Turtles All The Way Down

Mizan Publishing
Chapter #2

Dua

Sebagian besar rasa takut itu telah mening­ galkanku, tetapi selagi aku melangkah dari kafetaria menuju kelas Sejarah, aku tidak bisa menghentikan diriku untuk mengeluarkan ponsel dan membaca­ ulang cerita horor yang adalah artikel Wikipedia berjudul “Mikrobiota Manusia”. Aku sedang membaca dan berjalan, ketika men­ dengar suara ibuku yang berseru padaku melalui pintu kelasnya yang terbuka. Dia duduk di balik meja bajanya, mencondongkan tubuhnya di atas sebuah buku. Mom guru Matematika, tetapi dia sangat suka membaca.

  “Tak boleh ada ponsel di selasar, Aza!” Aku pun me­ nyingkirkan­ ponsel dan masuk ke kelasnya. Ada sisa empat menit dari waktu istirahat makan siangku, yang merupakan durasi sempurna untuk obrolan ibu-anak. Dia mendongak dan jelas menangkap sesuatu di dalam mataku. “Kau baik-baik saja?”

  “Yeah,” jawabku.

“Kau tidak cemas berlebihan?” tanyanya. Dr. Singh per­ nah mengingatkan­ Mom untuk tidak bertanya apakah aku merasa­ cemas berlebihan, jadi Mom tidak menggunakan kali­ mat langsung untuk menanyakannya.

 “Aku baik-baik saja.”

 “Kau sudah meminum obatmu,” ujarnya. Lagi-lagi, bukan pertanyaan langsung.

 “Yeah,” kataku, yang secara garis besar memang benar. Tahun pertamaku­ di sekolah sedikit kacau setelah aku diberi resep pil putih bundar untuk diminum sekali sehari. Rata-rata, aku sekarang hanya meminumnya tiga kali seminggu.

 “Kau tampak ....” Berkeringat, aku tahu maksudnya.

 “Siapakah yang memutuskan kapan bel harus berbunyi?” tanyaku. “Seperti, bel sekolah?”

 “Kau tahu, aku tidak tahu. Kurasa itu diputuskan seseorang dari staf pengawas.”

 “Seperti, mengapa durasi makan siang harus tiga puluh tujuh menit alih-alih lima puluh? Atau dua puluh dua? Atau berapa pun, lah?”

 “Otakmu sepertinya tempat yang sangat intens,” jawab Mom.

 “Aneh saja, betapa semua ini diputuskan oleh seseorang yang tidak­ kukenal dan aku harus hidup berdasarkan itu. Se­ perti,­ aku hidup­ di atas jadwal orang lain. Dan, aku bahkan tidak pernah berte­mu­ dengan mereka.”

“Ya, yah, dilihat dari sudut pandang tersebut, dan banyak lagi yang lainnya, sekolah menengah atas di Amerika memang agak menyerupai penjara.”

  Kedua mataku membesar. “Oh Tuhanku, Mom, kau sung­ guh benar­. Detektor logam. Dinding-dinding bata sewarna abu itu.”

 “Keduanya hanya memenuh-menuhi ruangan dan tidak didanai­ dengan baik,” kata Mom. “Dan, keduanya punya bel yang berdering untuk memberitahumu kapan harus bergerak.” “Dan, kau tidak boleh memilih kapan harus makan siang,” kataku. “Dan, penjara mempunyai penjaga-penjaga yang haus kekuasaan dan korup, sama seperti halnya sekolah mempunyai­ guru.”

  Dia mendelik padaku, tetapi kemudian mulai tertawa. “Kau langsung­ pulang setelah sekolah?”

 “Yeah, lalu harus mengantar Daisy bekerja.”

  Mom mengangguk. “Terkadang, aku merindukanmu men­ jadi anak kecil lagi, tapi lalu aku ingat Chuck E. Cheese.”

“Daisy hanya berusaha menabung untuk kuliah.”

 Ibuku kembali menunduk ke arah bukunya. “Kau tahu, seandai­nya­ saja kita tinggal di Eropa, biaya kuliah tidak akan terlalu mahal­.” Aku mempersiapkan diri untuk mendengarkan keluhan biaya-kuliah Mom. “Ada universitas-universitas gra­ tis di Brazil. Se­bagian besar universitas di Eropa gratis. Cina. Tetapi­ di sini, mereka mem­bebanimu­ dua puluh lima ribu dolar per tahun, sebagai biaya kuliah di universitas negeri.

Lihat selengkapnya