“Kita tidak perlu ikut campur, Dik Wati. Kita harus segera pergi dari sini selagi ada kesempatan. Ayo, Dodo! Ayo, jalan! Jangan hanya diam bengong!”
Aku masih terpaku menatap kejadian mengerikan di depanku. Selama hidup, aku tidak pernah melihat adegan seperti ini. Seperti yang Pak Sukar gumamkan beberapa saat lalu, belian bideng penyedak, atau dalam bahasa Indonesia, itu berarti dukun hitam perusak. Aku memang tidak melihat dengan jelas wajah pria berpakaian hitam ber-songket cokelat itu. Namun, aku rasa seperti mengenal postur tubuhnya. Apalagi saat dia mengeluarkan golok yang tersarung di pinggangnya. Begitu saja, dia menebas sosok tuselak Bu Hamidah. Sementara sosok nenek tua ringkih itu terbang mengepakkan sayapnya dan pergi entah ke mana.
“Dik Wati!” teriak Pak Sukar, menyadarkanku dari ketertegunan. “Itu belian seher. Kalau kita tetap berada di sini, kita akan terkena imbasnya. Kita sudah tidak punya alasan untuk tetap berada di sini. Dan sebaiknya kamu tidak perlu berpikir yang aneh-aneh.”
Napasku sudah tak keruan ritmenya. Aku tidak bisa berkata-kata atau sekadar merespons kalimat Pak Sukar. Sementara Pak Sukar sibuk memerintahkan kudanya agar berjalan, aku masih tetap dihantui bayangan mengerikan itu. Dan puncaknya adalah ketika belian seher dan sosok tuselak Bu Hamidah terjerembab ke tepian jalan yang menurun. Keduanya lenyap dalam kegelapan dan tak lagi terlihat. Di waktu yang bersamaan, akhirnya kuda Pak Sukar menggerakkan kakinya dan kami pun melanjutkan perjalanan untuk pulang ke Kayu Jati.
Selama perjalanan, tak ada obrolan di antara aku dan Pak Sukar. Mungkin Pak Sukar juga sudah menyadari bahwa aku masih kepikiran mengenai tragedi beberapa waktu lalu. Ketika tiba di pintu masuk Kayu Jati, Pak Sukar akhirnya membuka mulut.
“Dik Wati,” panggilnya pelan. Aku menoleh ke sebelah kanan, menatap Pak Sukar yang tampak khawatir dengan keadaanku. “Kalau bisa, lupakan saja kejadian malam ini. Kamu tidak perlu mengingat-ingatnya lagi. Saya semakin khawatir, Dik Wati.”
Aku terdiam. Namun, aku berpikir untuk merespons kata-kata Pak Sukar. “Kenapa saya harus melupakannya, Pak? J-jangan khawatir, Pak. S-saya—”
“Ini demi kebaikanmu, Dik Wati.” Tatapan Pak Sukar penuh permohonan. “Setelah saya menceritakan sejarah terciptanya Kayu Jati dan Kayu Manis, seharusnya kamu mengerti, Dik Wati, bahwa para belian, baik yang jahat maupun yang baik, masih ada di sekitar kita. Jangan sampai Dik Wati jadi korban mereka. Mungkin Dik Wati tidak akan pernah mengerti kenapa saya melarang Dik Wati untuk tidak lagi mengingat kejadian malam ini. Ada banyak hal yang seharusnya Dik Wati tidak perlu ketahui. Sebelum terlambat, lupakan semuanya dan hiduplah normal.”
Aku menelan ludah dengan kasar. Tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari kerongkonganku.
“Lain kali, jika Dik Wati diminta mengantar jagung pesanan ke Kayu Manis lagi, kabari saya. Biar saya sendiri yang akan membantu Dik Wati mengantar pesanannya. Namun, Dik Wati tidak perlu ikut ke Kayu Manis.”
Dahiku makin mengernyit. Ini seperti Pak Sukar memperingatkan dengan keras bahwa aku tidak boleh lagi menuruti permintaan Bapak untuk mengantarkan jagung pesanana Bu Hamidah ke Kayu Manis. Akan tetapi, aku juga ragu Bu Hamidah bisa selamat dari kejadian itu. Sepulang nanti aku pasti akan bercerita kepada Bapak tentang semua kejadian malam ini.
“Saya ragu, Pak,” kataku kemudian. Dahi Pak Sukar mengerut, tampaknya belum mengerti maksud perkataanku. “Saya juga ragu kalau Bu Hamidah bisa selamat. Kita sudah menyaksikan kejadiannya sama-sama. Lagi pula, Bapak hanya meminta saya mengantar pesanan saat kaki dan pinggang beliau kambuh. Maklum, Pak. Namanya juga sudah tua. Lagi pula, saya hanya ingin jadi anak yang berbakti kepada ayahnya.”
Aku sengaja menambah-nambah kalimat dalam penjelasanku. Padahal sebenarnya, aku hanya sedang kehabisan kata-kata. Namun, setelah berkata begitu, Pak Sukar tidak lagi buka suara. Dia hanya fokus pada jalanan yang semakin sempit. Tampaknya Pak Sukar mengambil jalan alternatif agar kami langsung tiba di perkampungan.
“Sesaat lagi kita akan sampai. Setelah itu, saya mohon Dik Wati langsung tidur saja. Tidak perlu mikir yang aneh-aneh. Kalau ada apa-apa, hiraukan saja.”