TUSELAK

Marion D'rossi
Chapter #9

Sumpah Pocong

Di kebun Bapak, aku sama sekali tidak bisa fokus pada pekerjaan. Masih terngiang balasan Bapak yang tanpa ragu menyetujui tantangan Mahram untuk melakukan sumpah pocong. Aku mengerti, mungkin ini cara Bapak demi menunjukkan kebenarannya pada semua orang. Daripada Mahram terus-menerus menuduhnya yang tidak-tidak, memfitnahnya dengan keji, sementara bapakku tidak pernah melakukan hal seperti yang dituduhkan. Meski demikian, aku tetap khawatir. Aku punya firasat buruk yang tidak bisa aku jelaskan.

Sumpah pocong bukanlah sesuatu hal untuk dipermainkan. Seorang terduga akan dibungkus menggunakan kain kafan, berpenampilan seperti mayit, lalu diminta bersumpah atas nama Tuhan di bawah kitab suci Al-Qur’an, dan disaksikan banyak orang. Sumpah pocong adalah serangkaian ritual sumpah yang mengorbankan nyawa sang terduga. Jika terduga tidak benar-benar melakukan sesuatu seperti yang dituduhkan, maka dia akan selamat. Namun sebaliknya, jika benar terduga melakukannya, maka terduga akan meregang nyawa dalam 24 jam tanpa elak.

“Kamu kenapa melamun, Wati? Capai?” tanya Bapak yang seketika itu membuyarkan lamunanku.

“Eh? T-tidak, Pak. Wati hanya kepikiran …,” jawabku, ragu-ragu.

“Kepikiran soal kejadian tadi? Antara pamanmu dan bapak?” Sepertinya tidak ada sesuatu yang dapat aku sembunyikan. Bapak sangat peka jika aku sedang merasa bimbang dan khawatir. Namun, entah mengapa perasaanku jadi semakin tidak keruan.

Lantas, aku mengangguk pelan, lalu menatap Bapak dengan berkaca-kaca.

“Sudah, sudah. Sini. Wati tidak perlu khawatir.”

Bapak begitu saja meraih tubuhku, memelukku dengan kehangatan yang penuh kasih. Tangan besar dan kasarnya mengelus-elus punggung dan pundakku.

“Tahu kenapa bapak menerima tantangan pamanmu?” tanya Bapak, tetapi aku tidak menjawab. Sedih sekali rasanya. Aku pikir dengan bersikap masa bodoh, masalah ini bisa terselesaikan. Aku memang tidak peduli tentang bagaimana cara orang-orang kampung memperlakukanku dan Bapak. Namun, rasanya tetap saja menyedihkan.

Sekarang aku hanya punya Bapak di kampung ini. Oh, ya. Pak Sukar juga, karena beliau memang tidak seperti orang-orang kampung sialan ini.

“Itu karena bapak yakin, bapak ada di pihak kebenaran. Sumpah pocong. Jika setelah sumpah pocong itu dilakukan dan dalam 24 jam bapak masih hidup, itu berarti bapak tidak bersalah. Dan warga kampung ini juga akan mengubah pandangannya terhadap bapak. Dan Wati juga akan bisa lagi bermain dengan teman-teman Wati seperti yang dulu,” jelas Bapak.

Ada perhatian dan kasih sayang yang begitu tulus terpancar dari sorot mata bapakku. Juga keikhlasan yang tak terbantahkan dari nada suaranya. Sekarang aku jadi bertanya-tanya: mengapa semua ini harus terjadi pada keluarga kami? Bukankah orang-orang di kampung ini sudah memeluk agama Islam? Itu berarti, seharusnya mereka memperlakukan kami tidak lebih buruk dari orang-orang lain. Namun, kenyataannya kami diperlakukan bagai sampah dan binatang yang tidak punya harga diri sama sekali. Kami terlihat sangat menjijikkan di mata mereka. Orang-orang keparat ini membuatku sangat dendam.

Sialnya, bagaimanapun, aku juga sadar bahwa dendam dalam agama itu tidak baik dan dosanya juga sangat besar.

“Sudah, ya. Wati jangan berpikir macam-macam lagi.” Bapak segera melepaskan pelukannya. Aku menatap pria berkulit keriput ini sejenak, ingin memberikan sedikit perhatian padanya.

Tak lama kemudian, aku menunduk sambil berkata, “Bapak yakin?”

“Wati, dengar. Kebenaran itu, bagaimanapun, akan tetap terkuak. Orang-orang tidak bisa terus-menerus seperti ini membenci keluarga kita. Bapak sudah berjanji pada almarhumah ibumu, bahwa suatu saat nanti bapak akan menebus dosa-dosa bapak. Dan sekaranglah saatnya bapak melakukan itu.”

Melihat tatapan bapakku yang sangat teduh, aku pun jadi sangat yakin bahwa inilah waktunya semua orang melihat kebenaran.

Malam Jumat Kliwon. Itu berarti tiga hari lagi sumpah pocong ini akan dilaksanakan. Sebelum hari itu tiba, ada kejadian menggemparkan di Kayu Jati. Kejadinnya sehari sebelum hari sumpah pocong itu dilaksanakan.

 

Sore hari menjelang petang, aku meminta izin pada Bapak untuk membeli bumbu-bumbu masak di warung Bu Hikmah. Bahan-bahan di dapurku juga sudah semakin menipis. Aku biasanya hanya membeli bumbu penyedap rasa dan beberapa daging untuk tambahan protein. Sebab untuk sayur-sayuran, semuanya sudah tersedia dari kebun yang Bapak garap.

Setibanya di warung Bu Hikmah, aku tidak melihat para pria paruh baya yang biasanya bermulut ember menongkrong di sana. Namun, kali ini ada sekelompok remaja bertampang dan berpenampilan preman. Mereka duduk di berugak rotan sambil mengudut dan menikmati kopi hitam yang dipesan di warung Bu Hikmah.

Aku mengenal mereka. Salah satu dari mereka adalah putra pamanku, Mahram. Tentunya, aku tidak perlu repot-repot menyapa remaja ini karena, toh, hubungan keluarganya tidak begitu baik denganku. Akan tetapi, si Bowo, nama putra pamanku, menghalangi jalanku.

Lihat selengkapnya