Ruangan yang penuh dengan warna putih, wangi obat yang menyeruak dengan sangat kencang memasuki indera pembau, selang infusan yang panjang menempel pada tangan seseorang, suara mesin Elektrokardiograf yang bekerja terus tanpa henti untuk menandakan pasien yang sedang terbaring di ranjang Rumah Sakit itu masih hidup. Disisi lain ada seorang pria, berambut hitam kecoklatan, menatap lembut pasien yang sedang melihat sekeliling dengan bingung.
"Aku pingsan lagi ya?" Tanya nya dengan suara yang lemah, pria itu hanya mengangguk pelan, "iya, kalo mau lanjut tidur, lanjut aja. Aku temenin disini" Ujarnya, mengelus rambut pasien wanita itu dengan lembut dan pelan, tersenyum saat menatap mata wanita yang sudah ia kenal 5 tahun lamanya.
"Gamau, aku mau ngobrol sama kamu aja, Al." Wanita itu menggeleng dengan pelan dan mengambil tangan besar pria yang sedari tadi mengelus rambutnya itu, dikecup nya tangan itu dan menempelkan nya di pipi. Pria itu tersenyum dan mengangguk "Yaudah, gimana kamu aja, sayang" Tuturnya lembut, tersenyum cerah diberi untuk kekasihnya yang sangat setia menemani ia di hari-hari nya yang buruk ini.
Anara, biasa dipanggil Nara itu mengidap penyakit dalam yaitu penyakit tulang yang mengharuskan ia untuk terus meminum obat selama hampir 3 tahun lamanya. Anara sudah berada di bangsal Rumah Sakit selama sebulan, lalu hari ini tepatnya siang tadi, ia pingsan karena terlalu lelah. Penyakit tulang nya itu tidak membiarkan ia lelah sedikitpun, seperti mengharuskan dirinya untuk terus berbaring di ranjang seharian.
Altezza, selaku kekasih Anara yang sudah menemani selama 5 tahun itu mengajak Anara untuk jalan-jalan kecil, menggunakan kursi roda agar Anara tidak kelelahan. Mereka berhenti dibawah pohon yang hanya tersisa ranting, entah kemana perginya semua daun yang tumbuh bersama pohon besar tersebut.
Mereka mengobrol, mengeluarkan topik yang seru, sesekali Altezza menceritakan bagaimana kehidupan kantor yang selama ini Altezza inginkan, begitu juga dengan Anara yang menganggapi dengan bangga. Dua sejoli itu terlihat sangat serasi. Tak terasa waktu sudah hampir malam, Altezza mengantar Anara kembali ke kamar inap nya, menemani Anara makan malam dan meminum obat yang sudah diresepkan untuk dirinya.
Pukul 8 malam Altezza berpamitan kepada Anara dan juga ibu dari Anara, itu sudah menjadi keseharian Altezza jika hari sudah memasuki weekend. Altezza akan menemani Anara dari pagi hingga malam, lalu terkadang ia mendatangi Anara di jam 2 malam, karena Anara suka sekali terbangun dari tidurnya dan hanya bisa ditemani oleh Altezza saja.
***
Angin malam mulai dingin, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang, gedung sudah kosong, manusia sudah beristirahat untuk hari selanjutnya. Berbeda dengan Altezza yang sedang menuju Rumah Sakit dengan mobil berwarna putih, membelah jalan yang sepi. Sesampainya ia, langsung masuk ke kamar Anara, disana hanya ada Anara yang terbaring, kedua orang tuanya sudab berada di rumah untuk istirahat, matanya terbuka melirik kearah jendela yang gorden nya terbuka menampakkan gedung yang sudah mati lampunya.
Begitu pintu terbuka, Anara mengalihkan pandangannya dan tersenyum sumringah, bahagia melihat Altezza datang. Altezza pun sama, ia tersenyum namun ia merasa malam itu Anara sangat pucat. Ia menghampiri Anara, duduk disebelah ranjang dan mencium tangan Anara yang hangat. Entah tangannya dingin karena terlalu lama berada di mobil atau memang suhu badan Anara yang sedang hangat.
"Sayang, are you okay?" Tanya nya, Anara mengangguk, "iya! I'm fine! Aku bahkan gabisa tidur soalnya mikirin sesuatu yang wow!" Ujarnya dengan semangat, Altezza berdehem pelan dan mengangguk mengerti.
"Emang mikirin apa? Aku boleh tau?" Pertanyaan itu sontak membuat Anara merasa lebih bahagia dan bersemangat, Anara membenarkan posisi berbaringnya.
"Aku mikir gini, gimana jadinya kalo kita meninggal terus balik ke masa lalu? Kalo kamu jawabannya apa za?"
Sontak Altezza menahan napas nya sedetik lalu tersenyum dan mengusap rambut Anara, "kalo aku, aku pengen memperbaiki kesalahan dan ketemu kamu lagi" Jawaban singkat itu diberi Altezza, Anara masih tersenyum dan terus mengangguk. "Kalo aku, aku bakal bales dendam kesemua yang udah jahat sama aku! Baru deh ketemu sama kamu hehehe"
Altezza terkekeh kecil, ia lagi-lagi mengangguk, berikutnya Anara melanjutkan perkataannya, "kalo nanti aku beneran kembali lagi ke masa lalu, kamu jangan sombong ya sama aku! Harus inget aku! Harus ya Za!"
Pernyataan itu sontak membuat Altezza tertawa kecil, "iya sayang. Nanti aku bakal langsung ngenalin kamu pas ketemu lagi" Jawaban itu entah mengapa membuat Anara tenang, Anara menarik napas panjang.
Altezza melihat wajah Anara yang semakin pucat, bahkan tangan Anara yang tadinya hangat kian lama mendingin. Altezza gelisah tiba-tiba, ia berusaha menepis pikiran buruknya. Entah mengapa Altezza memikirkan bahwa ini adalah percakapan terakhir mereka.
"Sayang, udah ah, aku gamau ngomongin hal-hal kayak gitu, ga suka" Ungkapnya dengan nada lemah, Anara terkekeh lalu mengangguk. "Okay sayang!"
Setelahnya Anara membenarkan lagi posisi berbaringnya, ia tarik tangannya dari genggaman Altezza dan menaruh kedua tangannya di bawah dada, ia melihat Altezza, tersenyum dengan mata yang sayu dan bibir yang pucat itu.
"Sayang.... Aku ngantuk" Rengeknya, Altezza yang melihat pergerakan dan bahkan melihat posisi tidur Anara yang tidak biasa membuat nya sesak. Ia benar-benar gelisah setengah mati. Altezza ingin membuang hal-hal buruk dari pikirannya tentang Anara, namun nihil. Anara yang bersikap tidak biasa membuat Altezza terus memikirkan hal buruk. Altezza memejamkan matanya, berusaha untuk tenang, ia menarik napasnya pelan dan tersenyum. Mengusap kembali rambut Anara yang lembut itu.
"Ngantuk ya? Tidur gih, aku temenin disini, aku selalu disini sayang" Entah apa yang merasuki Altezza sehingga ia mengatakan hal tersebut, namun itu membuat Anara semakin tenang.
Anara terkekeh, "iya kamu selalu disini. Aku bobo ya."
Anara mulai memejamkan matanya, Altezza masih terus mengusap rambut Anara. Tanpa disadari, cairan bening keluar dari mata Altezza begitu mendengar mesin Elektrokardiograf yang tiba-tiba berbunyi dengan cepat, menandakan jantung pasien yang berdetak tidak normal, tak lama kemudian mesin itu memperlihatkan garis yang bergelombang mengikuti detak jantung berubah menjadi garis lurus.