Tusnedi Jawir

Sobirin
Chapter #7

Chapter #7

NAIRA AYU mendatangi tempat tinggal Tusedi Jawir. Ia meminta Tusnedi Jawir untuk menjauhi Rosdiana Ayu. Naira Ayu mengancam akan melakukan apa saja jika ia masih mendekati putri kesayangannya. Serta akan berjuang sampai kapan pun demi memisahkan mereka.

“Mengapa kau senang memisahkan orang yang sedang bersatu? Apa kau ingin kembali kepadaku dan menikah dengaku?” goda Tusnedi Jawir.

Tapi di mata Naira Ayu itu bukan godaan, lebih tepat sebagai pernyataan serius Tusnedi Jawir yang ternyata masih menginginkannya kembali. Yang masih mencintainya entah sampai kapan. Tapi Naira Ayu tak menanggapi pertanyaan Tusnedi Jawir tadi. Ia mencoba mengalihkan pada pembicaraan lain. Naira Ayu kembali mengingatkan Tusnedi Jawir, jika ia masih mendekati anaknya, bahaya akan selalu mengancamnya, bahkan mungkin kematian yang tragis.

“Kadang antara cinta dan kematian sangat tipis jaraknya.”

“Selain aku yang akan membuat perhitungan, mungkin Badri juga akan melubagi kepalamu dengan peluru senapan anginnya.”

“Aku tidak takut! Justru aku lebih takut kehilangan cinta untuk yang kedua kalinya.”

“Dasar keras kepala! Kau mulai sinting rupanya!” Naira Ayu menghardik dan pergi. Ia jadi benci dengan sikap Tusnedi Jawir yang susah untuk diberitahu dan diberi peringatan. Meski Naira Ayu tahu, jika sudah urusan cinta, Tusnedi Jawir tak pernah mundur. Dia selalu memperjuangkannya dengan caranya sendiri, Naira Ayu sedikit banyak mengenal wataknya.

_

 

Ia mengajak Naira Ayu makan di alu-alun kota, tepatnya di pinggir sungai. Banyak café-café kecil yang menjual makanan dan minuman seperti, jus, kopi, nasi goreng dan sejenisnya. Orang-orang sekitar menyulap pinggiran sungai itu menjadi tempat makan yang indah dan romantis. Penuh dengan lampu-lampu kecil menyala di sepanjang jalan dan sebuah lilin dalam gelas kecil yang ditaruh di atas meja makan, sungguh membuat malam semakin syahdu.

“Ini hari ulangtahunku. Dan malam kita. Pesan saja sesukamu. Aku yang traktir,” kata Tusnedi Jawir sambil menyodorkan daftar menu kepada Naira Ayu.

“Aku tahu. Dan aku ingin es krim coklat, lengkap dengan buah strawberry,” pinta Naira Ayu.

“Aku sudah bisa menebaknya.”

“Kau seperti peramal saja.”

“Bahkan aku bisa meramal masa depan kita akan bahagia.”

“Semoga saja. Tapi jangan mendahului kehendak Tuhan. Kita belum tahu apa rencana-Nya nanti. Terutama terhadap hubungan kita selanjutnya.”

Tusnedi Jawir tak memperdulikan hal itu. Ia lantas memanggil pelayan café. Sementara ia sendiri memesan secangkir moccacino dingin dan kentang goreng.  

“Aku menyayangimu sebagai lelaki impianku,” kata Naira Ayu kemudian, sambil memegangi kedua tangan Tusnedi Jawir. Ada rasa hangat menjalar ke tubuhnya. Mereka berdua saling berhadapan. Di meja kanan-kirinya belum ada pelanggan yang datang, sehingga tempat itu serasa milik mereka berdua. Tak ada yang menggangu dan menguping pembicaraan mereka. Tapi malam itu tidak ada hal rahasia yang mereka katakan, hanya saling mengungkap kerinduan masing-masing.

Tusnedi Jawir tersenyum kepada gadis manis itu. “Mengapa kau selalu bisa membuatku selalu rindu padamu?” katanya.

Naira Ayu tersipu malu. Pipinya jadi kemerah-merahan. Ia mengatakan hal yang sama. Selalu rindu kepada Tusnedi Jawir. Lantas ia mengucapkan kalimat cinta pada Tusnedi Jawir, dan lekas mencium kening serta bibirnya dengan mesra dan cepat, sebab sejurus kemudian, pelayan datang membawa pesanan mereka. Kedatangan pelayan itu memang sedikit mengusik suasana mereka. Tapi itu kemudian tak jadi soal. Mereka kembali menikmati suasana malam itu dengan ditemani minuman masing-masing.

_

 

Sehabis pulang dari alun-alun, Mama memanggil Naira Ayu. Naira Ayu lantas meminta Tusnedi Jawir untuk menunggunya sejenak di ruang tamu.

Ada apa Ma? Tanya Naira Ayu sambil menuju ruang televisi. Antara ruang tamu dan ruang televisi hanya tersekat almari besar yang berisi pajangan teko keramik. Setelah Naira Ayu mendekat, Mama berbisik dan langsung bilang kalau Papah sudah tahu tentang hubungan mereka. Hal baiknya Papah mengizinkan mereka jika sekadar berteman. Hal buruknya, mereka tidak boleh pacaran. Haya sebatas teman saja.

Mama melanjutnya ceritanya, bahwa Papah sesungguhnya tidak suka dengan Tusnedi Jawir. Alasan Papah, bahwa masa depan Tusnedi Jawir tak jelas.

“Bahkan dengan keluarganya sendiri pun tidak jelas,” kata Mama setengah berbisik.

Lihat selengkapnya