Pulang dari rumah Paman Darno, aku masuk ke kamar. Kamar depan sudah kosong. Tak ada satu pun barang kecuali dipan yang beralaskan tikar.
"Ke mana perginya Darinah dan anak-anak?"
Aku pergi ke dapur berharap Darinah ada di sana, tapi rupanya hanya ada Ibu yang sedang memasak.
"Dari mana saja, Tur? Aku membuat sumpil dan menggoreng tempe kesukaanmu. Makanlah bersama Darinah dan Tum." Sumpil adalah ketupat atau lontong yang dibungkus menggunakan daun bambu berbentuk limas segitiga. Ditemani tempe goreng hangat rasanya nikmat sekali. Makanan itu memang kesukaanku sejak kecil.
"Habis dari rumah Paman Darno. Bu, ngomong-ngomong Darinah ada di mana?"
"Darinah pindah ke kamar ayahmu. Biar bisa tidur pakai kasur. Kasihan anak-anak kalau tidur di kamar depan." Ibu membalik tempe di dalam wajan.
"Ibu yang menyuruh?'
Ibu menatap ke arahku, lalu menggelengkan kepala. Wanita yang telah melahirkanku itu tersenyum dan berkata, "Ayah yang meminta Darinah pindah ke kamar belakang."
"Ayah, Bu?"
"Iya. Ajaklah Darinah sarapan, Tur."
Aku mengiyakan perintah Ibu.
Kulihat Darinah sedang menyusui Trias di kamar Ayah. Sesekali Darinah meringis, tetapi tidak separah saat menyusui Tum dulu. Kata Darinah, sewaktu Tum menyusu dan sering melukai putingnya, itu disebabkan oleh gigi Tum yang mulai tumbuh.
"Dar, Ibu menyuruh kita makan."
"Sssttt. Pelankan suaramu, Mas. Trias hendak tidur."
"Tum di mana?" Aku celingukan karena tidak menemukan putri sulung kami di kamar.
"Di belakang rumah. Sedang melihat kambing bersama Ayah." Darinah berbisik-bisik takut mengganggu Trias yang sudah terkantuk-kantuk.
"Baiklah, aku tunggu di tempat makan."
Aku pergi ke belakang rumah. Kulihat Ayah sedang mengelus kepala Tum. Sengaja tidak kusambangi mereka. Aku balik ke dapur untuk membantu Ibu menata makanan di meja.
"Ayok, Bu. Kita makan bersama," ajakku.
"Aku nanti saja bareng ayahmu. Kalian makan saja duluan."
"Kalau begitu, biar Ayah sekalian makan sama-sama."
"Tidak akan mau. Jadwal sarapan Ayah jam sepuluh pagi. Itu artinya sejam lagi baru dia mau makan." Ibu memang istri yang baik, selalu menunggu Ayah kalau mau makan. Tak pernah sekalipun aku melihat Ibu mendahului Ayah makan.
"Kalau begitu, aku juga makan nanti saja."
"Jangan begitu. Istrimu harus menyusui Trias. Dia tidak boleh telat makan."
"Bu, syukurlah Ayah tidak marah lagi." Aku mengembangkan senyum.