Larut malam aku terbangun. Setengah sadar aku menyipitkan mata. Tanganku ternyata berada di atas tubuh Ayah. Mungkin tanpa sengaja aku memeluk Ayah dalam tidurku.
Aku bergerak perlahan-lahan agar Ayah tidak terbangun dari tidurnya. Kuhampiri kamar depan. Darinah tidur meringkuk di tepian dipan. Tum tidur di bawah kaki Darinah. Sementara itu, Trias tidur di atas tumpukan pakaian yang agaknya sengaja oleh Darinah dibuat kasur-kasuran.
"Mas, kamu tidur di mana?" Darinah tiba-tiba menggeliat bangun.
Aku menempelkan jari telunjuk ke bibir. "Ssstt. Jangan sampai anak-anak bangun, Dar."
Aku keluar dari kamar dan menyalakan lampu ruang tamu. Di rumah orang tuaku sudah ada listrik. Berbeda dengan wilayah tempat tinggal Darinah berasal, listrik belum merata di sana. Kubaringkan tubuhku di atas kursi kayu yang terasa dingin.
Darinah keluar kamar dan menyusulku. Dia duduk di kursi yang lain.
"Kenapa tidak lanjut tidur saja, Dar?" Kulihat Darinah tampaknya masih mengantuk berat.
"Pertanyaanku belum kamu jawab, Mas."
Aku terpaksa bangkit dan mengambil posisi duduk. "Aku ketiduran di kamar Ayah."
"Tadi sebelum tidur, Ibu menawariku pindah ke kamar yang ada kasurnya. Tapi aku sungkan. Oh, ya, apa Ayah sama Ibu tidurnya pisah, Mas?"
"Bukankah ibu dan bapakmu kalau tidur juga pisah kamar, Dar? Biasanya kalau orang sudah lanjut usia memang lebih banyak yang tidur terpisah. Mungkin karena mereka takut punya anak lagi," tebakku asal.
"Husss. Masa begitu, Mas?"
"Barangkali saja. Aku juga tidak tahu, Dar. Mungkin kita akan sama-sama mengerti kalau sudah memasuki usia lanjutan seperti orang tua kita." Mulutku tiba-tiba terasa masam. Ingin sekali aku menghisap batang nikotin, tapi Darinah melarangku merokok karena kami punya bayi.
"Dar, bagaimana perasaanmu sekarang? Apa sekiranya kamu betah tinggal di sini?"
Darinah menggeleng. "Aku tidak tahu, Mas. Mungkin setelah Ayah mencair, aku bisa lebih lega dan nyaman tinggal di sini."
"Besok kita ke pasar, ya, cari kasur."
"Ah, tidak usah memikirkan kasur, Mas. Dulu aku juga tidur di dipan tanpa kasur."
"Setidaknya kita harus memikirkan anak-anak. Kasihan mereka."
Darinah termangu.
"Mas, biarlah anak-anak ikut prihatin merasakan kesusahan orang tua mereka. Lagi pula, uang yang kita punya tinggal sedikit. Lebih kasihan lagi kalau mereka tidak bisa makan dan minum susu."
Darinah tampaknya sudah berdamai dengan jiwanya. Emosinya yang beberapa minggu terakhir meluap-luap tak jelas rasa-rasanya tertinggal di Banyumas sana. Benar saja apa yang dikatakan Nenek, Darinah membutuhkan suasana dan orang-orang baru.
Tugasku sekarang adalah membuat Darinah nyaman tinggal di rumah mertuanya.
"Dar, aku punya sebuah rencana bagus."
"Rencana apa, Mas?"