang. Lalu menggendong Trias dengan hati-hati. Kami disuruh segera masuk ke rumah karena cuaca semakin panas.
"Aku memiliki cucu yang cantik-cantik." Ibu mengecup pipi Trias berkali-kali.
"Ayah ada, Bu?" tanyaku yang tidak mendengar suara Ayah sejak kami tiba.