Dulu, Bapak pernah bercerita tentang Bu Hamidah dari Kayu Manis. Ternyata kehidupan yang selama ini dijalaninya tak jauh berbeda dengan kami di Kayu Jati. Kata Bapak, Bu Hamidah selalu dikucilkan. Masyarakat Kayu Manis demikian tak jauh berbeda perilakunya dengan warga kampungku sendiri. Bahkan bisa dikatakan masyarakat Kayu Manis jauh lebih ekstrem dalam mengucilkan orang yang memilih tak seragam atau sama dengan kebanyakan orang lain.
Bu Hamidah menjadi salah satu korban penyalahgunaan ilmu hitam oleh seorang belian di kampungnya. Berawal dari sebuah kehilangan yang hati dan akalnya tak dapat menerima, ia pergi mencari dukun-dukun sakti di Kayu Manis. Hingga sampailah ia pada satu dukun bernama Amat Beduk. Warga kampung menyegani Amat Beduk, menobatkannya sebagai dukun paling mujarab dalam menyembuhkan segala macam penyakit yang datang dari alam gaib.
Permintaan Bu Hamidah pada Amat Beduk hanya satu, yaitu bagaimana caranya bisa berkomunikasi dengan almarhum suaminya yang telah meninggal. Keadaannya saat itu, suami Bu Hamidah baru meninggalkan dunia sekitar tiga bulan. Sejak hari kematian sang suami, Bu Hamidah tak pernah berhenti menangis. Dia sampai dicap gila oleh warga dan para tetangga. Namun, bagi Bu Hamidah, kehilangan suaminya adalah luka paling gila dan sakit daripada mendengar para tetangga mencerocos tentang mentalnya. Bu Hamidah sendiri tak memiliki keturunan sama sekali.
Walau permintaannya terdengar agak sinting dan kurang masuk akal, tetapi Bu Hamidah berkeras dan meyakini tak ada yang mustahil di dunia ini. Dia percaya orang hidup masih terhubung melalui batin sehingga pasti ada cara menghubungi suaminya yang telah berbeda alam dengannya. Amat Beduk yang telah mendengarkan keluh kesah Bu Hamidah dan permintaan sintingnya, langsung memberi solusi yang terdengar begitu baik dan patut dicoba.
Bapakku bilang, Bu Hamidah diberikan mantra-mantra, diminta mandi dengan bunga tujuh rupa, diminta mencari persimpangan sungai, kemudian tidur di samping kuburan suaminya tujuh hari tujuh malam. Tak ada keraguan bagi Bu Hamidah dalam melakukan semua syarat yang dijelaskan Amat Beduk. Dia melakukannya dengan baik dan penuh antusias.
Jangan tanya padaku bagaimana bacaan mantra itu sebab aku pun tidak terlalu peduli pada hal demikian. Aku hanya serius dan fokus pada cerita kelam Bu Hamidah. Dia telah lama menjadi langganan bapakku. Bu Hamidah pun bukan orang yang congkak lagi galak. Dia murah senyum, dan tentu saja baik hatinya. Buktinya, pernah beberapa kali aku diberi uang pada saat Bu Hamidah berkunjung ke rumah mengambil jagung-jagung pesanannya.
Memang, tak hanya satu yang bernama Bu Hamidah yang menjadi pelanggan sang bapak. Namun, yang menjadi langganan tetap hanya Bu Hamidah dari Kayu Manis seorang. Karena Bu Hamidah sering memberiku uang, bapakku memercayakan cerita hidupnya padaku. Ia langsung bercerita pada malamnya setelah uang yang diberi Bu Hamidah habis kupakai membeli permen dan jajanan.
Singkat cerita, setelah Bu Hamidah selesai melakukan semua yang disyaratkan Amat Beduk, dia benar-benar bisa berbicara dengan suaminya yang telah meninggal itu.
“Memangnya bisa orang mati berkomunikasi dengan orang yang masih hidup, Pak?” tanyaku pada saat cerita belum selesai dipaparkan. Bapakku tampak menghela napas sambil tersenyum merekah.
“Dengar dulu kelanjutan ceritanya. Kan, ceritanya belum selesai,” ucap Bapak yang kemudian membuatku menyengir.
Ternyata sosok yang berkomunikasi dengan Bu Hamidah bukanlah sang suami. Katanya, Bu Hamidah tahu betul bagaimana suaminya saat mengobrol dengannya. Dan dia langsung sadar saat sosok itu tidak seperti yang ia kenal. Awalnya Bu Hamidah ragu, apakah orang mati bisa berubah, terutama sifat, sikap, dan cara bicaranya. Tentu saja, dia tak punya semacam jawaban yang bisa dipercaya begitu saja. Akan tetapi, Bu Hamidah memilih tidak percaya pada sosok tersebut. Begitu sialnya Bu Hamidah, ia tak bisa melepaskan diri dari sosok yang mirip suaminya itu.