TUSELAK

Marion D'rossi
Chapter #3

Kesadaran yang Terbatas

Kedua mata hitam pekat itu menyorot nanar, berkelebat nyaris selayaknya cahaya kegelapan yang abadi. Gigi-gigi tajam nan runcing tampak jelas berkerak terbungkus cairan ludah kental yang terus-menerus merabas keluar, menganak sungai melalui sudut-sudut bibir sosok Bu Hamidah yang baru kulihat tersebut.

Aku dan Pak Sukar bergeming tanpa gerak semili pun. Tubuhku gemetaran, nyaris kuingin berlari, tapi tak punya daya barang sedikit pun. Di titik inilah baru kuingat desas-desus yang biasa beredar di Kayu Jati. Sesosok makhluk, sebadan manusia setengah iblis yang biasa mencari kotoran dan bangkai di malam hari. Beberapa warga pernah kudengar berkata, tak sedikit juga manusia jadi-jadian yang disebut tuselak itu mencari makan di siang bolong. Memakan bangkai, kadang menghabiskan kotoran anjing dan kerbau milik para peternak. Tak sedikit pula yang mencari kodok di tengah pematang.

Tak akan begitu sulit hanya untuk mengenali bahwa sosok yang berdiri menyorot nanar di depan kami itu adalah Bu Hamidah. Meskipun wajahnya tak lagi rupawan sebagaimana yang biasa aku lihat di siang hari, tapi goresan-goresan serta pola yang terbentuk pada kulit wajah itu sudah bisa dipastikan tak ada yang lain selain Bu Hamidah.

Aku berusaha keras menggerakkan sedikit saja bagian tubuhku. Namun, sepertinya aku dan Pak Sukar telah kalah dengan hawa keberadaan Bu Hamidah yang kuat lagi mengintimidasi. Merasa diriku seperti tengah disugesti, yang mana pilihannya hanya tunduk pada hawa keberadaan yang jauh lebih besar, yaitu keberadaan Bu Hamidah sendiri.

Di tengah-tengah ketidakberdayaan atas ketakutanku yang merajai, ingatanku menerawang. Ada sepotong cerita dari bapakku yang ternyata telah aku lupakan.

Tuselak. Bu Hamidah itu menjelma jadi tuselak. Dia manusia jadi-jadian yang nafsu makannya sudah tidak normal seperti manusia pada umumnya. Jika melihat atau mencium aroma bangkai, Bu Hamidah pasti akan langsung tertarik untuk menyantapnya. Aroma bangkai yang menyengat bagi kita sebagai manusia normal, sebaliknya bagi Bu Hamidah yang menganggap itu sebagai aroma lezat yang cocok menjadi santapan.”

Ingatanku makin jelas. Bapakku pernah berpesan kepadaku agar jangan sampai kalah oleh hawa keberadaan tuselak. Bagaimanapun, mereka yang menjadi tuselak tidak punya kehendak atas dirinya sendiri. Mereka telah dikuasai nafsu yang teramat kuat untuk menyantap hal-hal yang justru bagi manusia normal adalah menjijikkan.

Waktu itu juga bapakku pernah bertutur. Mereka yang menjadi tuselak kadang-kadang tak menyadari diri mereka sendiri. Akan tetapi, itu hanya berlaku bagi tuselak yang baru lahir. Atau dalam arti, belum cukup sakti untuk terbang dan mengubah diri sebagai makhluk apa pun yang mereka inginkan. Tak dapat kupastikan termasuk jenis yang mana Bu Hamidah. Apakah ia tuselak bangke yang hanya mencari bangkai dan kotoran, lalu pergi setelah kenyang? Atau mungkin tuselak ate yang lebih suka merusak hati orang lain, serta menakut-nakuti manusia dengan sosoknya yang menyeramkan.

Yang lebih pasti dari itu, kini aku tak dapat beranjak barang sedikit pun. Namun, kala kupicingkan bola mata ke sebelah kanan, tepat pada tempat Pak Sukar duduk, ia tampak sedang berusaha mati-matian melawan kesaktian Bu Hamidah. Bintik-bintik keringat yang membasahi leher dan wajah Pak Sukar dapat kusaksikan sebagai bentuk usaha keras yang dia lakukan. Begitu pun dengan diriku, yang kini bersimbah keringat.

“Kita tidak bisa terus-menerus diam. Kita harus segera melawan,” kata Pak Sukar. Kudengar napasnya makin berat. Pak Sukar sudah terlalu tua untuk mengeluarkan tenaga yang besar.

Lihat selengkapnya