Sudah dua puluh biji, tepat. Baru sehari aku tidak makan anggur hijau, buah kesukaan, rasanya seperti sudah lama sekali. Di rumah Mas Bowo, jangankan ada anggur, pepaya hampir busuk pun tak ada. Di kulkas kecil satu pintu miliknya itu hanya berisi telur dan beberapa botol air putih.
Uang yang tadi pagi diberikan Mas Bowo padaku, bahkan untuk beli telur ayam sekilo saja mana cukup. Jatah jajanku dari Ibu masih jauh lebih banyak.
"Bu, mau nambah." Aku kembali menyodorkan piring. Rendang daging yang sungguh nikmat luar biasa.
"Kamu mau bawa pulang? Buat makan nanti?"
Aku segera mengangguk. Belum tentu aku bisa beli daging sendiri.
Hari ini, aku ada kuliah. Sengaja mengantar Azril ke rumah Ibu biar ada yang jaga. Juga, aku perlu mandi dengan sabun terbaik, air bersih dan jernih. Aku juga perlu uang saku, tentu saja. Aku menyisir rambut sambil bercermin, tersenyum getir. Masih tidak bisa percaya dengan apa yang telah menimpaku saat ini.
"Tante tinggal dulu, ya, Azril sayang. Nanti ketemu lagi. Jangan nakal." Pipi gemuknya terlalu sayang untuk tidak diberi kecupan. "Nitip, ya, Bu. Maaf merepotkan."
Ibu tertawa, lantas berkata, "Kamu baru sehari menikah, udah aja kayak seorang ibu, Sis. Khawatir betul kamu sama Azril."
"Haish! Tentu saja. Dia, kan, keponakan Siska. Gimana, sih, Ibu ini?" ucapku setengah sebal.
"Sekarang kamu ibunya. Ajari dia panggil kamu ibu."
"Haduh, udah, ah! Berangkat, Bu."
Dipikir lagi memang benar. Pernikahan itu bukan hanya membuat perubahan statusku dan Mas Bowo, tetapi dengan Azril juga. Ternyata rasanya seaneh ini ketika tiba-tiba keponakan menjadi anak tiri. Seaneh ini pula tiba-tiba punya anak tanpa dihamili. Siapa sangka jika seorang tante dan keponakannya punya garis takdir selucu ini.
***
Gedung berlantai tiga dengan banyak ruangan. Halaman dihiasi padang zoysia. Di tempat inilah hampir empat tahun aku bersusah payah mengeruk ilmu. Berupaya meraih gelar mentereng di belakang nama demi mencari jodoh tampan, mapan, dan gagah. Tinggal empat bulan lagi, baju toga mulai tercium aromanya.
"Siska! Dosen mencarimu, Sis!" Ayu berseru.
Bersama Ayu, ada Anggi dan Bram. Sahabat-sahabatku itu berebut berseru-seru sambil melambaikan tangan, memanggilku.
Dosen, katanya. Aku tahu perihal apa itu. Gegas aku berlari, mengekor pada ketiganya yang menyusuri koridor, menuju satu ruangan paling ngeri bagi mahasiswa tingkat akhir seperti kami.
Tanganku terangkat, bersiap mengetuk salah satu pintu pada deretan ruang dosen. Ayu mengepalkan tangan, berbisik memberiku semangat. Meski dengan sedikit gentar, aku memutar kenop pintu setelah tiga kali ketukan. Mendorongnya hingga berderit.
"Oh, segera duduk, Siska." Sosok tua berkumis tebal, menyambut dari balik meja. Suaranya serak. Tidak kencang, tetapi cukup untuk membuat kakiku sedikit gemetaran.
"Ba-bagaimana, Pak?"
Pak Tedjo mendongak. Dosen pembimbingku itu membenahi kacamata, menatap tajam.
"Diterima. Bersiaplah untuk sidang skripsi."