IA BERGEGAS menemui tempat tinggal lelaki itu. Dengan amarah yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Amarah itu sudah mencapai puncaknya dengan sempurna. Wajahnya mulai menegang sejak pertama kali ia tahu bahwa Rosdiana Ayu, anak gadisnya, sudah berhubungan akrab dengan lelaki itu. Ini tak boleh berlanjut, pikir Naira Ayu, sambil menghidupkan sepeda motor metiknya.
Ia akan menemui lelaki itu dan membikin perhitungan serius untuk yang terakhir kali dalam hidupnya—setelah dua belas tahun tak bertemu—dan sekarang ia memastikan bahwa urusannya akan selesai sampai di sini, sebelum semuanya makin kacau.
Sepanjang perjalanan menuju tempat tinggal lelaki itu, yang hanya kurang dari sepuluh menit jika menggunakan motor, Naira Ayu masih cemas dengan berbagai kemungkinan, termasuk harus bertemu dan bertatap muka lagi dengannya.
Lelaki itu pasti sudah banyak berubah, pikir Naira Ayu, terutama dari penampilan dan potongan rambutnya. Tetapi wajahnya jelas masih ia kenal, dan jika boleh jujur, ia membayangkan sejenak dan mengakuinya dalam hati—bahwa sorot matanya masih memancarkan keteduhan.
Ah, tapi ia kembali pada dendamnya. Pada amarahnya yang tak bisa ia tahan itu. Dan ingin sekali ia mengatakan hal ini lagi padanya, tepat di depannya, seperti waktu dulu: dasar lelaki menyebalkan! Hanya itu makian yang menurut Naira Ayu paling kasar yang bisa ia nyatakan pada lelaki itu. Selebihnya tak bisa.
Kini ia dengan motornya mulai meninggalkan gerbang rumah, berbelok ke kiri, dengan melewati empat rumah, ia keluar dan bertemu dengan jalan raya. Tempat tinggal lelaki itu memang tak jauh dari rumahnya sekarang. Ternyata lelaki itu juga mulai memilih tinggal dekat rumah Naira Ayu.
Lalu-lalang motor dan mobil di jalan, sama sekali ia tak memperdulikannya. Di pertigaan, ia nyairs menabrak seorang kakek tua yang sedang menyebarang. Tapi untung rem motornya masih berfungsi dengan baik.
“Hati-hati atuh, Neng geulis,” kata Si Kakek kemudian, setelah Naira Ayu menepi kemudian turun sebentar untuk meminta maaf. Si Kakek lantas mempersilahkannya pergi. Dengan menitipkan pesan agar jangan ngebut lagi. Naira Ayu mengangguk dan kembali menghidupkan motornya. Ia tak henti-henti beristigfar dalam hati. Ia mengaku salah karena telah ceroboh ngebut di jalanan.
Naira Ayu berjanji akan melabrak lelaki itu dan meminta dengan sangat agar menjauhi Ros secara perlahan, seperti dulu ketika ia bisa menjauh dari lelaki itu serta berusaha melupakannya.
Naira Ayu sempat berpikir ini adalah sebuah jebakan. Sebuah skenario yang telah dirancang lelaki sialan itu. Ini bisa saja terjadi, pikir Naira Ayu yakin. Sebab sedikitnya ia sudah tahu tentang tabiat lelaki yang bakal dihadapinya seorang diri itu.