Sempoter, adalah ilmu atau mantra yang digunakan khusus untuk membuat seseorang hanya mengitari jalan yang sama. Dalam arti lain, membuat target terjebak di suatu tempat. Kata Pak Sukar, seseorang telah menebarkan segenggam tanah merah yang sudah dijampi-jampi di sekitar jalan ini. Itulah alasan kenapa kami tidak pernah sampai ke tempat tujuan. Berjam-jam kami berada di perjalanan, kami terus-menerus melewati jalan yang sama. Pada dasarnya, tujuan penggunaan sempoter ini adalah untuk membuat korban kebingungan, tersiksa psikologinya, dan akhirnya menyerah hingga mati di tempat karena tidak pernah bisa menemukan tempat tujuan.
Aku sendiri tidak begitu mengerti cara kerja sempoter. Jika mengandalkan logika untuk menjangkau pemikiran yang masuk akal atas metode tersebut, aku rasa kita tidak akan pernah sampai pada penalaran yang sehat. Namun, Pak Sukar kembali menjelaskan bahwa jika seseorang terkena sempoter, itu berarti ada makhluk halus yang kerap membawanya kembali ke jalan yang sama. Kami akan terus kembali ke jalan yang sama sampai orang yang melepas sempoter memerintahkan pembantu-pembantu makhluk halusnya agar membiarkan kami pergi. Atau cara kedua adalah dengan menemukan tempat tanah merah itu disebarkan.
Di sela-sela kebingunganku yang makin memuncak dan nyaris meledak, aku menyaksikan air muka Pak Sukar sedikit-banyak telah mengalami perubahan. Di awal kami terjebak dalam permasalahan ini, Pak Sukar terlihat seperti orang tua bodoh yang tidak tahu apa-apa. Namun, sekarang justru sebaliknya. Pria separuh baya itu terlihat jauh lebih berani dan serius. Aku yakin Pak Sukar bukan orang sembarangan. Jika tak demikian, maka tidak masuk akal dia bisa mengetahui banyak hal mengenai dunia perdukunan. Ditambah lagi, Pak Sukar mengetahui sejarah panjang dua perkampungan yang terletak berseberangan serta kelamnya masa lalu dunia perdukunan.
Ah, aku jadi kepikiran tentang kalimat Pak Sukar. Dia mengetahui sesuatu tentang bapakku. Katanya, bapakku termasuk orang hebat. Tidak begitu jelas hebat seperti apa yang Pak Sukar maksud. Sebab setelah itu, dia menyudahi obrolan kami begitu saja. Pak Sukar kemudian berdiri di tengah jalan setapak. Sementara itu, aku berada di belakangnya sambil harap-harap cemas. Posisi Pak Sukar dan aku berjarak setidaknya sepuluh meter. Aku sendiri masih duduk terpaku di atas delman dengan kebingungan yang makin mengganyang kepala. Apa yang sebenarnya akan Pak Sukar lakukan?
Pak Sukar tidak bicara apa pun padaku. Dia terdiam, seolah terpaku pada pijakan. Dia bahkan tidak bergerak sedikit pun. Aku berharap Pak Sukar memberiku sedikit informasi, tentang apa yang coba dia lakukan. Atau apa yang sebenarnya akan terjadi pada kami.
Tak lama kemudian, rasa takut kembali menyebar ke dalam benakku. Rasanya ada seseorang tak diketahui sedang berada di belakangku. Aku sungguh tak berani menoleh sehingga hanya membiarkan bola mata hitamku memicing ke sudut-sudut manik. Sungguh itu hal tidak berguna karena aku masih tidak bisa memastikan siapa yang duduk di belakangku. Aku bergetar dan merinding, sama sekali bukan karena suhu dingin yang sedang memeluk seluruh tubuhku. Tidak. Rasanya berbeda sekali. Aku yakin ini pasti karena ada yang duduk di belakangku.
Sepertinya bukan seseorang, tapi sesosok makhluk yang demikian tak aku ketahui bentuknya. Suasana di sekitarku makin tegang. Aku berharap bahwa Pak Sukar segera menoleh padaku, atau bahkan kembali ke delman demi menyelamatkan diriku dari suasana mencekam ini.
Rasanya napasku sudah begitu lama tertahan di paru-paru. Aku begitu ingin memuntahkan jeritan dan sumpah serapah atas ketakutan dan suasana mencekam yang menyelimuti. Walau demikian, sungguh tak mampu aku melakukan itu semua. Sampai pada akhirnya, aku merasakan sepasang tangan berkulit hitam pekat, berkuku panjang nan runcing, memeluk jiwaku. Entah datang dari mana imajinasi menyeramkan ini. Yang aku tahu, tak sedikit pun aku dapat memindahkan rasa yang bergejolak di dalam benak.
Aku bertanya-tanya, apakah tidak apa-apa jika aku terus-menerus menahan napas? Apa paru-paruku tidak akan meledak bila aku terlalu lama menahan udara di rongga tenggorokanku?
Makin lama, rasanya pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi penting. Yang tersisa hanya pertanyaan soal bagaimana aku bisa menjauh dari situasi yang perlahan membunuhku ini. Begitu disayangkan karena aku tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Lagi pula, meskipun aku punya jawabannya, tidak mungkin aku sanggup membebaskan diri. Sebab sekarang, sepasang tangan kasar berkulit hitam pekat ini telah tiba di wajahku. Aku terbayang akannya, yang sedang berusaha mencengkeram kepalaku.
Nyaris jeritku menggema, tiba-tiba Pak Sukar telah ada di sebelahku entah sejak kapan. Dia menyadarkan diriku dari imajinasi buruk itu dengan cara menepuk bahuku. Terlonjak kaget seketika aku dibuatnya.
“Pak Sukar!” jeritku, yang kini telah dapat bernapas dengan normal sebagaimana mestinya. Spontan kupeluk Pak Sukar erat-erat. “Saya takut, Pak!”
“Sudah, Dik Wati. Tidak ada apa-apa. Kamu aman sama saya. Sudah, sudah. Tidak perlu takut lagi,” kata Pak Sukar, berusaha menenangkanku. Dia mengelus-elus pundakku dan menepuk-nepuknya penuh perhatian.