Belajar hal baru itu selalu menjadi hal menyenangkan. Satu minggu saja menekuni proses pembuatan es tung-tung, kata Paman dan Bibik aku sudah cukup terampil dan bisa mulai berjualan keliling.
Paman mengajariku cara menyendok es tung-tung dan menaruhnya di atas kerupuk corong berwarna merah jambu.
"Wah, anak Kang Samarta ini memang sangat berbakat. Tangannya cekatan sekali melakukan pekerjaan," puji Paman padaku.
"Ah, Paman terlalu berlebihan memuji."
"Nah, Tur. Kebetulan aku mempunyai dua gerobak. Tidak terlalu bagus memang, tapi untuk awal merintis tidak masalah, masih layak pakai."
"Terima kasih banyak, Paman. Maaf aku sudah merepotkan."
"Tidak perlu bilang seperti itu. Kita ini keluarga. Untuk sepedanya, kamu bisa pakai punya ayahmu."
Tidak sulit membujuk Ayah untuk meminjamkan sepedanya untukku berjualan.
"Aku janji, Yah, kalau jualannya laris, sepeda Ayah akan kuganti dengan yang baru." Aku terlalu menggebu-gebu sampai tidak tahu kalau Ayah menertawakanku.
"Jangan kebanyakan janji, Nak. Aku sudah muak dengan janji-janji wakil rakyat yang tidak terpenuhi. Kamu jangan bikin muak juga seperti mereka."
Aku menggaruk kepala yang tak gatal.
Aku sepakat tidak akan berjualan di area Paman. Paman sudah menyebutkan daerah mana saja yang sering dijajakinya. Aku akan mencari tempat lain untuk mencari pelanggan.
Hari pertama, aku berjualan di halaman sekolah SMP negeri yang terletak di perbatasan Kabupaten Cilacap dan Banyumas. Semuanya ludes dan laku keras. Uang yang kudapat bisa kuputar lagi untuk modal. Lebihannya kuserahkan pada Darinah dan Ibu. Aku hanya menyisihkan sedikit saja untuk membeli sepeda baru.
Selama seminggu semua berjalan lancar. Modal kembali dengan cepat. Darinah dan Ibu sumringah. Namun, begitu memasuki minggu kedua, sampai pukul dua siang jualanku masih banyak. Aku menjangkau rute perjalanan yang lebih jauh hingga ke wilayah Banyumas.
Ketidakberuntungan hari ini rupanya berpihak padaku. Setelah sepeda milik Ayah kukayuh cukup jauh, tiba-tiba bannya kempis. Aku harus mencari bengkel, dan itu tidak mudah. Kudorong sepeda yang cukup berat karena menopang gerobak di belakang. Dengan kondisi ban sepeda kempis, aku mampir ke pasar kecamatan. Pasar yang sering aku kunjungi dulu.
"Pak, ada bengkel yang dekat dari sini tidak, ya?" tanyaku pada tukang buah yang menjadi langgananku saat Darinah masih suka ngidam dulu.
"Hey, Bung. Rupanya kamu. Lama tidak melihatmu." Bapak tukang buah tidak langsung mengindahkan pertanyaanku.
"Sementara waktu, saya tinggal di Cilacap, Pak," jawabku cepat karena sedang tidak ingin berbasa-basi.
"Jauh sekali."
"Ah, tidak juga. Cilacapnya masih perbatasan, kok."
"Tadi kamu bertanya bengkel, ya? Di dekat TPU sana ada bengkel. Masuk gang sedikit."
"Syukurlah. Kebetulan saya sekarang jualan es tung-tung. Tapi sepedanya malah kempis. Ah, sebentar."
Aku pergi ke gerobak sepedaku yang disandarkan ke tiang bambu. Kubuatkan satu corong es tung-tung untuk Bapak penjual buah.
"Ini, Pak, nyicipin."
"Aduh, kalau begitu ini kubayar saja."
"Tidak usah, Pak. Ini gratis, kok. Kan saya bilangnya Bapak suruh nyicipin." Aku tertawa.