Hari ini Haryati resmi dinikahi oleh seorang lelaki bernama Hadi dari keluarga cukup berada. Ibu mertua tidak ada habisnya memuji-muji menantu barunya itu di depan tamu yang datang.
"Kelewatan kamu jadi orang, Nar!" bentak Nenek pada Ibu mertua. Mereka bertengkar hebat di acara pernikahan Haryati. Padahal, banyak sekali tamu yang wira-wiri silih berganti.
"Nek, sedang banyak tamu. Lebih baik Nenek duduk di
depan menyambut mereka. Kasihan kalau Haryati sampai tahu nenek dan ibunya bertengkar pada acara yang sakral ini." Darinah sejak tadi kewalahan menengahi pertikaian dua orang tua itu.
Aku susah payah menggendong Tum yang terus merengek minta dibopong sama ibunya. Kakinya mengentak-entak tidak bisa diam.
"Bu ... Bu ... Bu." Tum memanggil-manggil sang ibu sambil dua kakinya terus bergerak-gerak. Yang dipanggil rupanya tak menghiraukan. Darinah pasti sedang pening sekali mengatasi tingkah dua orang tua yang seharusnya jadi panutan itu. Malah sebaliknya, bersikap mirip anak kecil.
Semua berawal dari Nenek yang tak terima kalau Ibu menyebut Haryati sebagai putri tunggalnya. Lalu, Darinah dianggap apa? Ditambah lagi Ibu tidak berhenti menyanjung menantu barunya. Selalu membanding-bandingkan denganku. Katanya, mahar dan seserahan yang dibawa Hadi--suami Haryati lebih banyak dan lebih mewah dariku dulu. Hal itu cukup membuatku mengurut dada.
Kupikir Ibu memang keterlaluan. Kepada setiap tamu yang datang, dia selalu membanggakan kecantikan Haryati yang membuat pangling. Eloknya melebihi bunga mawar. Kuakui Haryati memang cantik. Tanpa riasan wajah pun dia begitu mempesona. Hanya laki-laki tidak normal saja yang enggan mempersuntingnya. Namun, tak seharusnya wanita tua itu bersikap berlebihan.
Yang membuat aku tidak terima adalah kenapa Ibu tidak pernah memuji Darinah sedikit pun saat dia didandani jadi pengantin dulu? Padahal, sewaktu Darinah menjadi ratu sehari, dia pun terlihat cantik dan bikin pangling. Untung saja, Nenek sudah mewakili perasaanku. Jadi, biarlah pertengkaran itu terjadi. Aku tak berniat memisahkan mereka. Biarkan saja Ibu mertua dimarahi habis-habisan sama Nenek. Toh, kalau aku yang melakukannya itu tidak mungkin terjadi. Masa iya, aku mau memaki-maki mertuaku sendiri?
Pada akhirnya, mereka kelelahan. Darinah juga mengeluh capek padaku. Tum sudah tertidur di gendonganku.
Para tamu undangan yang tidak sengaja menyaksikan mereka tadi bertengkar buru-buru pamit pulang. Sedangkan tamu-tamu lain memusatkan telinganya pada iring-iringan musik Jawa. Sehingga mereka tidak tahu ada keributan yang sedang terjadi.
"Mas, sungguh aku malu sekali. Lebih baik kita pulang saja." Darinah menarik-narik tanganku. Namun, saat kami tergesa-gesa mau pergi, Bapak mertua melambaikan tangan ke arah kami. Sepertinya baik Bapak mertua dan kedua mempelai tidak ada yang tahu kalau baru saja terjadi perang.
"Kita dipanggil sama Bapak, Dar," ujarku yang mendadak menghentikan langkah.
Darinah celingukan mencari sosok ayahnya.
"Memang Bapak di mana, Mas?"
"Itu di atas pelaminan," tunjukku pada pelaminan yang berlatar belakang gebyok. Pelaminan berornamen warna-warni bunga, sebagai lambang keharmonisan rumah tangga. Di bagian tengahnya, ada elemen gunungan wayang kulit menggambarkan perjalanan rumah tangga yang tidak mudah dilalui. Di bagian depan panggung, dipajang berbagai jenis macam sayur dan buah-buahan. Sebagai simbol dan harapan hidup dalam kemakmuran.
"Oh, kita mau diajak foto keluarga sepertinya." Darinah berkata dengan yakin.
"Tapi, Dar. Tum bagaimana?"
"Biarkan saja dia ikut berfoto. Biar nanti kalau sudah besar ada dokumentasinya. Ini loh, waktu kamu masih kecil ada di foto pernikahan Bulik," celetuknya bergelora.
Sebetulnya aku tidak terlalu menyukai keramaian. Pun dengan menjadi pusat perhatian setiap mata memandang. Ditambah lagi aku harus berfoto tepat di samping Haryati. Rasanya masih kikuk. Sementara itu, Darinah berfoto di samping Hadi. Ibu dan Nenek yang tadi bercengkrama dipaksa ikut berfoto juga oleh Bapak.
"Eh, ponakan Bulik bobo, ya." Haryati mengecup pipi gembul Tum. Lipstik dari bibirnya yang berwarna merah merona membekas di sana. Pipi mulus Haryati tidak sengaja menyenggol tanganku yang memegangi kepala Tum. Mendadak bulu kudukku pada berdiri.
Seorang kamerawan berdiri di depan mengarahkan agar kami tersenyum riang. Namun, aku hanya bisa tersenyum datar. Walaupun perasaanku terhadap Haryati sudah tak seperti dulu lagi, terlebih setelah kehadiran Tum dan Trias. Namun, kami memiliki kisah yang indah pada masa lalu. Sehingga setiap kali berjumpa dengannya, ada perasaan yang sedikit aneh.