Sebelum hari gelap, aku buru-buru merapikan tanah kuburan ibuku. Meskipun rasa takut mengancam sejak beberapa saat lalu, tapi rasanya tak tega membiarkan tempat peristirahatan terakhir ibuku seberantakan ini. Orang gila mana yang begitu keji mengobrak-abrik kuburan? Ditambah lagi mencuri batu nisan dan pohon kamboja? Aku tak begitu mengerti tujuan orang melakukan hal seperti ini.
Setelah selesai menata tanah kuburan Ibu, aku merasa butuh air untuk sekadar menyejukkan rumah abadi itu. Setahuku di pemakaman ini terdapat sebuah sumur dan sungai kecil. Jadi, aku bergegas menuju sumur tersebut. Segera kubuka penutup sumur yang terbuat dari kayu, lalu menengok ke bawah sana. Karena hari sudah semakin gelap, aku tidak bisa melihat air di dalamnya dengan jelas. Aku pun memutuskan melemparkan timba kayu ke dalam sumur.
“Oh, ada,” gumamku karena merasakan timba yang aku tarik terasa jauh lebih berat. Aku semringah, lalu dengan cepat menariknya naik ke mulut sumur. Namun, bukan air yang kudapati di dalam timba tersebut, melainkan kepala Bowo yang keadaannya sebagaimana ia meninggal. Aku menjerit sekuat tenaga. Kepala itu bergerak, bergantian menatapku penuh dendam. Mulutnya terbuka lebar, kemudian meneriakkan namaku.
“WATI!”
Saking terkejutnya, aku berlari serampangan melewati tanah kuburan. Bahkan tak peduli menginjak beberapa kuburan yang aku lewati. Lahan pemakaman ini tak begitu luas sehingga untuk keluar darinya tak akan membutuhkan waktu lama. Hanya saja, bukan itu masalahnya sekarang. Rasanya aku sudah melewati pintu gerbang kuburan sebanyak tiga kali. Namun, kenapa aku tetap berlari di dalam kuburan seolah tak tentu arah?
Sempoter!
Ketika menyadari aku terkena sempoter seperti yang pernah kualami dalam perjalanan pulang dari Kayu Manis, segera kuhentikan kedua kakiku. Di tengah jantung yang berdebar kencang, aku menoleh ke belakang sambil berharap kepala si Bowo tidak mengejarku.
“Ya, Tuhan. Syukurlah,” kataku sambil mencoba mengatur napas yang tersengal. Aku menunduk sambil bertumpu di kedua lutut. “Kenapa ini semua harus terjadi? Ada apa sebenarnya?”
Aku nyaris menangis. Tidak, kurasa aku memang sudah menangis. Air mataku menitik bersamaan dengan kegelapan yang akhirnya membungkus peradaban. Jika aku tak bisa keluar dari situasi ini, tak ada yang bisa aku lakukan. Sebelumnya aku memang pernah mengalami hal serupa, tetapi saat itu ada Pak Sukar yang tahu caranya menggugurkan sempoter. Dan sekarang, hanya ada aku di tanah kuburan ini.
Sekarang aku merasa menyesal tidak pernah memercayai hal-hal seperti ini. Hantu, alam gaib, tuselak, bebai, dan semua hal tak masuk akal yang masyarakat suku Sasak percayai. Jika aku percaya sebelum semua ini terjadi, aku mungkin tidak akan pernah mendapatkan pengalaman buruk seperti sekarang. Sebab sejak dulu, Bapak selalu ingin melindungiku dengan benda-benda yang katanya sudah dibacakan mantra. Katakan saja sebagai azimat.
Ah, aku tidak percaya barang-barang itu bisa menangkal gangguan makhluk halus bahkan makhluk jadi-jadian. Sehingga itulah aku selalu membuangnya saat Bapak memakaikannya kepadaku. Bebadong. Benda itu bisa berbentuk banyak hal. Misalnya gelang, kalung, cincin, atau bahkan seonggok batu sekalipun.
Sambil menangisi nasibku yang entah bisa selamat atau tidak kedepannya, aku melanjutkan langkah dengan pelan. Angin yang bertiup dari pohon-pohon kamboja serta pohon beringin di pemakaman semakin sempurna menggeledah rasa takut di dalam benak. Aku memeluk diriku sendiri. Sudah pasti aku tidak berani secara terang-terangan mengedarkan mata ke sekeliling.
“Bapak. Tolong Wati, Bapak. Tolong selamatkan Wati,” rengekku dengan tangis yang semakin pecah di tengah kesunyian.
Aku mengerti rengekan di kegelapan ini sangat percuma. Bapak tidak akan datang karena dia sangat percaya aku tidak takut pada apa pun. Meskipun sudah menceritakan pengalaman-pengalaman mengerikan yang kualami, tapi Bapak selalu optimis bahwa aku pasti tumbuh menjadi gadis pemberani.
Entah sudah berapa kali aku keluar dan melewati pintu pemakaman, tapi aku selalu kembali ke tempat semula dan berjalan seorang diri. Manakala aku berhenti sejenak, bisikan-bisikan yang datang dari alam gaib kembali memasuki pikiranku.
“Wati! Kembalilah pada kami.”
“Bergabunglah dengan kami.”
“Sudah menjadi perjanjian.”
Aku menutup kedua telinga, tetapi bisikan-bisikan itu tidak kunjung hilang. Aku ingat bahwa kata-kata dalam bisikan itu pernah kudengar saat perjalanan pulang dari Kayu Manis. Apa maksud mereka? Perjanjian? Kenapa memintaku bergabung dengan mereka? Aku bukan bagian dari mereka, tapi mengapa mereka menginginkanku?
“TIDAK! AKU BUKAN BAGIAN DARI KALIAN! PERGI KALIAN! JANGAN GANGGU AKU!”
Kembali kupercepat langkah, tapi seperti biasa aku masih tetap berada di lahan pemakaman. Keadaanku sudah bermandikan keringat. Meski begitu, rasa takut tetap mendorongku untuk terus berlari. Hingga tak lama kemudian, kaki kiriku terjerembab ke dalam sebuah lubang kuburan. Saat berusaha menariknya keluar, seolah ada benda yang menahan. Sekuat apa pun aku mencoba menarik kakiku keluar, kekuatan di dalam lubang terasa semakin kuat.
Aku pun menundukkan kepala, melihat fakta bahwa lubang kuburan tempat kakiku terjerembab adalah kuburan si Bowo yang masih basah dan penuh oleh bunga rampai di atasnya.
“Lepaskan!”
Karena tak kunjung berhasil, aku menggunakan kedua tangan untuk membantu menarik kakiku. Untungnya aku berhasil. Sialnya, aku menemukan bahwa kepala si Bowo tengah menggigit betisku. Jeritan demi jeritan keluar dari mulutku. Tak terhitung berapa banyak sumpah serapah yang terlontar.