Semangat menggebuku sekolah tinggi bukan sekadar untuk kerja enak dan hidup mapan, tetapi juga mendapat suami tampan atau pangkat jendral sekalian. Namun, sesudah wasiat itu kudapat, semua mimpi itu lantak. Rusak.
"Lho! Lho! Lho! Mas Bowo ngapain?" Aku menjerit.
Dengan santai dia menjawab, "Lho, ya, aku mau–"
"Ngapain lepas baju segala, hah?"
Laki-laki yang menikahiku justru seperti ini. Serba kurang dalam segala hal. Masih bagus jika keuangan saja yang pas-pasan. Bahkan tampangnya pun begitu memprihatinkan.
"Pergi sana! Pergi! Jangan macam-macam! Buang jauh-jauh pikiran mesummu itu!"
Mas Bowo berjingkat-jingkat menghindari tiga bantal berisi kapuk yang aku lempar kuat-kuat ke arahnya.
"Kamu yang harusnya jangan mikir mesum."
Mataku membulat menyaksikan wajah sebalnya saat menatapku. Detik kemudian, dia berjalan menuju lemari, mengambil kaus dan sarung. Bantal yang berserakan di lantai, dia punguti. Dua diletakkan kembali di atas kasur, satu tetap dia tenteng.
"Aku tahu, kamu terpaksa menerima pernikahan ini. Kamu pikir, aku tidak? Sama. Aku pun terpaksa. Malah lebih tertekan daripada kamu, andai kamu bisa melihatnya dengan hati. Aku nggak akan macam-macam padamu. Tenang saja. Tidurlah dengan nyaman. Aku ada di kamar sebelah bersama Azril. Selamat malam."
Kemudian, pintu kamar pun ditutup. Aku mengembuskan napas lega. Setidaknya, dia tahu diri, tahu posisi, dan tahu cara menghormati. Namun, entah mengapa kata-katanya membuatku merasa bersalah, merasa tidak nyaman. Sedikit, hanya sedikit.
Aku menarik selimut. Berusaha tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi. Aku harus cukup istirahat, tetap cantik demi mendapat suami prajurit. Itu adalah sebenar-benarnya cita-cita.
***
Pukul dua dini hari. Ini bahkan masih terlalu larut untuk terbangun dengan gangguan suara-suara aneh dari arah dapur. Sesuatu berbahan aluminium seperti sedang saling beradu. Sesekali menguar aroma gula dan vanili. Aku membujuk kaki untuk berjalan, mencari tahu apa gerangan yang terjadi.
Di depan pintu dapur, serbuk tepung menghambur. Aroma vanili kian pekat tercium. Aku mendapati seseorang tengah duduk membuat adonan.
"Sebelumnya, apa yang dilakukan Mbak Arum pada jam segini? Tidur? Atau ikut membuat adonan roti?" Aku menggumam sambil balik kanan.
Tentu aku akan melanjutkan tidur. Mas Bowo adalah penjual roti. Hal wajar jika dia bangun selarut ini untuk memulai menjemput rezeki.
Nahasnya, aku sama sekali tidak bisa memejam. Aku hanya bergulingan di atas kerasnya tempat tidur. Suara Mas Bowo di dapur kian berisik. Selesai dengan bunyi denting-denting aluminium, kini terdengar bunyi sesuatu sedang digoreng. Rumah tanpa plafon ini sukses membuat seisi kamar beraroma gula, vanili, ditambah dengan minyak. Aku tidak mengerti kenapa harus membuat kamar bersebelahan dengan dapur. Kondisi ini menyiksa sungguh.