TUSELAK

Marion D'rossi
Chapter #4

Bebai dan Sejarah Kelam

“Sebetulnya saya tak mau membicarakan ini kepada Dik Wati. Hanya saja, ada banyak hal yang sesungguhnya harus Dik Wati ketahui.”

Aku yang pada saat itu belum lepas sepenuhnya dari suasana betapa menyeramkannya tuselak Bu Hamidah, lantas tidak begitu memedulikan ucapan Pak Sukar. Aku memang tidak lagi takut seperti sebelumnya. Akan tetapi, aku sangat bingung. Mengapa setelah berjam-jam di perjalanan, tak tiba juga kami di pintu masuk Kayu Jati? Apakah sesungguhnya ini akibat rasa lelah yang aku boyong bersama rasa takut beberapa waktu lalu? Atau aku saja yang tak sabar ingin cepat-cepat bisa sampai rumah dan mengurung diri di kamar, kemudian berusaha melupakan segala hal menyeramkan yang aku lihat malam ini?

“Dik Wati? Dik Wati!” Demikian akhirnya Pak Sukar menyadarkanku dengan cara menepuk pundakku. Terlonjak aku dengan napas yang seketika itu ngos-ngosan seolah-olah baru saja lari mengitari lapangan luas Kayu Jati.

“Astagfirullah!” ucapku. “Pak Sukar ngagetin saya saja! Memangnya ada apa, sih, Pak?”

Wajar saja aku langsung kesal karena Pak Sukar yang menepuk pundakku hingga membuat setiap khayalku mendadak tersedot ke dunia nyata.

“Maaf, Dik Wati. Sebaiknya Dik Wati jangan melamun begitu. Bisa bahaya.”

“Iya, Pak. Saya juga tidak bermaksud melamun. Tapi saya juga bingung sekali. Kenapa kita belum sampai di Kayu Jati? Apakah jalannya memang jauh sekali, ya? Sebelumnya saya rasa tidak sejauh ini, Pak,” jelasku sambil tidak sedetik pun melewati kesempatan untuk beristigfar.

“Itu yang mau saya ceritakan kepada Dik Wati.”

Aku menunggu pria itu melanjutkan. Beberapa saat, dia fokus pada delman yang sedang menanjak. Inilah yang aneh. Setelah melewati tanjakan berbatu itu, kebingunganku makin menyerang secara intens. Padahal tanjakan itu hanya berjumlah dua saja. Kami sudah melewatinya sebelum bertemu tuselak Bu Hamidah, juga setelah selamat darinya. Lantas mengapa masih ada satu tanjakan yang medannya sama persis seperti tanjakan pertama?

“Dik Wati mau mendengar saya?” tanya Pak Sukar, tampak sungkan. Sepertinya dia memang tak enak untuk bercerita karena sebelumnya aku telah menegurnya agar tak bercerita sesuatu yang menyeramkan. Jantungku ini rentan sekali. Kalau copot, tak bisa dibeli dan diperbaiki.

“Tergantung ceritanya tentang apa, Pak.”

“Ini tentang sejarah Kayu Jati dan Kayu Manis. Juga tentang bebai.”

Dahiku mengernyit. Di mana aku pernah mendengar tentang bebai yang baru saja disebut Pak Sukar? Rasanya pernah kudengar, tetapi kulupakan begitu saja karena memang tidak tertarik sama sekali dengan cerita demikian. Seperti yang telah aku katakan sebelumnya, aku tak berminat mengingat segala hal yang mistis. Meskipun orang-orang suku Sasak memang sudah terbiasa dengan kepercayaan animisme seperti demikian.

Ah, aku memang telah merasa berbeda sejak awal. Dulu pada saat aku berusia delapan tahun, aku tak pernah takut pada hantu. Bapakku selalu mengajarkan, hantu itu sebenarnya takut pada manusia. Lalu, mengapa sekarang justru manusia takut pada hantu? Kata-kata bapakku terbukti benar dengan rangkaian logika yang tersusun di dalam otakku. Jika hantu memang tak takut manusia, seharusnya mereka telah menampakkan diri di depan para manusia, atau bahkan hidup berdampingan bila perlu. Nyatanya, hantu-hantu itu selalu keluar dan menakuti manusia saat tengah sendirian. Sungguh hal yang curang.

Bebai? Sepertinya saya pernah mendengar tentang itu, Pak. Tapi, saya lupa dari siapa saya mendengarnya. Baiklah, Pak. Saya akan dengarkan cerita Pak Sukar. Lagi pula, saya juga sudah terlanjur takut. Daripada penasaran dan capai berharap sampai rumah dengan cepat, sebaiknya saya mendengar cerita Pak Sukar,” dalihku yang kemudian mengembuskan napas panjang.

Aku sudah terlampau pasrah. Keheningan jauh lebih menakutkan bagiku. Jika demikian, adalah ide yang tepat mendengar cerita Pak Sukar. Meskipun ceritanya agak menyeramkan dan masih seputar kepercayaan animisme suku Sasak.

“Sekitar tahun 1925 sebelum Kayu Jati dan Kayu Manis menjadi kampung hunian masyarakat secara umum, kedua kampung itu terkenal sebagai sarang para belian atau dukun santet, meskipun memang tak semuanya suka menyantet. Kita menyebutnya belian seher.

Cerita yang dipaparkan cukup mengalihkan perhatianku dari rasa takut dan bayangan tentang sosok wajah menyeramkan Bu Hamidah.

Konon di Kayu Jati dan Kayu Manis selalu diadakan pesta pertunjukan para dukun setiap malam Jumat Kliwon. Para dukun dari kedua kampung itu saling unjuk kebolehan. Siapa yang lebih sakti, maka dialah yang menjadi penguasa. Memang tak ada imbalan apa pun dalam hal materi setelah salah satu dukun mendapat cap paling sakti. Hanya kebanggaan dan rasa congkak yang mereka dapat. Walau tak mendapat imbalan dalam bentuk materi, para dukun yang menang dalam unjuk kebolehan itu tetap akan mendapat hak khusus.

Lihat selengkapnya