Daisy terbangun.
Tidak ada alarm. Tidak ada suara tangis. Hanya, keheningan pagi yang asing.
Ia duduk pelan, memegang kepalanya yang terasa berat. bukan karena pusing, tetapi karena rasa sepi. Sesuatu terasa hilang untuknya. Suatu hal yang besar.
Tangannya merogoh ke leher dan di situ, tergantung 'kalung kecil berbentuk kunci'. Hadiah dari Arga. Saat malam terakhir mereka pulang dari resto.
Ia buru-buru meraih HP. Membuka kontak.
Tidak ada kontak Arga.
Galeri foto. Kosong, tidak ada file sama sekali.
Percakapan. Voice note. Semua lenyap begitu saja. Kecuali satu hal, kalung itu.
Panik, Daisy segera menuju ke rumah Arga. Saat pintu dibuka, wanita paruh baya yang jelas ibu Arga. Menatapnya ramah, tapi asing.
"Permisi bu, ini Arga nya ada?." Tanya Daisy.
“Maaf dek cantik. Mungkin salah alamat, kami tidak punya anak.” jawab ibu Arga.
Jantung Daisy merosot. Kakinya gemetar.
Ia langsung menuju ke kantor tempat Arga kerja. Bertanya pada rekan-rekan yang dulu sering nongkrong bareng dengan Arga.
Tetapi tiap Daisy bertanya respon mereka selalu sama. “Arga? Siapa ya? Disini gak pernah ada karyawan namanya gitu kak”
'Keanehan dunia dimulai' Daisy menatap sekeliling. Sekelebat orang-orang berhenti bergerak selama sekisn detik. Hening mutlak. Lalu dunia berjalan lagi seperti biasa.
Hanya dirinya yang menyadari kejanggalan itu.
Lalu bisikan terdengar, samar sekali. seolah dari ruangan kosong di benaknya.
“Dais… Daisy.” Suara Arga. Memanggil lirih.
Seperti penuh dengan rasa kesakitan.
“Aku di sini… aku sendiri... gelap... kamu dimana…”
Daisy berdiri terpaku.
Kalung di lehernya. Menghangat.
"Arga masih belum mati. Dia sedang terjebak di suatu tempat."
Daisy berdiri di pinggir jalan, menatap kosong ke arah langit yang biasa mereka pandangi berdua. Bisikan itu —suara Arga— masih terdengar, seperti di tempat jauh. Jauh sekali. Bagaikan langit memantulkan suara dari dimensi lain.
Tapi Daisy tahu satu hal—Arga memanggilnya.
Dan kali ini, gilirannya untuk menyelamatkan Arga.
Daisy mulai mendatangi tempat-tempat penuh kenangannya dengan Arga.
Taman kecil, tempat mereka duduk di gazebo, ia berdiri di tengahnya, memejamkan mata, mencoba dengarkan lagi mencari suara Arga.
Restoran di malam terakhir ia duduk di meja yang sama, menggenggam kalungnya erat, belum jelas juga suara Arga.
Ruang tamu rumahnya sendiri, tempat Arga pernah mencatat semua jam loop dan menemaninya, Daisy membaca kembali kertas itu dengan jemari bergetar.
Setiap tempat memberi gema samar, seolah dunia berbisik balik padanya. Tapi bukan dunia yang sekarang. Dunia tempat Arga terperangkap.
“Sabar ya, Ga…” bisik Daisy. “Aku pasti akan temukan kamu.”
Kalung di lehernya mulai berdenyut pelan, membuatnya ingin menuju satu tempat yang belum ia datangi.
Daisy bergerak, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari taman, restoran, halte, sudut gang kecil. Setiap kali suara Arga mulai lebih jelas, 'tiba-tiba menghilang'. Seperti dicegah oleh suatu dinding yang tak terlihat.
Kalung di lehernya yang semula hangat, langsung menjadi dingin. Tanpa getaran, tanpa petunjuk.
Daisy terduduk di bangku taman, memeluk dirinya sendiri, air matanya mulai jatuh. Dan mencoba berulang kali berbisik,
“Jangan menyerah, Daisy. Arga nggak pernah nyerah waktu itu. Sekarang giliran kamu Daisy.”
“Kalau kamu bisa dengar aku, tolong, balas aku sekali aja, Ga… aku gatau harus nyari kamu gimana”
Langit mulai menggelap. Angin bertiup pelan. Tapi tidak ada jawaban. Tidak ada pertanda.
Hanya kelelahan. Hanya rindu yang menggantung tanpa arah. Daisy kembali kerumah tanpa hasil apapun.
Esoknya. Daisy melanjutkan pencarian.
Tapi sesuatu dalam dirinya kini sadar pencarian ini 'bukan tentang suatu tempat'.
Mungkin saja ini tentang momen dan memori.
Sudah seminggu Daisy mencari petunjuk, dan tak satupun langkahnya membawa Daisy menuju Arga. Sampai di malam itu, di puncak kelelahan batin, tepat pukul 21.21, air matanya mengering, fisik dan hatinya lelah. Akhirnya dia tertidur.
Tiba-tiba, Daisy membuka mata. Dia sedang kamarnya.
Tapi ada yang berbeda.
Ada sosok Arga sedang duduk di sampingnya, tenang dan tersenyum.
Daisy langsung meraih tangan Arga, tetapi itu hanyalah fragmen. Bayangan memori Daisy yang meleleh seperti kabut saat disentuhnya.
Lalu ia melihat ke arah lorong. Tampak Arga berlari ke arah gudang, tempat kipas pernah menjadi sumber kebakaran. Daisy mengejarnya, tapi Arga 'menghilang lagi'.
Dan pagi pun datang.
Daisy terbangun, tetapi mimpi itu terus berulang lagi dan lagi.
Tiap kali Daisy tidur, dia masuk ke dunia bayangan dan ingatan. Di dalamnya, Setiap titik waktu yang dulu membunuhnya, kini menjadi save point dalam mimpinya. Seperti pintu kecil yang menyimpan jejak ke arah Arga.
Waktu didalam mimpinya berjalan lebih lama daripada di dunia nyata.
Dan kini setiap malam, Daisy masuk ke dalam pencarian dalam mimpi.
Sedangkan setiap siang, ia kembali ke dunia nyata membawa serpihan momen dalam mimpi sebagai petunjuk.
Dua dunia. Satu misi.
Arga menunggu. Di suatu tempat di balik kedua dunia itu.
Di siang yang terik, Daisy termenung di depan jendela. Tatap matanya kosong, pikirannya masih tenggelam dalam mimpi semalam, saat bayangan Arga agak berbeda dari biasanya.
Bayangan itu tidak langsung lenyap saat disentuh. Ia bisa menoleh. Menatap mata Daisy.
Dengan gerakan pelan tangannya terulur, seperti ingin menyentuh balik. Tetapi malah menunjuk ke belakang Daisy, ke arah sebuah rak buku.
Dalam mimpi itu, satu buku tampak mencolok. Merah tua, usang, tanpa judul di sampulnya.
Daisy langsung berdiri. Matanya berkaca. Ia mendapatkan secercah harapan untuk menemukan Arga.
“Perpustakaan tengah kota…” bisik Daisy.
Tempat dimana kenangan muncul—tempat Arga pertama menyatakan cinta padanya. Tempat semuanya pernah terjadi secara nyata. Tanpa pikir panjang, Daisy langsung menuju tempat itu. Nafasnya tercekat, tubuh gemetar.
Hingga sampai di perpustakaan, Daisy mencoba me-reka ulang ingatannya. Satu per satu rak ia telusuri, mencari buku yang berada dialam mimpi itu.
Jam terus berjalan. Rasa frustasi semakin besar. Fikiran untuk menyerah... bahkan sempat Daisy ingin mengakhiri hidupnya... terlintas meski sebentar, sebagai tanda Daisy sudah merasa terpojok.
Tiba-tiba kalung di lehernya menghangat. Berdenyut pelan, seperti detak jantung. Saat Daisy berada di rak paling pojok. Rak buku yang tampak sudah lusuh dan jarang dikunjungi.
Tangannya terulur. Menyentuh punggung buku merah tua itu.
“Selamat datang kembali.”
Suara itu muncul. Bukan dari mimpinya. Bukan dari dunia nyata.
Tapi dari di antara dua dunia.
Daisy duduk di meja terdalam perpustakaan, membuka perlahan halaman demi halaman buku merah lusuh itu. Tulisannya tua, nyaris kabur, tapi makin ia baca, makin terasa buku ini sedang memanggilnya.
Isi awalnya membahas teori eksistensi tiga alam:
1. Alam nyata, tempat tubuh jasad berada.
2. Alam mimpi, tempat roh berkeliaran saat jiwa lelah.
3. Alam gaib, tempat tertahannya makhluk, bayangan, atau kesadaran yang tidak selesai.
Lalu dijelaskan: ada titik di mana mimpi dan gaib nyaris bersatu terutama saat “kesedihan dan cinta saling bersanding."
Buku itu terasa ambigu, tapi ada pola yang disadari Daisy, ada empat kata yang terus berulang isi buku itu,
Life. Death. Love. Straight.
Daisy menandai halaman itu. Kata Straight menarik perhatiannya. Dalam catatan kaki kecil tertulis,
—“Only a straight connection between love and lost will pierce the veil. One must move with honesty, forward, without turning back.”—
Daisy memejamkan mata. Tangannya geram menggenggam kalung pemberian Arga.
"Jadi jalannya cuma satu, aku harus lanjut. Terhubung dengan Arga. Tanpa ada keraguan. Tanpa ada langkah mundur."
Daisy kembali ke rumah, dan beristirahat untuk hari esok yang baru.
Sore itu, Daisy kembali ke salah satu titik di kota, tempat di mana suara Arga dulu nyaris terdengar paling jelas. Ia berdiri sendiri di tengah sepi, tubuhnya tegak, hatinya gemetar penuh harap.