Tusnedi Jawir

Sobirin
Chapter #2

Chapter #2

SELEPAS MAGRIB ITU ia masih gelisah. Sudah sampai pukul delapan malam, Rosdiana Ayu belum juga pulang. Ini tidak biasanya dilakukan Rosdiana Ayu. Jika pun habis dari mengerjakan tugas di rumah temannya, ia akan pulang sebelum suara azan Asar berkumandang. Sejak tadi ditelepon selalu tak bisa. Mohon menunggu, nomor yang Anda tuju sedang dialihkan. Begitu kata operator seluler setiap kali Naira Ayu menghubungi Rosdiana Ayu. Tak berapa lama setelahnya, ada telepon masuk dari salah satu teman kelas Rosdiana Ayu. Si penelepon mengabarkan bahwa Rosdiana Ayu tadi menghubunginya dengan nomor Tusnedi Jawir.

“Ros bilang, dirinya masih mengerjakan PR di sana. Dan pukul delapan malam, mungkin semua tugasnya baru selesai,” kata Uyoh dari sebrang kepada Naira Ayu.

Sebelum semuanya menjadi kacau dan Badri tahu, pikir Naira Ayu, kedekatan antara Tusnedi Jawir dan Rosdiana Ayu harus diakhiri. Naira Ayu benar-benar murka pada Tusnedi Jawir. Naira Ayu tahu jika Tusnedi Jawir masih merawat cinta dalam hatinya dengan baik.

Selepas salat Magrib, Naira Ayu lekas menuju tempat tinggal lelaki tak tahu diri itu. Ia berniat tidak hanya bakal bersikap keras atau memarahinya, tapi juga melarang Rosdiana Ayu kembali ke rumah Tusnedi Jawir, apa pun alasannya.

Dalam doanya yang singat dan agak terburu-buru tadi, ia meminta pada Sang Pencipta agar semuanya dimudahkan dan diberi jalan terbaik. Sehingga semua berita ini tak sampai pada Badri Mubarok, suaminya yang sampai malam ini belum juga pulang. Ia mengganti mukenanya dengan sweater ungu.

Ia ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat. Dan tak mau menunda-nunda lagi. Malam ini, semua harus beres, pikirnya.

“Ma, mau ke mana?” tanya anak pertamanya Siti Ayu, saat melihat Mama bergegas pergi meninggalkan rumah.

“Jaga rumah dengan baik. Mama hanya sebentar keluar, hendak menjeput adikmu yang mulai tak bisa diatur!” saat bicara itu Naira Ayu sampai tak sempat menatap mata anaknya.

“Aku bisa mengaturnya dengan baik, jika Mama mempercayakan hal ini padaku.”

“Tak perlu. Jaga rumah saja! Jika Papah datang, bilang Mama sedang membeli ikan bakar,” suaranya kemudian hilang di depan pintu rumah, hilang bersama suara mesin motor metik yang dihidupkan dan melaju agak ngebut.

Selepas Naira Ayu pergi, Siti Ayu mengunci pintu dengan segera dan berdoa dalam hati, agar Mama bisa kembali dengan membawa si bungsu dan ikan bakar.

“Kasihan Mama, semoga malam ini Mama bisa tidur nyenyak,” begitu doa terakhirnya. Siti Ayu tahu, jika Mama sudah bersikap demikian, pasti ada suatu hal buruk yang sedang terjadi. Atau paling tidak ada masalah yang cukup serius yang tengah menimpanya. Sifat Mama demikian, jika dianggap belum waktunya untuk bercerita, ia akan menyimpan semua rahasia dan cerita itu sendirian.  

_

 

Rosdiana Ayu keluar dari ruang kelas IPA I. Rambut panjangnya berkibar. Ia memakai rok pendek birunya di atas lutut. Baju putihnya tak terlalu longar, juga tak terlalu ketat. Tapi semua orang akan tahu dan dengan mudah bisa menebak bentuk tubuhnya yang sintal itu. Ia mengitari pandang sekolah dengan perasaan bahagia. Di depan kelasnya sejumlah anak-anak dari kelas yang lain tengah sibuk bermain basket. Dengan mudah ia bisa menemukan laki-laki yang dicarinya dalam kerumunan anak-anak yang tengah bermain basket, selain karena seragam bajunya berbeda dari yang lain, juga karena sejak tadi lelaki itu memandangnya dengan tatapan berbeda.

Lihat selengkapnya