BADRI MUBAROK tiba-tiba menyerang Tusnedi Jawir dengan bogem mentahnya saat ia tengah mengobrol dengan Naira Ayu di beranda rumah mereka. Terjadi perkelahian di sana yang tak bisa dicegah Naira Ayu.
Bibir Tusnedi Jawir robek, dan hidungnya keluar darah. Sementara pelipis kiri Badri Mubarok biru lebam. Pertarungan yang mendadak dan singkat itu belum sepenuhnya selesai, lantaran kedua orangtua Naira Ayu melerai mereka dan mengintrogasinya.
Mereka berdua mendapat tamparan keras dari Ayah Naira Ayu. Dan menyuruh mereka pergi secepatnya. Sebelum mereka berdua benar-benar pergi, Mama berpesan pada Tusnedi Jawir untuk menjauhi Naira Ayu. Sebab dalam waktu dekat Naira Ayu akan menikah dengan Badri Mubarok. Tapi Tusnedi Jawir mengingatkan Mama lagi bahwa ia orang pertama yang pernah meminta Naira Ayu untuk dijadikan isterinya, meski saat itu Tusnedi Jawir belum mempunyai pekerjaan tetap.
“Sebelumnya Mama minta maaf kepada Nak Tusnedi, karena ini sudah menjadi keputusan keluarga. Semoga Nak Tusnedi bisa menerima,” kata Mama kepada Tusnedi Jawir, matanya terlihat berkaca-kaca.
Tusnedi kecewa dengan sikap Mama yang lebih memilih Badri Mubarok. “Tapi kenapa Mama baru bilang sekarang? Dan tak melibatkan aku dalam urusan ini?”
“Mama minta maaf. Ini demi kebaikan bersama,” kata Mama yang langsung memilih masuk ke dalam rumah.
“Sekarang sudah jelas kan. Kini Naira Ayu sudah menjadi calon isteriku,” Badri Mubarok merasa di atas langit dan kembali angkat suara, meski Naira Ayu sudah melarangnya untuk bicara lebih banyak lagi.
“Sekali lagi aku minta maaf. Sebaiknya kamu pulang,” Naira Ayu hanya bisa bersedih dan mengajak Badri Mubarok untuk masuk ke dalam rumah.
“Sekarang kamu sudah tidak ada urusan lagi di sini! Sebaiknya lekas pergi dan jangan pernah mencoba datang lagi ke rumah ini!” Badri Mubarok memperingatkan.
“Sudah-sudah. Masuk!” Naira Ayu menyeret Badri masuk dan meninggalkan Tusnedi Jawir begitu saja seorang diri.
Tusnedi Jawir masih mematung untuk beberapa menit. Hingga menyaksikan pintu itu ditutup rapat oleh Naira Ayu, dan tak ada suara terdengar dari dalam. Ia masih tak percaya dengan pernyataan Mama tadi. Kejadian barusan seperti mimpi buruk baginya. Ia masih tak percaya dengan semua itu, bahwa Naira Ayu, kekasihnya akan menikah dengan orang lain. Ia tak menyangka bisa terjadi seperti ini. Naira Ayu jelas sudah mengusirnya, hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Bayangan-bayangan masa lalu berkelebat datang dalam pikiran Tusnedi Jawir. Ia masih ingat, Naira Ayu akan selalu memintanya datang ke rumahnya di malam Minggu atau hari-hari lain, ketika dirinya ingin ditemani oleh Tusnedi Jawir. Dan sikap ramah Mama yang selalu membukakan pintu rumahnya lebar-lebar untuknya.
Ia mengenang masa-masa indahnya dulu dengan Naira Ayu.
_
Naira Ayu menantangnya untuk datang ke rumah malam itu juga. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Aku rindu, begitu katanya lewat sambungan ponsel. Tapi aku rasa ini tak mungkin, sebab malam sudah mulai larut dan di luar gerimis tak mau reda, katanya kemudian. Tapi tak ada yang tak mungkin, aku akan segera menuju rumahmu, meski harus menerobos tirai gerimis dan menempuh perjalanan pajang dan melelahkan, begitu kata Tusnedi Jawir mengambil keputusan.
“Jika kau nekat ke rumah sekarang, aku kira kau akan sampai tepat tengah malam dan kedinginan.”
“Tak jadi soal, asal pintu rumahmu masih tetap terbuka, dan kau sudi menyediakan teh hangat untukku.”
“Baiklah, aku akan menyeduhkan teh hangat buatmu. Aku mulai bosan di sini, sebab tak ada orang di rumah.”
“Aku segera datang dan menemanimu.”
“Hati-hati di jalan. Kabari jika sudah sampai gerbang rumah.”
Telepon diputus.
_
Benar saja, malam itu Tusnedi Jawir datang ke rumah Naira Ayu dengan sebagian bajunya basah kuyup. Sepertinya jas hujanku mulai robek, kata Tusnedi Jawir ketika Naira Ayu menyuruhnya untuk lekas masuk dan mengganti bajunya dengan baju yang kering. Untuk hal ini Naira Ayu selalu mengingatkan Tusnedi Jawir, jika berpergian jauh, apalagi saat musim hujan, harus membawa baju ganti dalam tas.
Sebelum Tusnedi Jawir pergi ke kamar mandi, Naira Ayu sudah menyodorkan teh hangat buatannya. Minumlah, barangkali bisa sedikit menghangatkan tubuhmu, kata Naira Ayu. Tusnedi Jawir menerimanya dan menyeruput sedikit demi sedikit. Hangat dan manis, terima kasih sayang, kata Tusnedi Jawir kemudian. Naira Ayu tersipu malu dan buru-buru menghadiahinya sebuah kecupan di pipi.
“Segera ganti baju, dan aku akan setia menunggumu di ruang tamu,” bisiknya.
Tusnedi Jawir tersenyum.
Beberapa menit kemudian Tusnedi Jawir sudah keluar dari kamar mandi dan mengenakan baju dan celana salinan. Tanpa ditanya, Naira Ayu segera menceritakan kepada Tusnedi Jawir bahwa kedua orangtuanya sedang pergi ke salah satu rumah saudaranya di Jakarta, dalam rangka memenuhi undangan pernikahan. Dan baru pulang mungkin sore hari atau menjelang magrib keesokan harinya.
“Itulah mengapa aku memintamu datang malam-malam begini.”
“Semoga aku tidak dilaporkan kepada Rt setempat, karena tidak izin bertamu hingga larut malam.”
“Kebetulan Ayahku ketua Rt. Dan kau aman di sini bersama anaknya.”
Di luar, gerimis masih saja turun. Tidak ada tanda-tanda akan cepat reda dalam waktu satu dua jam ke depan. Malam semakin pekat, tak ada satu pun bintang yang bersinar di langit. Sesekali terdengar suara katak dari beranda rumah yang ditumbuhi banyak pepohonan hias.
Di ruang tamu, hanya ada Tusnedi Jawir dan Naira Ayu. Selain secangkir teh hangat, Naira Ayu juga sudah menyiapkan beberapa toples makanan ringan. Tubuh mereka semakin merapat di tengah malam yang cukup dingin dan syahdu.
Aku rasa ada yang butuh kehangatan, selain dari secangkir teh ini, begitu mata Naira Ayu bicara kepada Tusnedi Jawir. Mata itu masih saja memandangi Tusnedi Jawir dengan penuh cinta.
Aku rasa kau lebih tahu kebutuhanku saat ini, kali ini mata Tusnedi Jawir menjawabnya. Matanya berkedip pelan, bibirnya tersenyum genit. Mereka saling pandang. Hidung mereka nyaris bersentuhan. Mereka sama-sama saling mengaggumi satu sama lain, dan menumpahkan semua rindu lewat sorot mata. Sebelum kemudian dengan tiba-tiba rumah itu jadi gelap gulita.
“Aku rasa ini mati listrik,” Tusnedi Jawir masih memandang Naira Ayu yang tak terlihat, tapi ia masih bisa merasakan hembusan napasnya.
“Akhir-akhir ini memang sering terjadi pemadaman listrik di sini, dan tak menentu kapan akan terang kembali.”
“Apa kau membutuhkan cahaya?”
“Aku rasa tidak perlu.”
Seketika suasana jadi terasa makin syahdu.
_
Ia tahu belakangan bahwa Badri Mubarok terlahir dari keluarga kaya, sementara dirinya dari keluarga miskin dan tak jelas. Sejak kecil Tusnedi Jawir dirawat dan dibesarkan oleh Wa Ompong, ibunda Nur Maryamah. Sebab Nur Maryamah lama menjadi TKW di Taiwan dan belasan tahun tak pulang ke rumah, ketika sekali waktu mengetahui semua uang yang dikirimnya dari Taiwan tak pernah sampai pada anaknya Tusnedi Jawir dan Wa Ompong, selaku ibunya. Semua uang hasil kerja keras Nur Maryamah ditilap Hakiman Hasin, yang tergoda janda bohai Jainab Ambiya.
Perihal Hasin, suatu hari Tusnedi Jawir pernah menghajar Ayahnya sendiri lantaran marah ketika tahu puluhan juta uang dari hasil jerih payah ibunya di Taiwan habis dipakai Hasin untuk berjudi dan meniduri banyak perempuan. Tusnedi Jawir hanya berhasil mengambil uang itu kurang dari satu juta. Sejak kejadian itu, Hasin tak pernah muncul lagi ke rumah. Seperti hilang ditelan bumi. Begitu juga dengan Nur Maryamah. Saat Nur Maryamah pulang ke Indonesia pada akhir tahun, tidak sampai satu bulan, Nur Maryamah tiba-tiba menghilang tanpa pesan, entah ke mana. Tak ada yang tahu perihal keberadaannya.
“Mungkin ibumu pergi ke Taiwan lagi dan menikah dengan orang pribumi di sana. Atau mungkin ibumu tengah mencari Ayahmu untuk membunuhnya kemudian pergi ke Gunung Gede, ke kampung halamannya,” kata Wa Ompong suatu hari saat Tusnedi Jawir merindukan ibunya.
Lebaran tahun berikutnya Tusnedi Jawir pernah mencoba pergi ke kampung halaman ibunya di Gunung Gede. Tapi ia tak mendapati orang tuanya. Bahkan warga sekitar tak pernah melihat Nur Maryamah sejak bertahaun-tahun silam.
“Kami tak pernah melihat batang hibung ibumu. Sosok perempuan yang mirip dengan ibumu pun, kami tidak melihatnya di sini,” kata salah satu tetangga yang rumahnya berhadapan dengan rumah orangtua Nur Maryamah.
“Bahkan hingga ada anggota keluarganya yang meninggal pun, Nur Maryamah tak pernah datang atau sekadar mengirimi kabar,” tetangga yang lain menimpali.
Dan Tusnedi Jawir harus pulang dengan membawa kesedihan. Niatnya ingin membawa ibunya pulang tak kesampaian, atau paling tidak bisa berfoto bersama ibunya, sebagai bukti ibunya masih hidup dan ia paling tidak bisa berbakti kepadanya.
Wa Ompong kembali menasehati Tusnedi Jawir saat pulang dari pengembaraannya mencari ibunya yang hilang. “Kemungkinan yang lain, ibumu sudah meninggal. Dan sebelum meninggal, sudah menyiapkan lubang kubur bagi dirinya sendiri, serta sebuah nisan tanpa nama, sehingga tidak banyak orang yang tahu itu makan ibumu.”
Tusnedi Jawir berpikir, jika demikian adanya, dia akan mencari nisan tak bernama di makam Dadap Idul. “Atau mungkin aku akan menggali makam itu, untuk memastikan jika di dalam lubang itu memang benar jenazah ibu.”
_
Terakhir kali ia bertemu Ayahnya di tempat billiard, saat Tusnedi Jawir ada di salah satu kota, ketika masa pengembaraannya dimulai. Ketika rasa sakit hatinya terhadap cinta Naira Ayu membara, cinta yang kandas di tengah jalan. Di tempat billiard itu Tusnedi Jawir melihat ayahnya tengah lengket di bahu perempuan cantik yang kelak ia akan tahu, perempuan itu bernama Jainab Ambiya. Tapi Tusnedi Jawir tak begitu yakin apakah itu Ayahnya atau bukan, lantaran ia dalam keadaan setengah mabuk. Ketika ia mulai mendekatinya, ia baru yakin itu adalah Ayahnya. Tanpa ampun ia kembali menghajarnya bertubi-tubi, meski pada akhirnya ia yang babak belur kena bogem mentah Ayahnya dan juga kawan-kawan Ayahnya yang membantu.
“Dasar anak kurang ajar! Tak tahu berbakti kepada orangtua sendiri. Tahu begini, sejak kecil sudah saya buang ke sungai gede!” kata Hasin marah. Sementara Jainab Ambiya terus saja menahan Hasin agar tidak lagi memukul Tusnedi Jawir yang mulai tak bertenaga.
Sebelum Tusnedi Jawir ditendang Hasin, kawan-kawan Hasin melemparkan Tusnedi Jawir ke luar pintu tempat billiard, seperti membuang bangkai anak tikus yang menjijikan. Tusnedi Jawir tersungkur dan wajahnya mencium aspal.
Di luar ternyata sedang turun gerimis. Meski agak lemas, Tusnedi Jawir merasa segar karena terkena tetesan air hujan. Ia perlahan bangkit dan mulai merasakan nyeri di banyak bagian tubuhnya, terutama wajahnya.
Tiba-tiba ia mendoakan ayahnya mati disambar petir. Ia pernah mendengar, bahwa saat hujan turun merupakan satu waktu yang tepat untuk memanjatkan doa yang akan segera dikabulkan Tuhan. Dan ia lekas berdoa untuk tidak dipertemukan lagi dengan Ayahnya.
Pada hari berikutnya, jika ada yang bertanya tentang keberadaan Ayahnya, dia selalu mengaku pada orang-orang bahwa Ayahnya sudah meninggal disambar petir. Sekali waktu mengaku Ayahnya mati dikeroyok massa, lantaran ketahuan menjambet dompet ibu-ibu di pasar. Ia sangat berharap doanya segera dikabulkan Tuhan. Selang beberapa menit kemudian tak ada tanda-tanda petir akan turun dan menyambar ayahnya. Ia lantas tak lagi peduli dengan doanya.
_