Jalan hidupku jungkir balik seketika hanya karena wasiat gila dari kakakku sebelum dia meninggal. Aku harus menggantikan posisinya, menikah dengan suaminya.
Lima belas tahun. Itu perbedaan usiaku dengan Mas Bowo, ipar yang kini sedang menjabat tangan Ayah di depan penghulu. Menyatakan janjinya untuk menikahiku. Hari pernikahan yang aku damba. Aku imajinasikan dengan prosesi megah, kini bak bencana. Serupa hari terkutuk penuh rutuk.
"Jangan merengut begitu, Siska. Ada keluarga Bowo di sini. Jangan bikin malu. Senyum, ayo, senyum!" Ibu geram berbisik di sampingku.
"Ibu saja yang tersenyum. Aku nggak sudi." Aku balas mendesis.
"Astaga, anak ini!" Ibu mencubit pinggangku, kuat sekali.
Aku terus memeta-metakan ingatan. Dosa apa yang sudah aku perbuat pada mendiang Mbak Arum sampai dia membuat nasibku seburuk ini. Jelas sekali semasa hidup dia adalah perempuan yang taat beragama. Harusnya paham betul bahwa wasiat adalah wajib terlaksana. Entah alasan apa gerangan yang mendasari terlontarnya wasiat semacam ini. Andai kata dia berpikir bahwa permintaannya ini akan membuatku bahagia, salah! Dia justru sedang mendorongku ke dasar jurang sengsara.
"Sah!" Riuh para tamu menanggapi pertanyaan penghulu.
Tangan sawo matang Mas Bowo terulur padaku. Seketika aku bergidik membayangkan jari-jari ini menjelajahi tubuh.
"Siska." Ibu menyikut. Lagi-lagi dengan bisikan geram.
Kali ini saja, sebagai formalitas penutup akad nikah. Aku menerima uluran tangan Mas Bowo, menciumnya, lantas gegas melepas. Rasanya ingin segera mencuci tangan. Perutku mendadak mual.
Tidak ada pesta meriah. Hanya pertemuan dua keluarga yang sebenarnya sudah bergelar besan sejak dua tahun silam. Beberapa kerabat pun mulai undur begitu penghulu melangkah pergi. Aku yakin, mereka pasti berpikir bahwa keluarga kami sudah gila. Melaksanakan pernikahan yang bahkan gundukan tanah pusara Mbak Arum belum kering taburan bunganya.
"Ibu, aku mau bercerai detik ini juga!"
Ibu yang tengah mengemasi pakaianku, memasukkannya ke dalam koper, seketika berhenti.
"Apa maksudmu, Siska?" Untuk kesekian kali Ibu memelotot, geram. Aku tak peduli.
"Wasiat Mbak Arum sudah terlaksana, kan? Aku sudah menikah dengan Mas Bowo. Beres! Sekarang, tugasku selesai. Aku mau bercerai."
"Gila, ya, kamu ini?" Ibu memukul kepalaku. Sakit. "Kamu mau jadi janda, heh?"
"Ya, daripada menikah dengan laki-laki tua. Ayolah, Bu! Aku ini masih dua puluh tiga tahun. Aku bisa mendapat yang jauh lebih segalanya daripada dia. Dan lagi, aku nggak cinta. Dia iparku. Aku nggak mau jadi istrinya. Ibu, aku mohon! Aku bisa mati sengsara jika pernikahan ini diteruskan."
Ibu mendadak bergeming. Matanya berkaca-kaca, menatapku prihatin. Kedua tangannya menangkup wajahku. Lantas, menangis, tersedu.