Suasana di sekitar bukit Kayu Jati ditelan duka. Mahram menangis sejadi-jadinya sambil memangku raga tak bernyawa putranya. Ia menangis tersedu sedan, menepuk-nepuk pipi putra semata wayangnya itu, menggoyangkan badan Bowo yang telah jadi bangkai. Sementara, para warga berkerumun di sekitar bukit membentuk lingkaran mengelilingi Mahram yang sedang tenggelam dalam keadaan duka.
Sedangkan aku berdiri mematung dengan tatapan hampa di luar lingkaran itu. Rasanya situasi ini tak menguntungkan bagiku. Sebab beberapa orang terdengar melemparkan kesalahan kepadaku mengenai kematian Bowo.
Ini bukan salahku, gumamku tanpa henti.
Hingga tak lama kemudian, sekumpulan orang di hadapanku terlihat aneh. Ditambah lagi mayat Bowo yang pada saat itu tampak bergerak membuka mata yang hanya menampakkan bagian putihnya. Bowo menudingku sambil tertawa terbahak-bahak. Dan para warga termasuk Mahram menatapku sambil membisikkan: “Ini semua salahmu, Wati! Ini semua salah bapakmu! Ini semua salahmu! Kamu harus menanggung dosa-dosa bapakmu!”
“Ya! Ini salahmu, Wati! Ini salah bapakmu! Semuanya salahmu!”
“SEMUANYA SALAHMU, WATI!”
Semakin lama aku berdiri di tepi kerumunan ini, rasanya aku nyaris gila. Suara-suara itu semakin pekak memenuhi telingaku. Dan melihat Bowo yang kini berdiri di hadapanku rasanya begitu aneh dan menakutkan. Tak mungkin orang mati bisa hidup lagi. Tanpa bisa kubendung lagi, aku menjerit ketakutan, menepis segala tudingan yang datang.
“TIDAK! SAYA TIDAK BERSALAH! SAYA BUKAN PEMBUNUH!”
Kakiku tanpa sadar bergerak menuruni bukit, memelesat lari dari segala tuduhan yang ditujukan kepadaku. Hanya Bapak yang terpikirkan di dalam benak. Aku bergegas pulang ke rumah, berlari sekuat yang aku bisa, sambil sesekali menengok ke belakang demi memastikan orang-orang aneh ini tidak mengejarku.
“Bapak, tolong Wati!”
Tersandung batu sekepalan tangan pun aku tak peduli. Walaupun darah mengucur dari mata kaki, tak sedikit pun aku berhenti berlari. Tujuanku hanya satu: tiba di rumah dan meminta Bapak memelukku.
Tanpa sadar waktu telah berlalu. Aku melihat Bapak sedang sibuk bekerja di gudang seorang diri. Begitu saja, aku memeluknya tanpa mengatakan apa pun, kecuali pembelaan terhadap dosa yang tak pernah kulakukan.
“Wati?! Ada apa?! Kamu kenapa, Nak?!”
Aku tak menghiraukan pertanyaan Bapak. Rasa takut terlanjur menyeruak ke permukaan, mengerubungi tanpa ampun. Namun kemudian, Bapak mendorongku menjauh darinya sambil tetap menahan bahuku.
“Jampi jampaq ….”
Sebuah pukulan terasa menghantam dahiku. Sedetik kemudian, semuanya terlihat gelap gulita. Entah apa yang terjadi selanjutnya, tapi begitu membuka mata, kudapati diriku tengah berbaring di atas ranjang reyotku. Mengedarkan mata ke sekeliling, tak ada siapa pun. Orang-orang aneh itu, termasuk Mahram dan Bowo, tak lagi tampak. Suara-suara itu juga menghilang sepenuhnya.
Aku segera beranjak duduk, merasakan napasku yang masih tak keruan ritmenya. Derap langkah terdengar mendekat, membuatku meningkatkan kewaspadaan. Ternyata Bapak yang muncul dari mulut pintu.
“Bapak ….”
Pria itu tampak lega melihatku yang sepenuhnya sadar. Ia duduk di sebelahku, kemudian meraih dan menarik bahuku.
“Sudah. Tidak ada apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Mendengar suara Bapak, entah bagaimana, tetapi rasanya sudah cukup membuatku tenang. Hanya saja, bayangan itu tetap muncul tanpa elak.
“Jadi, Wati tidak mau cerita pada bapak, apa yang sebenarnya terjadi?” ujar Bapak dengan suara beratnya yang khas.
Aku menundukkan kepala sejenak. Berat rasanya menceritakan apa yang kualami hari ini. Namun, jika aku menceritakannya kepada Bapak, aku pikir Bapak bisa mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Semua yang aku alami, semenjak pergi ke Kayu Manis, dan beberapa rangkai kejadian aneh yang aku alami sepulangnya.
Kutatap mata Bapak yang penuh perhatian, lalu berkata, “Apa Bapak akan percaya jika Wati menceritakan semuanya?”
Sambil mengelus puncak kepalaku, Bapak membalas, “Apa pun yang Wati ceritakan, bapak pasti percaya. Kenapa Wati ragu? Apakah ini tentang hantu? Tentang sesuatu hal yang tidak semua orang akan percaya?”
Aku mengernyit. Bapak memang selalu dapat dipercaya. Aku jadi mengerti sekarang, bahwa sebenarnya dia sudah mengetahui semua hal yang pasti aku alami atau bahkan akan kualami mulai dari sekarang, khususnya tentang hal-hal yang tidak dapat dinalar secara logika.