Banyumas, 1993.
Sehari sebelum hari pernikahan Haryati, kami sudah kembali ke rumah. Rumah yang beberapa minggu kami tinggalkan.
Aku dan Darinah sibuk membersihkan debu-debu yang menempel di tempat tidur, kursi-kursi dan juga meja. Selain itu, beberapa jaring laba-laba terlihat menghiasi langit-langit tanpa eternit. Di pojokan ruang tamu, beberapa rumah rayap menjulang tinggi seperti lilin.
"Tak kusangka, belum lama rumah ini kita tinggalkan, tapi sudah memprihatinkan begini kondisinya," keluhku.
Darinah tersenyum. Auranya terlihat lebih bersinar dari biasanya. Beberapa waktu lalu, dia bilang padaku bahwa dirinya sangat bersyukur bisa tinggal di rumah kedua orang tuaku. Darinah mendapatkan banyak pelajaran berharga dari Ibu.
"Tapi tidak mungkin kita akan terus tinggal di Cilacap kan, Mas? Tidak mungkin kita lebih lama meninggalkan rumah ini?" Darinah mengedarkan pandangan ke tiap-tiap sudut rumah gubuk kami. Wajahnya menunjukkan kalau dia merindukan suasana rumah.
Aku termangu. Kalau harus tinggal di rumah ini lagi, apakah semua akan baik-baik saja seperti saat tinggal di Cilacap? Siapa yang dapat menjamin kalau Darinah tidak akan kembali ke setelan pabrik?
"Kita pikirkan itu nanti, Dar," jawabku diselimuti rasa tidak yakin.
"Mas, kasurnya sudah dibersihkan. Tolong pindahkan anak-anak kemari," pinta Darinah yang menata bantal di atas kasur.
Aku membopong Trias terlebih dahulu dari lincak ruang tamu. Berikutnya, tubuh Tum yang semakin berbobot kuangkat.
"Dar, di luar sepertinya ada tamu. Bukakanlah pintu. Aku akan mencari obat nyamuk sebentar. Kasihan anak-anak tidurnya tidak tenang."
"Baiklah, Mas."
Aku menyusul Darinah ke ruang tamu usai menyalakan obat nyamuk yang kuletakkan di bawah kolong tempat tidur.
"Oh, ada Bapak sama Haryati rupanya." Aku menyalami keduanya bergantian.
Tangan Haryati terasa dingin. Aku ingat pernah menghangatkan tangan dingin itu. Namun, mulai besok, akan ada laki-laki yang lebih berhak melakukannya.
"Aku senang kalian pulang." Haryati terlihat lebih dewasa. Bentuk tubuhnya semakin ideal. Kecantikannya semakin terpancar ditandai dengan warna kulitnya yang semakin terang. Air dan udara Jakarta cocok untuknya.
"Aku juga senang bisa datang ke acara pentingmu," sahut Darinah.
"Oh, ya, mana keponakan aku yang lucu-lucu itu?" tanya Haryati.
"Tum sama Trias sedang tidur di kamar." Darinah yang menjawab.
"Yaaah."
"Terakhir kita berkirim surat bukannya sebelum Tum lahir? Bagaimana kamu tahu kalau aku punya anak lagi?" tanya Darinah.
"Bapak sama Nenek bercerita banyak padaku. Aku akan melihat wajah-wajah itu sebentar. Tolong antar aku ke kamar, Mbak."
"Baiklah."