Aku tidak tega sama Darinah kalau harus menutup-nutupi kedatangan Ningrum. Kutemui Darinah untuk berterus terang.
"Dar, aku mau bicara."
"Ya, bicaralah, Mas. Aku sambil menyuapi Tum makan. Tum, buka mulutnya yang lebar."
"Aaaaa." Putri sulungku menurut.
Aku menggaruk-garuk leher seolah merasakan gatal. Biasanya aku pura-pura menggaruk kepala, tapi sekarang sudah mulai bosan, jadi kuganti saja dengan leher.
"Aku ingin membicarakan tentang seseorang. Tapi janji jangan marah, ya?"
"Tergantung."
"Janji dulu."
"Ya."
"Iya apa, Dar?"
"Janji untuk tidak marah terkait dengan apa yang kamu katakan." Darinah tak sekalipun menatap ke arahku. Dia fokus menyuapkan nasi dan telur rebus ke mulut Tum.
"Tum, ambil sendokmu! Makanlah dengan benar. Sekarang kamu belajar makan sendiri, ya. Ibu mau ngobrol sama Bapak."
Aku sejak tadi sibuk mengatur pikiran. Berulang kali aku berlatih menyusun kata demi kata di dalam hati. Aku tidak mau melukai hati Darinah.
"Sekarang Tum sudah makan sendiri, Mas. Apa yang hendak kamu katakan?"
Kutatap mata teduh Darinah. Dia hanya wanita biasa yang tentu saja bisa merasakan sakit. Aku takut memulainya, tapi jika dipendam terus, tidak akan baik dampaknya.
"Dar, sewaktu hari pernikahan Haryati, ada seorang wanita yang bertamu kemari. Saat itu kamu sedang tidur."
"Namanya Ningrum, bukan?"
"A-apa? Kenapa kamu bisa tahu, Dar? Jangan bilang Haryati yang memberitahu."
Darinah tersenyum. "Aku tahu sendiri. Aku hanya tidur sebentar saat itu. Saat tahu ada tamu spesial, aku sengaja tidak keluar. Aku takut mengganggu. Maaf, karena penasaran, aku jadi menguping semua obrolan kalian."
"Percayalah, Dar. Ningrum hanya masa laluku. Masa depanku itu kamu dan anak-anak."
"Iya, Mas. Apa kamu berpikir aku akan marah? Kan, tadi aku sudah janji."
Akhirnya, aku bercerita tentang Ningrum dengan rasa tidak nyaman. Aneh sekali, Darinah tidak menampakkan tanda-tanda cemburu sama sekali. Aku curiga, jangan-jangan memang istriku tidak pernah menaruh perasaan padaku.
"Dar, kamu tidak cemburu atau sakit hati?"