Mata Arman menyapu ke atas, ke arah anak tangga yang menuju lantai dua. Di antara jendela-jendela kamar yang tertutup, satu jendela terbuka lebar, cahaya lilin redup menari-nari dari dalam, menyiratkan kehidupan dan kesendirian di dalamnya. Di balkon kecil di luar jendela, tubuh kecil yang membungkuk tampak seperti siluet Lena.
Arman berusaha mencapai ruang itu, tetapi melihat bayangan penjaga di lorong, arman memutar otaknya, menuju jendela terdekar arman keluar, dan tanpa ragu mulai memanjat pilar-pilar dan bingkai jendela sampai akhirnya bisa berdiri di balkon itu. Suasana keheningan malam terganggu oleh suara isak tangis yang pelan. Lena terlihat menangis, lemah dan penuh kesedihan, seolah berat dunia menimpanya.
Dengan suara serak penuh harap, Arman memanggil pelan, “Lena…”
Sekejap, Lena terkejut, wajahnya basah oleh air mata berbalik ke Arman. Tanpa kata, ia langsung memeluk Arman erat, seolah menemukan kembali satu-satunya keamanan di dunia ini.
“Arman…” suaranya terputus oleh isak, namun penuh kelegaan.
Di bawah langit malam yang pekat, di balkon kecil dan sepi itu, dua jiwa yang terpisah oleh dunia bertemu kembali. Semua penderitaan, rahasia, dan takdir yang menindas mereka terkikis dalam pelukan hangat itu.
Malam itu bukan hanya tentang pertemuan, tapi juga tentang harapan— bahwa cinta dan keberanian bisa melawan segala rintangan. Arman merasakan waktu berlalu semakin cepat, tubuhnya melemah, dan nafasnya tersengal-sengal. Dengan sisa kekuatan terakhir, ia mengeluarkan buku merah dari balik jaketnya dan menyerahkannya kepada Lena.
“Ini, janji kita sejak dulu, Lena. Buku ini yang selama ini kita cari,” suaranya pelan tapi penuh makna.
Lena genggam buku itu erat, dengan mata yang mulai berkaca-kaca saat Arman melanjutkan, “Aku tidak bisa lari selamanya. Aku dengar percakapan Erik. Ibumu, bukan meninggal karena sakit. Dia diracun oleh Erik karena ibumu menolak pernikahan kalian.”
Berguncang tubuh Lena, terkejut dan terluka oleh kenyataan itu. Namun air matanya tak bisa menggantikan kenyataan pahit yang ia tanggung—perintah ayahnya untuk menikahi Erik sudah tak bisa ditolak.
Arman menarik nafas berat, lalu membuka bagian buku merah yang selama ini misterius, menatap gambar kunci dan kalimat yang bersinar,
“Takdirmu berhenti di sini. Jangan berdiam diri atau kau akan terjebak di sini selamanya.”
Dengan suara bergetar, Arman berkata, “Lena, aku mencintaimu, tapi dunia ini tidak mengizinkan kita bersama. Satu-satunya cara adalah bertemu di waktu yang lain, dunia yang lain. Aku janji, aku akan selalu menjagamu, dari mana pun aku berada.”
Lena menatap Arman, segala perasaan yang tertahan meledak. Mereka saling menggenggam, lalu berciuman penuh kerinduan dan harapan, seakan mencoba membekukan waktu sejenak.
Tapi takdir belum memberi mereka belas kasihan.
Tiba-tiba suara gaduh menggema di lantai bawah. Penjaga yang sudah lama mencari mulai mendobrak pintu kamar Lena. Mereka yakin penyusup itu adalah Arman.
Dalam kepanikan, beberapa penjaga masuk menyeret Arman yang sudah hampir tak berdaya. Ia tidak mampu melawan atau melarikan diri lagi. Lena berusaha menahan Arman, tapi tiba-tiba Erik muncul dengan wajah penuh kebencian.
“Sudahlah, Lena! Kau harus percaya ini demi kebenaran! Arman adalah pembunuh ibumu! Jangan menghalangi keadilan!” seru Erik dengan suara dingin dan palsu, menambah luka hati Lena.
Arman hanya bisa menatap Lena dalam diam, mengirimkan harapan lewat mata yang mulai sembab oleh kelelahan dan kesedihan.
Tengah malam menjemput kota kecil itu dengan sunyinya yang mencekam. Di halaman balai kota yang luas, kerumunan warga berkumpul dalam keheningan tanpa suara. Di tengah kerumunan itu berdiri Arman, tangan dan kakinya terikat erat dengan tali kasar, kepala disandarkan kasar ke batang kayu tinggi. Nafasnya terengah, namun matanya tetap padam, menatap kosong ke depan.
Algojo yang bertubuh besar datang membawa kapak yang berkilat dalam remang lampu obor. Suara langkahnya menggema bagaikan suara kematian yang tak terelakkan.
Di samping Arman berdiri Erik, wajahnya memerah penuh kemarahan dan kebencian.
“Orang bejat sepertimu,” Erik mencaci maki dengan nada berapi-api, “Pembunuh ibu mertuaku! Kau pantas mati di sini malam ini, agar semua tahu hukuman yang setimpal buat orang sepertimu!”
Warga hanya bisa berdiri terpaku, tak ada yang bersorak dan tak seorang pun berani menolong. Udara malam dipenuhi ketegangan, seolah waktu berhenti sejenak.
Lalu, tanpa diduga, Arman tertawa—sebuah tawa getir yang bergema di udara dingin itu. Raut mukanya berubah menjadi menantang, menatap langsung ke arah Erik dengan tatapan membara.
Dengan suara tenang namun penuh arti, Arman berkata,
“Erik. Pengecut sepertimu takkan pernah mengerti arti takdir dunia yang sesungguhnya. Kau mungkin bisa membunuhku sekarang, tapi darah di tanganmu itu tidak akan pernah hilang, bahkan dengan penyesalan yang paling dalam sekalipun, lelaki lemah sepertimu tidak akan pernah mendapatkan hati Lena.”
Erik mendengus tersinggung, wajahnya memerah seperti terbakar oleh kata-kata Arman. Dengan suara berteriak, penuh kemarahan yang membara, ia memerintahkan:
“Algojo! Eksekusi dia sekarang juga! Hukum dia!”
Algojo mengangkat kapaknya tinggi-tinggi, berayun deras ke bawah.
Di saat kapak mulai turun, Arman tersenyum, bibirnya mengeluarkan bisikan penuh cinta dan harapan,
“Tunggu aku, Lena.”