Tusnedi Jawir

Sobirin
Chapter #3

Chapter #3

DI SEKOLAH Budi Dharma, Rosdiana Ayu terlihat berbeda dari kebanyakan siswi lain. Saat jam istirahat, Rosdiana Ayu kembali memoles wajahnya dengan bedak. Memoles sedikit gincu basah di bibirnya yang tipis. Terakhir, dia menyemprotkan parfum issey miyake pada tubuhnya. Timbron, teman sekelasnya yang lama menyadari perubahan pada diri Rosdiana Ayu, membuatnya semakin jatuh cinta dan makin bernafsu ingin memiliki Rosdiana Ayu.

Menyadari dirinya diperhatikan Timbron, Rosdiana Ayu memalingkan muka. Tapi malah Timbron mendekati meja Rosdiana Ayu yang berada paling depan, dekat pintu masuk ruang kelas.

“Tidak ada alasan lagi jika seorang siswi SMP yang baru kelas satu rajin bersolek, kalau bukan dilakukan untuk menjerat lawan jenisnya? Dan aku rasa kau sedang menjeratku sekaligus menggodaku,” kata Timbron begitu percaya diri kepada Rosdiana Ayu.

“Aku rasa dugaanmu salah gendut! Dan jangan terlalu sering mengkhayal tentang tubuh indahku. Aku tak sudi ada dalam pikiran kotormu!” kata Rosdiana Ayu ketus.

“Aku yakin, kau suka dengan orang sepertiku,” katanya terus berusaha merayu Rosdiana Ayu.

“Aku lebih suka mumi gendut daripada kamu. Minggir sana!” Dengan cepat Rosdiana Ayu memasukkan semua peralatan kecantikannya dalam tas kecil, lalu ngeloyor pergi meninggalkan Timbro di ruang kelas.

“Kalau nanti berubah pikiran, aku masih setia menunggumu, Ros.”

Tapi Rosdiana Ayu tak menjawab. Ia makin menjauhi Timbron.

Timbron yakin Rosdiana Ayu bakal menuju kantin. Ia lekas mengejar bidadarinya ke sana. Ia mencoba menyusulnya, dan dari jauh ia terus berteriak agar Rosdiana Ayu menunggunya sebelum sampai di kantin. Timbron berlari kecil. Tapi napasnya mulai tersengal-sengal, seperti telah melakukan lari maraton 5K dengan kekuatan penuh.

Saat Timbron berhasil menjajari langkah Rosdiana Ayu, mereka baru tiba di kantin. Timbron terus mendekat, tapi Rosdiana Ayu tetap jaga jarak.

“Hari ini aku ulang tahun. Biar makanan kamu aku yang traktir,” kata Timbron pelan pada Rosdiana Ayu.

“Tak perlu menjebakku dengan perangkap kuno ini,” katanya sembari membayar sendiri makanan yang dipesannya.

“Kalau begitu bagaimana kalau kita menonton film terbaru minggu ini? Pasti kau suka.”

“Minggu ini aku tak berniat keluar rumah. Lagi banyak tugas yang mesti dibereskan.”

“Untuk tugas, biar aku bantu? Bagimana?” Timbron melihat dada Rosdiana Ayu. Matanya mulai melirik nakal.

“Kau cari saja orang lain. Lagi pula rumahku selalu tertutup untuk orang macam kamu!”

Tapi Timbron tak mau menyerah begitu saja. Ia juga ikut memesan minuman dan makanan ringan, lalu duduk satu meja dengan Rosdiana Ayu. Tanpa mereka sadari, ternyata Uyoh datang dan menuju meja mereka.

Timbron lekas menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. Tak mau Uyoh melihatnya. Ah, ini kiamat! Begitu pikir Timbron dalam hatinya apabila Uyoh semakin mendekat.

“Apa kabar Timbronku sayang?” tanya Uyoh dan lekas duduk satu meja dengan mereka. Sebagai teman, Rosdiana Ayu merasa senang, akhirnya ada juga yang mencintai Timbron. Tapi satu sisi ia sangat jengkel juga dengan tingkah Uyoh, terlebih dengan kata-katanya yang kadang membikin telinganya panas.

Wajah Uyoh jelas kalah cantik dari Rosdiana Ayu. Sangat jauh perbandingannya. Jika ada Uyoh dan Rosdiana Ayu bersandingan, maka wajah buruk rupa Uyoh semakin jelas terlihat dan begitu nista.

Uyoh berkulit hitam gelap, sangat kontras dengan warna kulit yang dimiliki Rosdiana Ayu yang putih bersih. Bibir Uyoh lima kali lipat lebih tebal dari bibir tipis dan manis milik Rosdiana Ayu. Bibir Rosdiana Ayu begitu menyegarkan. Sementara deretan gigi Uyoh besar-besar bagai biji jagung super. Orang-orang sering mengejek Uyoh sebagai anak jin yang dibuang oleh raja jin, lantaran bangsa jin tidak sudi menerima rupa Uyoh yang demikian buruk rupa dan menyedihkan.

“Kenapa saat aku ajak ke kantin tidak mau? Tapi sekarang kamu malah ada di sini, sama si Ros lagi…” kata Uyoh, matanya melirik penuh selidik pada Rosdiana Ayu.

“Makanya kalau punya gebetan ikat kencang-kencang. Jangan sampai dia jadi liar,” Rosdiana Ayu kesal juga disindir begitu.

Tapi Uyoh tak peduli dengan omongan Rosdiana Ayu. “Hari ini aku temani kamu makan ya, sayang,” Uyoh merapatkan tubuhnya di samping Timbron.

“Najis!” kata Timron kesal dan bersiap-siap hendak pergi dari kantin.

“Sayangku, mau ke mana?” cegah Uyoh. “Aku bersedia melakukan apa pun demi kamu, termasuk memberikan cinta suciku untukmu,” tambahnya.

“Cuh!” Timbron meludah sembarangan. “Lebih baik aku memilih anak jin ketimbang kamu!” Timbron makin kesal dibuatnya. Dan sungguh kehadiran Uyoh hari ini, merusak harinya bersama Rosdiana Ayu. Timbron bergegas masuk kelas.

Saat Timbron berlalu, Rosdiana Ayu juga bersiap-siap pergi, namun lekas ditahan Uyoh.

“Tunggu Ros! Ada hal yang harus kita bicarakan antara sesama perempuan...” kata Uyoh menahan tangan kiri Rosdiana Ayu yang hendak pergi. Gaya bicaranya sok serius ketika Timbron tak ada. Uyoh menatap mata Rosdiana Ayu penuh dendam. “Sudah kuingatkan beberapa kali, kau jangan coba-coba mendekati Timbron lagi, karena dia adalah napas kehidupanku! Kau harusnya tahu, sesama perempuan tidak boleh saling rebut kekasih orang. Karena kau belum tahu bagaimana pengorbananku untuk mendapatkan cinta Timbron,” kata Uyoh geram, wajahnya terlihat makin hitam kemerah-merahan.

Rosdiana Ayu menepis tangannya yang masih dipegang Uyoh.

“Jangan salahkan aku jika aku diluar kendali, dan mungkin bisa saja membuat perhitungan padamu,” kata Uyoh mengancam Rosdiana Ayu.

“Sekali lagi jika kau dekati aku, aku bersumpah akan mengirimmu serta Timbron ke neraka, agar kalian bisa bercinta di sana!” Rosdiana Ayu menggebrak meja kantin.

Uyoh kaget dan hanya diam terpaku.

_

 

Tusnedi Jawir masih menyimpan api cinta itu. Api cinta yang nyaris padam pada masa-masa patah hati duapuluh satu tahun silam oleh Naira Ayu. Dan selama itu hanya menyisakan bara yang terjaga. Satu tahun terakhir ini, bara yang terjaga itu kembali menyala, setelah ia menemukan Rosdina Ayu. Pada wajah Rosdiana Ayu, ia melihat goresan senyum Naira Ayu, kekasihnya yang tepat di bulan duabelas pergi meninggalkannya.

Mata yang dimiliki Rosdiana Ayu begitu bening, juga bibir tipis, serta kulitnya yang putih bersih ada pada gadis itu, persis seperti yang dimiliki Naira Ayu.

Pagi itu, ia merasa bagai lelaki yang terlahir kembali di dunia ini, saat melihat Rosdiana Ayu lewat menggunakan seragam putih-birunya. Itu hari pertama ia melihatnya, setelah sekian lama dalam pengawasan Tusnedi Jawir dari rumah kontrakan yang ia tempati sekarang.

Dia mulai mengumpulkan beberapa informasi tentang Rosdiana Ayu, juga di mana ia sekolah. Bagaimana jika kedua orang tuanya melarang? Itu urusan yang kesekian, ia membatin. Saat itu juga ia mencari tahu lowongan guru di SMP Budi Dharma. Dan alangkah senangnya ia saat mengetahui ada Nanang Saiful, kawan lama yang sudah mengajar di sana.

Tusnedi Jawir memohon kepada Nanang Saiful untuk menjadikannya guru di Budi Dharma. Nanang Saiful mengaku akan mengusahakannya.

Dan beberapa hari kemudian mereka kembali bertemu.

“Aku bersedia menyerahkan semua gaji pertamaku untukmu, asalkan aku bisa mengajar apa saja di Budi Dharma,” kata Tusnedi Jawir kepada kawan lamanya itu.

“Sudah aku usahakan semampuku. Dan sudah aku rayu kepala sekolah untuk memasukanmu mengajar di Budi Dharma,” kata Nanang Saiful selepas istirahat di depan rumah kecil samping sekolah yang merupakan mes bagi guru-guru Budi Dharma. “Tak usah demikian. Gajimu biar untuk ditabung saja. Barangkali itu membantu saat kamu memiliki niatan untuk menikah.”

“Seperti yang kau tahu. Rasa cintaku masih milik dirinya dan tak mungkin aku kawin dengan wanita lain. Sebab aku akan menunggunya, meski ia sudah janda,” Tusnedi Jawir menyeruput susu cokelat yang sejak tadi disuguhkan Nanang Saiful.

“Jangan bilang kau akan membunuh suaminya!”

“Aku tahu itu hal bodoh. Dan aku bukan termasuk orang yang berpikiran pendek. Kalaupun ada pikiran itu, sudah aku lakukan saat ia mengirimiku surat undangan,” mata Tusnedi Jawir menerawang ke atap mes yang tingginya sekitar tiga meter.

“Atau jangan-jangan kau mengincar yang lain? Sehingga kau sangat ingin sekali mengajar di Budi Dharma?” Nanang Saiful mulai curiga.

Tusnedi Jawir hanya tersenyum penuh kemenangan.

“Asal kau jangan macam-macam saja. Itu bisa berimbas pada reputasiku di hadapan kepala sekolah, dan juga tentunya para guru-guru di Budi Dharma,” ujarnya berharap Tusnedi Jawir bisa mendengarkan hal ini.

“Aku jamin dengan persahabatan kita dan juga uang gajiku, jika kau mau,” Tusnedi Jawir mengulurkan tangan kanannya, menunggu tangan Nanang Saiful menyambar tangannya sebagai bentuk janji. Janji seorang lelaki dan sahabat lama.

Setelah menyeruput kopi miliknya, Nanang Saiful mengangkat telepon yang rupanya dari kepala sekolah. Tusnedi Jawir tak berminat mendengarkan percakapan Nanang Saiful dengan kepala sekolah. Ia malah memilih keluar dan melihat pohon-pohon mangga yang sudah mulai berbuah. Pohon-pohon mangga itu sengaja ditanam Nanang Saiful di depan mes guru Budi Dharma agar halamannya jadi teduh. Tusnedi Jawir memandang ke depan, melihat sejumlah murid-murid Budi Dharma tengah berhamburan di serambi kelas. Juga ada beberapa murid yang bermain basket di lapangan.

“Tus, apa kau ingin mendengar kabar baik dariku?” teriak Nanang, kepalanya melongok di sela-sela daun mangga yang menghalangi pandangannya.

Tusnedi Jawir bahagia mendengar informasi pertama itu. “Aku bisa menebak apa yang akan kau ceritakan nanti,” kata Tusnedi.

“Ya. Berbahagialah sekarang. Sebab mulai Senin depan, kau bisa mengajar anak-anak Budi Dharma olahraga. Kebetulan, guru olahraga di Budi Dharma sudah meninggal dunia. Nanti Pak Kepala Sekolah ingin mengobrol denganmu. Untuk urusan itu, biar aku atur waktunya.”

“Aku sangat berterima kasih kepadamu, Nang.”

“Sama-sama. Aku percaya, kau juga akan melakukan hal yang sama jika ada di posisiku saat ini.”

Tusnedi Jawir memeluk tubuh sahabat lamanya itu.

_

 

Pengumuman tenaga pengajar baru, Bapak Tusnedi Jawir sebagai guru olahraga di Budi Dharma terdengar dari pengeras suara yang disampaikan langsung oleh Nanang Saiful. Ia menyebut nama Tusnedi Jawir sebagai pengganti Pak Hasan, guru olahraga yang sudah meninggal. Tapi sebelumnya hal ini sudah ia bicarakan dengan guru-guru lain. Tusnedi Jawir juga sudah memperkenalkan diri pada seluruh guru-guru di Budi Dharma dan tentu saja kepala sekolah yang botak itu.

Butuh satu minggu saja bagi Tusnedi Jawir untuk bisa menyesuaikan diri dengan murid-murid barunya di Budi Dharma. Terlebih memang Tusnedi Jawir tak pelit dalam memberikan nilai bagus pada mata pelajaran olahraga. Dalam waktu singkat itu, ia bisa mendekati Rosdiana Ayu dengan mudah. Dari gaji pertamanya, ia memberikan baju baru dan seperangkat alat kecantikan kepada Rosdiana Ayu sebagai hadiah, tepat saat Rodiana Ayu berulangtahun untuk yang ke-15 tahun.

“Anggap saja itu hadiah dari aku di ulangtahunmu yang sudah mulai menginjak usia cukup matang,” Tusnedi Jawir memberikan hadiah itu di kelas, saat murid-murid yang lain berlarian ke tengah lapangan, hanya ada dirinya dan Rosdiana Ayu saat itu.

“Tapi, Pak?” Rosdiana Ayu masih ragu dan merasa sedikit kaku menerima hadiah itu.

“Sudah kubilang jangan panggil Pak, panggil nama saja,” pintanya dan langsung membimbing tangan Rosdiana Ayu untuk menerima kado itu. “Dan jangan ragu lagi jika nanti menerima hadiah lain dariku,” sambungnya.

“Ba… bapak…” Rosdiana Ayu terbata. Lebih tepatnya ia sedikit gugup saat tangan Tusnedi Jawir menyentuh tangannya. Seperti ada getaran lain yang dikirim Tusnedi Jawir lewat pegangan tangan itu. Dan Rosdiana Ayu merasakannya. Sangat merasakannya.

“Ya sudah, kadonya simpan dulu. Nanti saja dibukanya di rumah. Saya tunggu di lapangan basket bersama anak-anak ya,” Tusnedi Jawir sengaja meninggalkan Rosdiana Ayu seorang diri.

Hari lain Tusnedi Jawir pernah menolong Rosdiana Ayu yang terjatuh saat latihan balap lari, dan ia seorang diri yang membopong Rosdiana Ayu pergi ke ruang PMR. Murid-murid Budi Dharma yang sedang mengikuti kelasnya hanya bisa melogo dan beberapa anak mengikutinya dari belakang. Sementara guru-guru lain yang melihatnya langsung melapor kepada kepala sekolah.

_

 

Tusnedi Jawir masih menunggu Rosdiana Ayu saat diberi obat merah di ruang PMR oleh sahabat perempuannya sendiri. Beberapa menit kemudian Rosdiana Ayu keluar dari ruang PMR, disusul temannya. Saat Rosdiana Ayu keluar dan merasa baikan, Tusnedi Jawir didekati salah satu guru yang tadi melihatnya membopong Rosdiana Ayu, lalu menyampaikan teguran dari kepala sekolah atas perbuatannya itu.

Tapi kali ini Tusnedi Jawir selamat, sebab ia beralasan itu terjadi pada kondisi yang sangat darurat dan harus cepat tanggap membawa Rosdiana Ayu ke ruang PMR. Rosdiana Ayu terluka cukup parah dan itu memerlukan pertolongan segera.

“Bayangkan jika kondisi tadi menimpa pada anak perempuan Bapak? Pasti Bapak juga akan melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan,” kata Tusnedi Jawir membela diri, saat ia dimintai keterangan oleh kepala sekolah.

“Tapi Pak Tusnedi harus ingat, bahwa Ros bukan anak biologis Bapak,” kata Pak kepala sekolah tak mau disalahkan.

“Meski Ros bukan anak biologis saya, tapi dia sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Ros dan murid-murid lain di Budi Dharma,” kata Tusnedi Jawir yang lantas pamit dari ruang kepala sekolah.

Selepas dari ruang kepala sekolah, Tusnedi Jawir memilih pulang lebih dulu dengan tujuan mengantar Rosdiana Ayu ke rumahnya. Tapi memang tak sampai mengantar hingga depan rumah, karena Tusnedi Jawir merasa, ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan Naira Ayu, terlebih dengan Badri.

“Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Jangan ceritakan apa-apa tentang aku kepada kedua orangtuamu,” pinta Tusnedi Jawir, yang mengantarkan Rosdiana Ayu hingga depan jalan raya, beberapa meter lagi sampai ke rumah Rosdiana Ayu.

“Kamu sudah bisa berjalan?”

Rosdiana Ayu mengangguk. “Meski masih agak sakit di bagian lutut.”

“Di rumah harus banyak istirahat. Jika tak banyak bergerak, satu dua hari mungkin lukamu akan cepat kering,” Tusnedi Jawir bersiap meninggalkan Rosdiana Ayu. Tapi kemudian Rosdiana Ayu menahannya sebentar.

“Pak…”

“Sudah kubilang jangan panggil Bapak.”

“Ini di tempat umum Pak. Jadi harus panggil Bapak. Oh ya, aku cuma mau bilang terima kasih.”

“Baiklah jika demikian. Kembali kasih, Ros,” kata Tusnedi Jawir yang lekas menyuruhnya untuk segera menuju rumah. Rosdiana Ayu meninggalkan senyum manis untuk Tusnedi Jawir.

_

 

Dua bulan lebih Tusnedi Jawir mengajar di Budi Dharma, hubungannya dengan Rosdiana Ayu makin akrab dan berlanjut pada kegiatan belajar bersama di kontrakan Tusnedi Jawir. Hal yang sama juga dirasakan Rosdiana Ayu. Ia mulai yakin dan nyaman berjalan dengan Tusnedi Jawir, meski umurnya terpaut sangat jauh.

Hari itu, Tusnedi Jawir sengaja mengajak Rosdiana Ayu belajar di kontrakannya. Rosdiana Ayu tentu tidak mengatakan hal yang sebenarnya kepada kedua orangtuanya, bahwa ia tengah belajar bersama Tusnedi Jawir.

“Cukup bilang akan belajar di rumah Uyoh atau teman perempuanmu yang lain,” begitu Tusnedi Jawir mengajarinya, sebelum Rosdiana Ayu datang ke rumahnya, usai jam pulang sekolah.

 “Kamu mungkin sudah tahu, entah kenapa, sekarang… aku semakin merasa nyaman jika ada di dekatmu,” kali ini Rosdiana Ayu sudah terbiasa memanggil Tusnedi Jawir dengan sebutan “kamu” atau memanggil namanya saja. Tentu saja itu ia ucapkan ketika tak ada siswa lain. Jika sedang di kelas atau ada siswa lain, Rosdiana Ayu memanggilnya dengan sebutan Bapak.

“Syukurlah jika kau merasakan demikian,”

“Tapi bolehkah aku bertanya?” kata Rosdiana Ayu hati-hati.

“Tentu saja.”

“Tapi kau harus jawab dengan jujur...”

“Memang selama ini aku terlihat seperti orang yang suka membual?”

Lihat selengkapnya