Turn my time for you

Muhammad Diaz Ardiansyah
Chapter #2

Repeat the time

Arga terbangun dengan napas tersengal. Alarm di jam 07.12 kembali berbunyi. Langit pagi yang sama. Nada burung di luar jendela, masih sama. Bahkan suara rintik hujan di pagi itu, persis seperti sebelumnya. Dia menatap tangannya. “Ini... Yang ke-33…” bisiknya pelan.

Kemarahan dan ketakutan bercampur di dadanya. Ia yakin sudah menyelamatkan Daisy dari kecelakaan, tapi tetap saja, dia mati. Dan sekarang… Arga bahkan tidak tahu kenapa. 'Kenapa Daisy bisa mati padahal sudah sampai rumah dengan selamat?'

Tanpa pikir panjang, Arga meraih ponsel dan mencoba menghubungi Daisy.

Nada sambung hanya terdengar satu kali, sebelum suara di ujung sana menjawab dengan lirih—lemah, gemetar, dan penuh ketakutan.

“Tolong… aku…”

Arga membeku. “Daisy? Daisy, kamu kenapa?!”

Tidak ada jawaban. Hanya bunyi gesekan pelan, lalu sambungan terputus.

Dia terpaku. Tangannya gemetar. Bukan hanya waktu yang haus akan Daisy… 'tapi sesuatu yang lain juga menginginkannya.'

Arga langsung berlari ke garasi, segera menaiki sepeda motornya menuju rumah Daisy. Jalan masih sepi, udara pagi belum sepenuhnya hangat. Tapi di dadanya tumbuh rasa tak nyaman. Bukan firasat buruk seperti biasanya… hanya kecemasan dingin yang mengendap.

“Tolong aku…” suara Daisy masih terngiang di kepalanya, menggerakkan setiap langkahnya lebih cepat dari logika.

Sampai di depan rumah Daisy, semuanya tampak biasa. Tidak ada asap. Tidak ada suara aneh. Tidak ada apa pun—dan itu justru yang paling menakutkan.

Dia menggedor pintu. “Daisy!? Daisy, kamu di dalam?!”

Tak ada jawaban. Arga mencoba membuka pintu.

Tidak dikunci.

Saat pintu terbuka, tubuhnya langsung membeku.

Daisy tergeletak di belakang pintu, dalam posisi setengah terduduk, wajahnya pucat, napasnya lambat.

“Daisy! Hei!!” Arga langsung mendekati Daisy, mengguncang pelan tubuhnya.

Mata Daisy sedikit terbuka. “Arga…,” bisiknya lirih, “Aku mimpi… ada yang... nahan aku…”

Arga memeluknya erat. Kali ini ia sadar... kematian Daisy bukan karena waktu. Tapi karena sesuatu yang tak terlihat, dan kini... mengincar Daisy di dalam rumah.

Arga dengan hati-hati mengangkat tubuh Daisy dan membawanya ke kamar. Nafasnya pelan tapi teratur, wajahnya tetap pucat. Waktu berjalan lambat—dua jam terasa seperti seabad. Arga menggenggam tangan Daisy dari samping kasur berharap dia segera tersadar.

Saat Daisy akhirnya membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah wajah Arga yang duduk berjaga di sampingnya.

“Arga…,” ucapnya lemah.

Dengan reflek, Daisy langsung menarik Arga ke pelukannya dan menangis. Tangis pelan dan berat, seperti beban yang ia tak mengerti, mendesak keluar dari dadanya.

“Aku... aku takut…” gumam Daisy.

Arga membelai rambutnya, diam, membiarkan Daisy merasakan kehadirannya sebagai satu-satunya hal yang nyata di hari itu.

Setelah merasa Daisy lebih tenang, Arga mengantar Daisy ke meja makan dan membuatkan bubur instan serta air lemon dingin, Arga duduk di depannya, dan mencoba memulai obrolan.

“Dais... kamu sadar nggak, tadi pagi waktu kamu aku telfon. Kamu cuma bilang ‘tolong aku’. Terus waktu aku kesini, nemuin kamu tergeletak di lantai, kamu sempat bilang kamu mimpi... ‘ada yang nahan kamu’. Kamu inget nggak?”

Daisy mengerutkan alis. “Aku... nggak inget, Ga. Serius. Yang aku inget cuma... Tadi pas mau buka pintu depan karena niat keluar beli sesuatu. Tapi tiba-tiba tubuhku lemas, terus... pandanganku gelap.”

Seketika dada Arga terasa sesak. Dia yakin Daisy mengalami sesuatu, tapi dia sendiri tak tahu apa.

Sambil menatap Daisy yang masih kebingungan, Arga berbicara pelan, dan hati-hati.

“Dais… aku mau kamu dengerin dulu, oke? Aku tahu ini gila. Tapi kemarin, atau lebih tepatnya di pengulanganku sebelumnya... kamu mati.”

Daisy menoleh cepat, napasnya tersengal. Tapi Arga melanjutkan.

“Aku udah ngulang hari yang sama ini... tiga puluh dua kali. Di loop terakhir, aku berhasil jagain kamu sampai pulang. Kita bahkan ngobrol di restoran, waktu itu kamu bilang mulai percaya sama aku…”

Tatapan Daisy kosong. Tapi pelan-pelan, kerutan di dahinya muncul. Kepalanya mulai nyut-nyutan.

“Ga... kenapa... aku ngerasa kayak tahu semua itu?” bisiknya. “Restoran, percakapan... Kamu di pagar depan... Aku kayak ngerasa pernah ngalamin... tapi juga enggak. Kenapa memoriku ngerasa itu nggak pernah terjadi?”

Tangan Daisy mencengkeram kepalanya, keringat dingin mengalir. Ia terduduk lemas.

Lalu pandangannya teralihkan, jam dinding di ruang makan menunjukkan pukul 17.45. Di atas meja kecil, ada jam analog kecil lain: 00.00. Di rak buku 07.12.

“A—Arga,” bisik Daisy, menunjuk ke jam-jam itu. “Jamnya… semuanya berhenti di waktu berbeda.”

Arga menatap satu per satu... dan matanya membelalak.

“Semua jam itu… itu poin waktu kamu mati.”

17.45 – tabrakan mobil.

00.00 – kebakaran.

07.12 – tiap kali loop dimulai.

Seketika hawa di ruangan berubah jadi dingin. Terlalu dingin untuk ukuran siang hari.

Sesuatu sedang bermain dengan waktu. Dan Daisy mungkin berada di tengah-tengahnya.

“Daisy,” kata Arga serius, “mulai sekarang aku nggak akan ninggalin kamu. Sama sekali. Mau kamu tetap di rumah, atau pergi ke mana pun... aku bakal ikut.”

Daisy menatapnya, masih bingung, masih setengah takut. Tapi ia mengangguk. Diam-diam, kehadiran Arga adalah satu-satunya hal yang membuat semuanya terasa sedikit nyata.

Arga pun mulai menyusuri seluruh bagian rumah. Setiap ruangan ia datangi, matanya mencari dan satu per satu, jam-jam aneh mulai terlihat. Semuanya mati, dan waktu yang ditunjukkan berbeda-beda:

1. 07.12 — waktu loop mulai.

2. 11.15 — belum terjadi, masih mister

3. 13.31 — menit dan jam yang sama, repetitif.

4. 15.11 — dekat waktu sore, apakah ini waktu Daisy pingsan sebelumnya?

5. 17.45 — tabrakan mobil di loop awal.

6. 21.XX — jarum menit hilang. seperti ada sesuatu yang disembunyikan.

7. 00.00 — waktu gelap total di loop terakhir.

Dia mencatat semuanya di kertas, lalu menaruhnya di meja ruang tamu.

“Jam ini... kayak bikin suatu pola. Semacam titik-titik rapuh dari hari ini,” gumam Arga. “Kalau aku bisa antisipasi dari tiap waktu dan pastikan kamu selamat di tiap titik ini... mungkin kita bisa keluar dari loop ini.”

Daisy menggenggam tangan Arga erat, matanya gugup. “Ga... kamu yakin bisa jagain aku dari semua itu?”

Arga menarik napas dalam. “Aku harus. Karena kalau gagal lagi, kita nggak tahu apa lagi yang bakal diambil darimu.”

Jam tangan Arga menunjukkan pukul 11.10. Lima menit lagi menuju poin waktu kedua : 11.15. Ia masih bingung, haruskah tetap di rumah atau justru lebih aman jika Daisy dibawa keluar?

Sementara pikiran Arga berputar cepat, Daisy tiba-tiba terpaku. Tatapannya kosong, lurus ke arah ujung kamar yang dijadikan gudang.

Dengan suara lirih, hampir tak terdengar, ia berkata, “Api itu... membunuhku.”

Arga menoleh tajam. “Apa Dais...?” tanyanya, bingung.

Daisy langsung tersentak, matanya membesar, tubuhnya menggigil. “Aku... aku nggak tahu kenapa aku bilang itu. Aku nggak ingat apa-apa, Ga… sumpah.”

Jam menunjukkan 11.14.

Tanpa menunggu lama, Arga berlari ke arah gudang dan membuka pintunya. Debu mengepul dan udara pengap segera menyerbu wajahnya. Di sudut ruangan, mereka menemukan kipas rusak —anehnya masih tersambung ke colokan— 'bergetar sendiri' seperti menyala diam-diam.

Tiba-tiba 'cetrek!' percikan kecil terlihat dari bagian mesinnya.

“Kipas ini… ini pasti penyebab kebakaran dirumah ini,” kata Arga pelan, matanya membulat.

Seketika ia mencabut kabelnya dan menjatuhkan kipas itu ke lantai. Daisy gemetar sambil menutup mulutnya. “Jadi... bahkan saat kita nggak tahu, semuanya tetap ngarahin ke kematianku?”

Arga menatap jam. 11.15.

Titik kedua... selamat.

Setelah memastikan rumah aman, Arga mengajak Daisy ke taman terdekat. Mereka memilih duduk di gazebo kecil yang teduh, jauh dari keramaian, hanya dikelilingi pohon-pohon tinggi yang gemerisik pelan ditiup angin.

Lihat selengkapnya