Rohaniah Ridawati namaku. Orang-orang biasa memanggilku Wati atau Rida. Kampung Kayu Jati yang terletak di pelosok timur, Lombok, merupakan tempatku tinggal bersama sang bapak. Ibuku sudah lama meninggalkanku ke hadapan Ilahi dan sang bapak lebih dulu. Kata orang-orang, ibuku semasa hidup sering kemasukan jin jahat yang berdomisili di kampung kami sendiri, lalu mati terbunuh saat melompat dari atas bukit tinggi yang menjulang di utara Lapangan Kayu Jati. Menurut seorang belian (dukun) sakti yang sering menjadi andalan orang-orang sekampung untuk berobat—khusus masalah atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dokter umum—ibuku mampus bukan karena kehendak diri sendiri. Melainkan jin jahat yang sering memasuki tubuhnya tanpa izin itulah yang menggerakkan tubuhnya.
Walau demikian, aku juga sadar bahwa kematian hanya kehendak Tuhan. Sungguh malang nasib ibuku. Betapa malang bapakku yang begitu sedih atas kematian istrinya. Mana kala kehilangan membuat kami larut dalam kesedihan, sebagian orang menyebarkan rumor aneh mengenai kematian ibuku. Beberapa orang berkata keluarga kami dikutuk. Lainnya mencela bahwa ini hukuman Tuhan karena Bapak pernah memiliki utang pada iblis jahat.
Kami bukan orang kaya, juga tidak terlalu miskin. Setidaknya untuk makan sehari-hari, kami tak pernah merasa kekurangan. Bapak bekerja di kebun dan sawah milik orang. Ia bercocok tanam saat ada yang meminta, lalu membagi hasilnya dengan pemilik sawah ketika musim panen tiba.
Aku, seorang gadis belia yang baru memasuki usia 18 tahun. Di usia semuda itu, aku telah ratusan kali mendengar gosip tentang keluarga kami dari mulut-mulut orang kampung yang merasa paling memiliki kebenaran. Ah, kupikir aku tak berhak ikut campur, apalagi membantah sebab aku hanya gadis ingusan yang lahir kemarin sore. Namun, terlalu lama gosip-gosip keparat itu dibiarkan menyebar layaknya virus yang berkembang biak, kedua telingaku ternyata bisa panas juga. Darahku mendidih, menjadikanku orang yang paling membenci kampungku sendiri. Kebencian itu melahirkan dendam di dalam benakku yang terus dibesarkan sikap angkuh dan sifat peduli setan.
“Lihat, tuh, si Wati. Makin hari makin cantik aja dia. Tapi malang juga nasibnya. Dia harus menanggung dosa orang tuanya sendiri. Semoga saja dia tidak jadi seperti ibunya dulu yang suka kesurupan.”
“Buah tidak jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Entah dia bakal mengikuti jejak ibunya atau justru ayahnya. Biasalah. Ayahnya, kan, suka minta-minta mantra yang mujarab ke dukun-dukun. Dan lagi pula, lahirnya si Wati itu, kan, karena dia punya perjanjian sama salah satu jin penunggu kampung ini.”
Obrolan demikian terus berulang setiap hari. Selalu terjadi pada saat aku ke warung Bu Hikmah demi membeli kebutuhan dapur dan memasak. Betapa heran aku pada mereka yang tak malu membicarakan orang lain pada saat orang yang mereka bicarakan bisa mendengar pembicaraan mereka dengan jelas. Mereka bukan pemuda atau pemudi. Kebanyakan dari mereka yang membicarakanku adalah pria dan wanita separuh baya. Sambil mengudut dan mengopi, tampaknya hanya keluargaku yang menjadi perbincangan paling hangat yang membuat pagi mereka berwarna. Padahal masih banyak topik yang bisa dibicarakan selain aku dan sang bapak. Membicarakan harga tanah yang makin naik di kampung kami, bicara tentang lapangan pekerjaan yang makin sedikit, tentang hama yang menyerang sawah-sawah, atau mungkin selebriti Sandiwara Radio yang sedang naik daun. Akan tetapi, semua topik tersebut sepertinya kalah menarik dibandingkan rumor tentang keluargaku yang terlanjur merebak.
Walaupun rumor-rumor tentang keluargaku tak pernah absen kudengar tiap pagi dan sore, tapi aku tak pernah sedikit pun bertanya pada Bapak perihal kebenarannya. Sungguh tak tega aku karena begitu mengerti kesedihan serta hancur hatinya. Jangan tanya padaku apakah benar Bapak memiliki perjanjian dengan iblis hanya untuk melahirkanku ke dunia. Juga jangan tanya padaku apakah almarhumah Ibu benar-benar mati terbunuh jin jahat itu.
Sungguh aku tak tahu, terlebih tak peduli pada semua hal yang aku dengar dari tetangga-tetanggaku yang mulutnya tak pernah berhenti mencerocos membicarakan keburukan orang lain. Betul-betul aku menjadi apatis terhadap setiap gosip buruk mengenai keluargaku. Lagi pula, aku tak percaya dengan hal-hal mistis. Meskipun orang-orang kampung pasti sudah terbiasa dengan hal-hal semacam itu. Namun, bagiku yang tak pernah melihat dengan mata dan kepala sendiri, semua itu hanya bualan dan omong kosong. Ya, paling-paling gosip itu disebarkan oleh orang tak bertanggung jawab yang sedari dulu membenci keluargaku. Atau paling-paling juga disebarkan oleh pesaing bisnis bapakku atas motif kecemburuan sosial.
Begitu aku selesai dilayani Bu Hikmah, aku pergi dengan emosi tertahan. Tak satu pun dari para penggosip itu menyapa atau sekadar berbasa-basi padaku. Yang mereka tinggalkan hanya kemarahan dan kebencian di dada, yang kemudian terpupuk dan disirami keinginan kuat untuk membalas dendam. Namun, aku berusaha keras menahan setiap aliran keinginan itu. Aku tak ingin membalas setiap keburukan mereka pada keluargaku dengan keburukan pula. Meskipun aku bukan gadis soleha, setidaknya aku mengerti dendam tak begitu baik bagi kesehatan mental dan jantungku.
Telah aku berkata tak peduli dan tidak percaya pada semua hal mistis yang biasa dipercaya orang-orang di kampung. Akan tetapi, satu ketika aku terjebak dalam dilema yang memuncak. Otak selalu menolak kepercayaan primitif tersebut, tetapi hati berkata sebaliknya.
Tepat setelah pulang berbelanja, Bapak menemuiku di dapur ketika baru saja selesai menyiapkan makan siang.
“Wati,” panggil bapakku.