Tahun 1972. Sebuah kota kecil masih diselimuti kabut pagi, sesekali deru sepeda ontel terdengar melintas di jalanan berbatu. Di tengah kota, berdiri rumah-rumah megah milik para bangsawan, berdinding tinggi dan tertutup pagar kokoh, seolah memisahkan dunianya dengan kehidupan rakyat biasa.
Lena, putri tunggal keluarga Suwondo, yang selalu bosan dengan segala kemegahan itu. Gaun sutra, pesta dansa, dan jamuan makan malam yang berulang-ulang terasa bagai sangkar emas baginya. Ada kerinduan yang tak bisa dipadamkan oleh segala kemewahan—kerinduan akan kebebasan dan petualangan sejati.
Setiap minggu, ia diam-diam menyelinap keluar dari rumah, melepaskan sepatu berkualitas tinggi dan menggantinya dengan sandal sederhana yang membebaskan kakinya untuk menjelajah lorong-lorong kota. Ia menikmati udara segar dan hiruk pikuk yang tak pernah ditemukan di dalam rumah megahnya.
Suatu pagi, ketika kabut masih belum sepenuhnya hilang, Lena menemukan sebuah toko buku kecil yang tersembunyi di sudut kota. Dari luar, toko itu tampak lusuh dan sempit, papan kayunya sudah mulai lapuk dimakan usia. Namun begitu ia membuka pintu dan suara lonceng kecil berbunyi lembut, suasana berubah total. Rak-rak buku menjulang tinggi sampai ke langit-langit, aroma kertas tua menyambutnya hangat, dan cahaya jingga dari lampu gantung menciptakan kehangatan yang menenangkan.
Lena menjelajahi lorong-lorong rak buku, jarinya lembut menyentuh punggung buku-buku klasik dan ensiklopedia tua. Hatinya terasa ringan, seakan berada di dunia lain yang memegang kunci kebebasannya. Di pojok toko, seorang pemuda duduk dengan sederhana. Pakaiannya biasa saja, celana panjangnya sedikit sobek di bagian lutut, dan sepatu butut menempel di kaki. Namun ada yang membuat Lena terpikat—matanya yang tajam serta penuh rasa ingin tahu, seolah-olah menatap setiap kata di buku yang sedang dia baca.
Pemuda itu adalah Arman, anak seorang petani biasa. Meski kehidupan memisahkan dunia mereka, antusiasmenya untuk membaca dan belajar membuat Lena terpesona.
“Bolehkah aku duduk di sini?” suara Lena berbisik pelan saat ia melangkah mendekat ke rak pojok tempat Arman duduk.
Arman tersenyum malu-malu sambil menggeser tumpukan buku di depannya, “Silakan, Nona. Rak ini paling banyak buku sejarahnya.”
Lena mengambil sebuah buku dan duduk di sampingnya. “Kamu sering kesini?”.
“Hampir setiap hari, kalau sempat,” jawab Arman. “Pemilik toko ini baik hati, membiarkan siapa saja membaca meski tak mampu membeli. Dari sinilah aku mengenal dunia yang belum pernah kudatangi.”
Lena menatapnya dengan mata penasaran. “Bagaimana rasanya berpetualang lewat buku?”.
Mata Arman berbinar penuh semangat. “Seperti naik kereta api tanpa tiket, mengunjungi negeri jauh tanpa meninggalkan kursi kayu ini. Buku membawaku ke istana, medan perang, bahkan ruang angkasa. Kamu juga suka membaca?”
“Baru beberapa waktu ini, aku mulai suka” jawab Lena sambil tersenyum. “Aku ingin terlepas dari segala hal yang terasa mengekang. Rasanya, saat di luar batasan, aku baru benar-benar merasa hidup.”
Arman mengangguk pelan. “Di luar sana, banyak yang tak punya apa-apa kecuali kebebasan.”
“Kebebasan itu,” Lena berbisik dengan lirih, “yang terkadang lebih mewah dari hal apapun.”
Arman tersenyum dan berkata, “Mungkin kita sama meski berasal dari dunia berbeda. Sama-sama mencari sesuatu yang hilang.”
Di bawah cahaya hangat lampu toko buku kecil itu, Lena dan Arman pun terlarut dalam perbincangan, membongkar mimpi dan cerita masing-masing. Hujan mulai turun perlahan di luar, menambah kesyahduan suasana. Tanpa disadari, waktu mengalir begitu cepat, meninggalkan kenangan yang tak akan mudah terlupakan.
Hujan mulai reda, menyisakan aroma tanah basah yang menyegarkan. Lena menatap Arman dengan pandangan penuh minat. “Dari semua buku di sini, buku apa yang paling kamu suka?”
Arman tersenyum lebar, matanya berbinar layaknya anak kecil yang baru mendapat mainan baru. “Aku suka buku tentang sejarah, Nona. Terutama sejarah peradaban kuno, kerajaan-kerajaan yang hilang, dan tokoh-tokoh besar yang membentuk dunia kita. Tapi di samping itu, aku juga sangat tertarik pada teori mesin waktu dan segala hal berbau sains yang menarik,” jelasnya penuh semangat. "Buku-buku ini bagaikan jendela yang membuka pikiranku pada kemungkinan-kemungkinan tak terbatas."
Lena terkesima dengan antusiasmenya. “Mesin waktu? Itu terdengar seperti fantasi.”
“Mungkin saja fantasi, Nona,” sahut Arman, suaranya sedikit meninggi saking bersemangatnya. “Tapi ada ilmuwan yang percaya waktu itu bukanlah sekedar garis lurus, melainkan sungai bercabang yang bisa dialiri bolak-balik. Bayangkan, jika kita bisa kembali ke masa lalu, mengubah satu hal kecil saja, apa yang akan terjadi pada masa kini? Atau jika kita bisa melompat ke masa depan, melihat bagaimana dunia lima puluh tahun dari sekarang? Itu yang membuat sains menarik.
Hukum fisika yang sering kita anggap mutlak, ternyata di ujung sana masih ada misteri yang belum terpecahkan. Aku pernah membaca tentang relativitas waktu, tentang bagaimana waktu bisa melambat atau bergerak lebih cepat tergantung pada kecepatan atau gravitasi. Bukankah itu sangat menakjubkan?”
Lena mengangguk perlahan, membayangkan dirinya di tengah-tengah penjelasan Arman. Pikirannya terbuka. Ia tidak pernah tahu jika dunia menyimpan begitu banyak misteri.
“Ngomong-ngomong soal buku,” Arman melanjutkan, suaranya kini sedikit lebih rendah, seolah menceritakan rahasia. “Aku pernah menemukan satu buku yang aneh di sini.”
Lena memajukan tubuhnya, tertarik. “Aneh bagaimana?”
“Buku itu tidak punya judul, juga tidak ada gambar sampul. Warnanya merah pekat, seperti darah kering, dan kertasnya terasa sangat tua,” jelas Arman, tatapannya menerawang. “Aku membacanya sekali, hanya sekejap, karena waktu itu sudah larut. Isinya tentang sesuatu yang sangat personal, seolah-olah ditujukan langsung padaku. Aku tidak ingat persis apa, tapi ada perasaan aneh yang menyelimuti ketika aku membacanya. Setelah itu, aku tidak pernah bisa menemukannya lagi.”
Lena mengerutkan kening. “Maksudmu, menghilang?”
“Ya, hilang begitu saja,” Arman mengiyakan. “Sudah berkali-kali aku mencari di rak-rak ini, bahkan sampai ke gudang belakang. Aku juga sudah bertanya kepada Pak Tua, pemilik toko ini. Tapi anehnya, Pak Tua bilang dia tidak pernah tahu ada buku merah tanpa judul dan sampul di tokonya.”
Ada gurat kebingungan di wajah Arman. “Dia sudah di sini puluhan tahun, tahu semua koleksi bukunya. Tapi untuk buku merah itu, dia benar-benar tidak mengenalinya. Seolah-olah buku itu tidak pernah ada.”
Lena menatap Arman, ada getaran takjub yang menjalar dalam dirinya. Pengalaman Arman dengan buku misterius itu terasa seperti cerita dari novel fantasi yang baru saja ia baca, jauh dari kenyataan hidupnya yang serba teratur. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar buku biasa di balik cerita Arman.
Setiap akhir pekan, Lena dan Arman pun berjanji bertemu di toko buku kecil itu. Lena semakin penasaran dan bertekad menemukan misteri buku merah tanpa judul yang pernah dibaca Arman. Namun pencarian itu tidak mereka lakukan sendirian, di sela-sela pencarian mereka saling berbagi ilmu dan cerita dari buku masing-masing.
Suasana toko yang penuh dengan tumpukan buku dan aroma kertas tua menjadi tempat pertemuan dua jiwa yang haus akan pengetahuan. Mereka membahas sejarah, teori waktu, dan sains—topik-topik yang membuat dunia mereka seolah meluas tak terbatas.
Suatu sore, saat Lena hendak mengakhiri pertemuan, ia menatap Arman serius. “Arman, kamu boleh panggil aku Lena saja. Aku tidak suka dipanggil ‘Nona’. Kita ini teman di dunia buku dan pengetahuan, bukan siapa-siapa yang harus berkasta dengan hormat-hormatan seperti di dunia yang kaku ini.”
Arman tersenyum tulus sembari mengangguk. “Baiklah, Lena. Walaupun aku tak tahu siapa sebenarnya dirimu di luar toko ini, tapi aku merasa kita sama. Sama-sama haus ilmu, sama-sama mencari makna di antara lembar-lembar kertas ini.”