MALAM ITU, pikiran Tusnedi Jawir tak karuan. Ia mondar-mandir di dalam kamarnya. Gelisah. Hatinya hancur sehancurnya, setelah mendengar kabar bahwa perempuan yang paling disayanginya bakal menikah dengan orang lain. Ia masih terdiam di sisi kasur. Lantas tak lama beranjak lagi dari kasurnya dan mengitari kamarnya yang tak luas itu, seperti tengah mencari sesuatu yang penting. Ia kemudian menghentikan langkahnya dan sejenak berbaring, lalu mondar-mandir lagi bagai kecoa yang terperangkap dalam tempurung kelapa yang gelap dan pengap.
Batinnya bergolak lagi. Sial! Ini masuk H-1 pernikahan Naira Ayu, begitu kata Tusnedi Jawir membatin. Ia masih tak bisa berpikir jernih. Pikiran dan hatinya masih berkecamuk hebat.
Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menemuinya. Tapi akalnya mengatakan tidak mungkin: pertama ia sudah terlanjur sakit hati, dan tidak mau bertemu dengan Naira Ayu lagi. Kedua, ia tak punya kata-kata jika nanti bertemu orangtua Naira Ayu, sebab Tusnedi Jawir sudah cukup akrab dengan orangtua Naira Ayu, terutama kepada Mama. Dan yang ketiga…
“Jika aku ke sana, barangkali suaminya akan meronda sampai pagi, untuk menjaga calon isterinya,” tiba-tiba ada suara lain terdengar masuk dalam batinnya.
Tetapi Tusnedi Jawir ingin tetap pergi menemui gadisnya malam itu juga!
Ya, aku harus pergi dan membiarkan takdir bisa berubah menjadi kemungkinan-kemungkinan yang indah. “Barangkali akan demikan. Aku harus mencobanya, atau tidak sama sekali, dan selamanya akan menyesal,” batinya memberikan semangat pada diri sendiri.
_
Ia benar-benar menemui gadisnya sebelum hari pernikahan tiba. Ia berpura-pura sebagai tukang rias panggung pengantin. Di depan sana, para pekerja masih sibuk menyelesaikan dekorasi panggung. Hanya tinggal memasang riasan bunga-bunga di panggung pengantin. Sejumlah anak-anak terlihat berlarian di sekitar panggung. Sebagian orang-orang bercengkrama di beranda rumah orangtua Naira Ayu.
Tusnedi Jawir menggunakan topi dan sweater hitamnya. Sejenak ia memantau dari sudut yang tersembunyi. Ia mengitari pandang, memantau keberadaan Naira Ayu. Hampir sepuluh menit berlalu, ia tak juga melihat batang hidung Naira Ayu. Ah, mungkin Naira Ayu sedang mencoba baju pengantinnya di dalam kamar, atau tengah sibuk menemani saudara jauhnya yang menginap di rumah malam itu. Yang ia dapati hanya orangtua Naira Ayu tengah santai mengobrol dengan orang-orang yang tak dikenal Tusnedi Jawir. Malam itu ia agak lega, tak melihat Badri Mubarok. Tiba-tiba Tusnedi Jawir merasa bahagia.
Naira Ayu kemudian muncul di beranda rumah dan ikut gabung dalam obrolan bersama orang-orang tadi. Beberapa menit kemudian ada suara yang memanggilnya dari dalam rumah, sehingga Naira Ayu masuk lagi. Sementara itu Tusnedi Jawir berjalan santai melewati rumah itu, langkahnya menuju samping rumah, di sana terdapat saung kecil dan akses pintu lorong samping.
Ini saat yang tepat untuk menemui Naira Ayu, pikir Tusnedi Jawir. Ia tahu di samping rumah itu ada saung kecil yang bisa dijadikan tempat mengobrol. Tusnedi Jawir menyusul Naira Ayu. Ia mulai melangkah pelan, seolah dia memang bagian dari orang-orang yang tengah menyiapkan panggung pernikahan. Ia akan menunggu Naira Ayu di pintu kecil itu, dan radarnya begitu sangat kuat, jika Naira Ayu pasti akan kembali lagi melewati jalan samping.
Kali ini penerangan di sekitar rumahnya sangat baik. Di sudut-sudut rumah dipasang lampu neon ukuran sedang. Tusnedi Jawir kini sudah berada di samping rumah Naira Ayu dan menunggu, sesekali matanya melihat-lihat panggung dari pintu kecil itu.
“Iya Mah,” suara Naira Ayu terdengar dan langkahnya benar saja menuju samping rumah.
Saat Naira lewat di depannya, Tusnedi Jawir membuka topinya. Beberapa detik Naira Ayu terperanjat. Kaget melihat orang yang dikenalnya ada di depan matanya malam ini.
“Bisa bicara sebentar?” kata Tusnedi Jawir sambil menggenggam tangan kanan Naira Ayu.
Naira Ayu mengangguk masih dengan mata yang tak percaya dengan apa yang dilihatnya malam itu. Dan laki-laki itu berhasil menghentikan langkahnya di samping rumah dan mengajaknya mengobrol. Itu terjadi saat malam mulai larut dan saat sebagian orang rumah sudah tertidur, tapi keramian selalu ada di dekat panggung. Suara musik kasidahan masih terdengar nyaring.
“Ada apa lagi? Malam ini aku menghargaimu sebagai tamu, tak lebih dari itu,” kata Naira Ayu menunduk, tak berani memandang wajah Tusnedi Jawir lebih dalam.
“Aku senang dipelakukan demikian. Ketimbang kau mengusirku dan tak sudi lagi bicara padaku,” Tusnedi Jawir bertele-tele.
“Baiknya langsung pada inti persoalan. Aku mesti menemui Mama.”
“Ya, aku mengerti. Tapi..”
“Tapi, jangan kau tanyakan soal masa lalu. Dan jangan kau bertanya soal pilihanku sekarang. Aku tidak berminat menjawab pertanyaan itu.”
“Tapi aku membutuhkan jawabannya. Paling tidak itu bisa membuatku tak lagi mengharap, apa yang seharusnya bukan lagi menjadi harapan.”
“Kau sudah tahu jawabannya. Carilah dalam hatimu,” sekarang Naira Ayu menatap wajah Tusnedi Jawir, dan jari telunjuknya menyentuh dada Tusnedi Jawir.
Saat tangan Naira Ayu menyentuh dadanya, detik itu juga ada gemuruh yang dirasakan Tusnedi Jawir, seketika menjalar ke seluruh aliran darahnya.
“Aku ingin mendengarnya langsung darimu.”
“Sudah kubilang aku sibuk malam ini. Tolong jangan buat air mataku tumpah, sehingga aku harus menanggung malu, karena nanti banyak pertanyaan dari orang-orang.”
“Aku masih sayang kamu.”
“Simpan itu untuk yang lain.”
“Aku ingin mengatakan kau pasti akan menyesal tidak memilihku. Tapi itu tidak mau aku utarakan.”
“Semoga kau bahagia dengan yang lain. Aku pamit!” kata Naira Ayu meninggalkan Tusnedi Jawir sendirian. Namun pada lima langkah pertama, ia berhenti. “Aku tak ingin membencimu. Aku rasa kau harus pulang lebih cepat, sebab waktu sudah semakin larut. Selamat malam!” Naira Ayu pergi begitu saja.
Tusnedi Jawir tak bisa berkata-kata lagi. Ia juga tak bisa menahan Naira Ayu untuk tidak pergi.
Ia yakin pertemuan itu adalah nyata. Bukan sekadar mimpi. Ia yang berani ada di rumah kediaman gadisnya yang sebentar lagi akan disunting Badri Mubarok. Tapi tak ada yang bisa memastikan apakah pertemuan tadi benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, atau hanya ada dalam mimpinya. Tetapi Tusnedi Jawir merasa yakin, ia benar-benar telah menemui Naira Ayu malam itu.
_
Tubuh Tusnedi Jawir bagai tak ada tulang. Ia tak bisa menopang tubuhnya untuk sekadar berdiri. Setiap kali ia hendak berdiri, seketika ia ambruk lagi. Saat mencoba bangun, ia jatuh lagi. Bir dalam botol itu masih ia genggam. Masih ada sisa sedikit, sebelum kemudian ia tenggak habis seketika. Itu botol yang ketiga yang sudah dihabiskannya. Ia minum air api itu setelah bangun dari tidurnya dan bermimpi menemui Naira Ayu semalam, sebelum pernikahannya berlangsung dengan Badri Mubarok. “Aku yakin, pertemuan dengan Naira tadi bukan sebatas mimpi,” gumam Tusnedi Jawir. Matanya terlihat makin memerah.
Ia menghabiskan malam di alun-alun kota yang ramai, namun terasa sepi dalam hatinya. Orang-orang yang lewat di depannya tak menghiraukan keberadaan Tusnedi Jawir. Mungkin mereka menganggapnya seperti gelandangan tak berguna, yang banyak terdapat di alun-alun.
Menit berikutnya, ada sepasang muda-mudi lewat di depannya sambil tertawa kecil. Tusnedi Jawir melihatnya. Mereka seolah menertawakan Tusnedi Jawir dan sengaja membuatnya semakin menderita dengan memamerkan kemesraan mereka di depan Tusnedi Jawir.
“Aku tak mungkin mencintai perempuan cungkring sepertimu. Naira Ayu lebih menggoda dari kau!” teriak Tusnedi Jawir, dan dengan sengaja pernyataan itu ditujukan kepada perempuan yang lewat tadi. Si lelaki mendengar ucapan Tusnedi Jawir, dan ia tak terima perempuannya disebut cungkring, meski itu benar adanya. Sejurus kemudian bogem mentah bersarang di wajah Tusnedi Jawir. Ya, laki-laki itu menghadiahkan pukulan keras di wajah dan sebuah tendangan di perut Tusnedi Jawir.
“Jaga mulutmu kalau bicara!” kata si lelaki seraya berlalu begitu saja dan kembali menggandeng mesra lengan pacarnya.
Tusnedi Jawir mencoba bangkit, namun ia merasa tak mampu mengangkat tubuhnya lebih tegak berdiri, walau satu jengkal. Tubuhnya seperti tersedot oleh bumi.
“Aku berani jamin, kalian adalah pasangan yang tak akan bahagia di akhir cerita nanti,” Tusnedi Jawir mendoakan yang tidak baik kepada mereka.
“Sepertinya kau lelaki yang tak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang gadis,” kata perempuan cungkring tadi tanpa menoleh ke belakang, kemudian ia membuang ludah entah ke mana, tapi jelas ditujukan kepada Tusnedi Jawir yang masih tergeletak di tanah.
Mendengar perkataan perempuan cungkring tadi Tusnedi Jawir tertawa pelan. Ia terus menenggak botol minuman itu meski sudah habis. Selanjutnya ia terkapar di taman alun-alun.
Siang hari, Tusnedi Jawir dibangunkan oleh seekor anjing kampung yang menjilati wajahnya. Saat terbangun, Tusnedi Jawir bukan melihat anjing, melainkan itu adalah Naira Ayu yang tengah membangunkannya.
“Bangun sayang, sekarang sudah siang,” kata Naira Ayu pelan, penuh manja.
Tusnedi Jawir tersenyum simpul. Seketika berprasangka baik pada Tuhan, jika hari ini Tuhan benar-benar telah menjawab doanya. Doa sederhananya: ingin dipertemukan dengan Naira Ayu.
Si anjing lantas menyalak tiga kali. Dan itu membuat Tusnedi Jawir tersadarkan diri dari lamunannya. Ia buru-buru menghidari moncong anjing itu, yang terus saja menjilati wajahnya.
“Dasar anjing budug!” Tusnedi Jawir melempari anjing itu dengan botol bekas bir.
_
Sejak hati dan perasaannya hancur, kehidupan Tusnedi Jawir makin tak jelas. Kadang dinas sosial kota sering menangkapnya karena dianggap sebagai gelandangan yang menyedihkan, untuk beberapa hari kemudian Tusnedi Jawir kemudian dilepaskan. Suatu waktu Tusnedi Jawir menemukan Wa Nijah, perempuan tua yang baik hati yang menawarinya untuk menjajakan roti isi hasil bikinannya. Orang-orang menyebutnya roti jablay. Perihal nama roti jablay ini berawal dari sebutan orang latah saja. Mungkin dikarenakan bentuk rotinya yang menggelembung besar, enak dan harganya murah-meriah, hanya seribu rupiah. Roti ini isinya bermacam-macam, ada isi kacang hijau, cokelat dan kelapa.
“Kau jual roti jablay itu sebanyak mungkin. Untungnya nanti bisa kau tabung untuk melamar gadis lain yang lebih cantik dari Naira Ayu,” kata Wa Nijah dari dapur, usai mengangkat roti jablay terakhir dari penggorengan. Wa Nijah lantas meletakkan roti itu di dekat Tusnedi Jawir yang tengah mengemasi roti dalam plastik bening.
“Tak ada yang lebih cantik dari Naira Ayu, Wa,” kata Tusnedi Jawir sambil menyusun roti-roti isi yang sudah dingin itu ke dalam keranjang putih ukuran sedang.
“Dulu juga semua lelaki bilang demikian waktu Uwa masih muda. Kadang cinta memang membutakan mata lelaki,” Wak Nijah ikut membantu Tusnedi Jawir menyusun roti.
“Wah, berarti dulu Wa Nijah kembang desa?”
“Kembang desa yang indah, tapi juga berduri.”
“Aku rasa almarhum suami Wa Nijah sangat tangguh.”
“Dia membabat semak belukar dan berani membuat jalan pintas, yang tidak pernah dibuat orang dan dilalui banyak orang sebelumnya, sehingga dia menemukan kembang itu, menemukan Uwa.”
“Kalau jalanku sudah dikelilingi tembok beton, Wa. Jika saja masih hutan belantara, akan aku tebas semak belukar dan membikin jalan baru.”
“Untuk membabat semua itu, kau butuh bekal serta nyali yang besar.”
Tusnedi Jawir hanya mengangguk, tahu ke mana arah pembicaraan Wa Nijah.
“Jika kau punya banyak uang, kau bisa memetik kembang desa sesukamu. Semaumu.”
“Aku hanya ingin memetik satu tangkai kembang Wa. Tidak lebih.”
“Bersiaplah untuk menerima durinya. Yang lebih tajam tentu saja.”
Tusnedi Jawir merenung sejenak.
“Percayalah masih banyak perempuan yang disediakan Tuhan di bumi ini. Lupakan Naira Ayu dan carilah perempuan lain, jika kau ingin bahagia. Dan satu lagi, lupakan semua sakit hati yang ada dalam dirimu,” Wa Nijah menunjuk dada Tusnedi Jawir dengan telunjuk kanannya.
“Terima kasih atas nasehatnya, Wa,” kata Tusnedi Jawir.
Namun Wa Nijah bisa menebak, orang seperti Tusnedi Jawir tak mungkin bisa dengan mudah melupakan masa lalunya, terlebih terhadap Naira Ayu.
_
Sekali waktu Tusnedi Jawir pernah membeli silet tajam seharga Rp.500 perak di warung depan kosan. Tentu si penjual silet tak tahu jika benda kecil tajam itu akan digunakan Tusnedi Jawir untuk percobaan bunuh diri.
Jika saja si penjual silet tahu benda tajam itu akan disalahgunakan, ia tak bakal mengijinkan Tusnedi Jawir membelinya. Ia pikir silet itu dibeli hanya untuk mencukur rambut atau membersihkan kuku jarinya. Tapi ia salah, justru silet itu Tusnedi Jawir gunakan untuk menulis besar-besar nama Naira Ayu di kedua lengan kirinya, sehingga darah mengucur deras ke lantai. Tusnedi Jawir sempat pingsan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh tetangganya.
Melihat kondisi Tusnedi Jawir, orang-orang sekitarnya jadi iba. Saat di rumah sakit, mereka menyelipkan amplop berisi uang. Untunglah nyawa Tusnedi Jawir masih tertolong. Berita percobaan bunuh diri ini pernah masuk koran lokal dan televisi, tapi Naira Ayu tak pernah tahu ihwal berita itu.
Saat Tusnedi Jawir mulai baikan, beberapa warga memberinya nasihat, motivasi hidup serta uang. Mereka takut, ketika seseorang tengah mengalami depresi berat, akan menjadi seorang gila yang mengamuk di rumah-rumah warga. Dan itu pasti akan lebih merepotkan mereka. Salah satu orang yang memberi nasihat kepada Tusnedi Jawir adalah Kiai Ripan, sesepuh kampung yang terpanggil untuk ikut menjenguk Tusnedi Jawir.
“Kau mesti bersabar bocah. Sebab orang yang sabar akan disayang Tuhan. Termasuk juga sabar menghadapi cobaan asmara,” kata Kiai Ripan, yang sebelumnya sudah tahu perihal percobaan bunuh diri yang dilakukan Tusnedi Jawir gara-gara ditinggal kekasihnya. Kiai Ripan tahu semua cerita itu dari gosip-gosip tetangga.
“Saat masih muda, apakah Pak Kiai pernah berpacaran dan ditinggal kekasih?” tanya Tusnedi Jawir dengan pelan. Selang infus masih menempel di lengannya.
Kiai Ripan menelan ludah.
Orang-orang yang masih menunggu Tusnedi Jawir seketika memandang Pak Kiai. Kiai Ripan balik memandang mereka dengan mata yang dilebarkan. Mereka jadi salah tingkah dan pura-pura sibuk dengan ponselnya masing-masing.