Tusnedi Jawir

Sobirin
Chapter #8

Chapter #8

TUSNEDIA JAWIR jadi sering luntang-lantung tak tentu arah. Kadang berjalan kaki dari rumahnya hingga alun-alun, lantas tak lama balik lagi. Atau beberapa malam ia tidur sembarangan di alun-alun: kadang di taman, pendopo atau belakang toilet umum. Lain hari ia mengitari stadion kota sambil memungut puntung rorok jika ia menemukan, lantas menyulutnya dengan mencari korek api pada orang-orang yang lewat. Ia hidup makin melunta-lunta. Ia mulai menjadi gelandangan, kata orang-orang. Karena suka mencari makan dari tong sampah atau meminta paksa dari tukang nasi uduk di sekitar stadion. Makan dari tong sampah atau dari warung nasi, pikir Tusnedi Jawir itu sama saja, apa yang dimakannya akan keluar lagi menjadi ampas dengan bau yang tak sedap. Makanan enak, ujung-ujungnya akan kembali menjadi sampah juga, pikirnya lagi. Justru yang perlu dipertanyakan adalah makan enak, tapi hasil dari korupsi uang rakyat. Jika begitu, itu tak ubahnya mereka makan nasi basi dari tong sampah, begitu kadang ia berpikir sekali waktu sambil diselingi tawa seorang diri, sering kali mentertawakan orang lain, ketika ia melihat orang yang sedang makan sambil berjalan.

_

 

Tak jauh dari alun-alun, ia menemukan Kelopak Mayang, perempuan gila yang mengaku berasal dari Desa Cigondang. Pertemuanannya dimulai ketika segerombolan anak-anak kecil mengerubungi Kelopak Mayang sambil melemparinya dengan kulit rambutan dan juga batu kerikil. Tusnedi Jawir mengusir anak-anak itu dengan mengejar mererka. Setelah anak-anak itu kabur entah ke mana, ia kemudian mengajak Kelopak Mayang istirahat di belakang toilet umum alun-alun yang terlindung pohon beringin tua. Tempat itu tak banyak orang yang tahu sebagai tempat tidur Tusnedi Jawir, dan yang lebih penting tak banyak pengunjung sudi untuk duduk-duduk di belakang toilet umum yang jorok dan bau itu. Tapi bagi Tusnedi itu merupakan tempat yang paling aman dan nyaman dari gangguan siapa pun.

Tusnedi Jawir membuka percakapan setelah keduanya saling duduk berhadapan, dan bertanya hendak ke mana Kelopak Mayang pergi. Yang ditanya hanya menggeleng, lalu tak lama menunjuk arah timur. Setelah Tusnedi Jawir tahu Kelopak Mayang tak punya tempat tidur tetap, ia mempersilahkan Kelopak Mayang untuk tidur di tempatnya. Dengan menambahkan, bahwa dirinya akan merasa bahagia bila ada yang menemani.

Kelopak Mayang mengaku takut dan tak mau diperkosa untuk yang kesekian kalinya. Namun Tusnedi Jawir berjanji ia tak bakal menyentuhnya. Sebab ia masih mencintai pacarnya, Naira Ayu. Kelopak Mayang percaya itu dan ia yakin Tusnedi Jawir adalah lelaki baik, sehingga hampir setegah hari itu Kelopak Mayang berani menceritakan kisah masa lalunya yang menyedihkan kepada Tusnedi Jawir.

“Aku rasa tak ada kisah paling menyedihkan di dunia ini, selain kisah hidupku,” kata Kelopak Mayang sambil meminta Tusnedi Jawir merahasiakan kisah hidupnya pada siapa pun, termasuk kepada kekasih pujaan hatinya.

Tusnedi Jawir mengangguk.

Kelopak Mayang melanjutkan ceritanya. Aku begini karena laki-laki itu, katanya. Dia melanjutkan, yang pada akhirnya menjadi suamiku. Namanya Ucil Ireng. Aku berpacaran dengannya selama satu tahun dan ia berhasil merayuku dan menjebol pertahananku hampir setiap malam. Sehingga aku bunting dibuatnya. Awalnya ia tak mau mengakui, bahwa jabang bayi yang ada di dalam rahimku adalah anaknya. Orang tuaku mengerahkan pemuda kampung dan akhirnya menangkap paksa Ucil Ireng, dan malam itu juga aku dinikahkan langsung. Saat anakku lahir, Ucil Ireng mengajakku tinggal di rumah baru di komplek dekat kota kelahirannya. Aku menurut. Sejak pindah itu, kelakuan Ucil Ireng makin menjadi. Ia sering membawa perempuan lain ke rumah kecil kami dan tak malu bercinta di depanku. Aku jelas marah dan pada suatu malam, aku membunuh keduanya saat mereka sedang bergumul di atas ranjang. Sesudah membunuh suamiku, aku juga memotong kemaluan Ucil Ireng. Kedua mayat itu lalu aku kubur di belakang rumah. Dan anakku, kemudian aku titipkan pada orangtuaku.

Selama berhari-hari aku sering dihantui rasa bersalah, rasa takut akan hukuman bui, dan juga arwah mereka berdua selalu menghantuiku, seperti ingin menuntut balas dendam dan membuhuhku. Hingga aku lari dari persembunyian di rumah seorang teman, sambil memaki setiap orang yang aku temui, aku berlari tak tentu arah, sebelum dua pemuda mabuk menemukanku suatu malam dan memperkosakau secara bergantian dan brutal, hingga aku terdampar di kota ini. Kelopak Mayang meneteskan air matanya dan menghentikan ceritanya.

Tusnedi Jawir mengaku ikut prihatin. Dan megatakan tak semua lelaki seburuk Ucil Ireng. Kelopak Mayang mengangguk. Lantas dia juga ingin tahu kisah tentang Tusnedi Jawir hingga bisa tinggal di alun-alun ini.   

_

 

Undangan itu sampai padanya. Undangan pernikahan Naira Ayu dan Badri Mubarok, Tusnedi Jawir sudah bisa membacanya dari depan sampulnya. Ia menerimanya dari tukang pos. Bagai ada petir di siang bolong yang menyambar Tusnedi Jawir saat tahu jika Naira Ayu akan melangsungkan pernikahan dengan orang lain. Bukan dengannya. Darahnya seketika bergolak. Ia merasakan dadanya sesak dan agak panas tubuhnya. Kenang-kenangan bersama Naira Ayu seketika berkelebat di benaknya, saat-saat mereka pacaran dan memadu kasih. Tapi kini, itu hanya tinggal kenangan, dan ia tahu, Naira Ayu sekarang jauh dari jangkauannya dan sebentar lagi akan menjadi bini orang.

Tusnedi Jawir jelas tak terima, seharusnya bukan nama Badri Mubarok yang tertera di surat undangan itu, melainkan namanya. Seharusnya Naira Ayu menikah dengannya, bukan dengan orang lain.

Ia berpikir ingin menemui Badri Mubarok dan membunuhnya dengan tangannya sendiri, karena ia telah merebut kekasih hatinya. Atau menculik Naira Ayu untuk beberapa bulan kemudian, dan mengancam kedua orangtuanya agar menikahkan dirinya dengan Naira Ayu. Atau melakukan hal buruk lainnya seperti membakar rumah Badri Mubarok saat penghuni rumah tertidur pulas, sehingga ia bisa membaca berita koran kota keesokkan harinya, tentang seorang lelaki terpanggang api satu hari sebelum pesta pernikahannya.

Seharusnya tak ada yang bisa memisahkan cintaku kepadamu Naira Ayu, begitu hati kecil Tusnedi Jawir berkata. Namun, kenyataannya Tusnedi Jawir masih saja berdiri di depan rumahnya sambil memegangi surat undangan itu. Dan saat ia melihat kenyataannya, ia sadar ia tak bisa melakukan hal konyol itu, baik terhadap Badri Mubarok maupun Naira Ayu.

_

 

Komunikasi antara Tusnedi Jawir dengan Naira Ayu terputus. Ia tak lagi bisa menghubungi Naira Ayu. Ponsel Naira Ayu tak aktif. Terlebih keluarga Naira Ayu selalu menyembunyikan keberadaan Naira Ayu, ketika Tusnedi Jawir mampir ke rumahnya dan menanyakan perihal keberadaan Naira Ayu pada Mama.

“Naira Ayu sedang berlibur ke rumah neneknya di Kota Padang Panjang, dalam waktu yang begitu lama,” kata Mama kepada Tusnedi Jawir di depan pintu. “Sebaiknya Nak Tusnedi tak perlu datang lagi mencari Naira Ayu, karena Mama tidak tahu kapan Naira Ayu akan pulang lagi ke sini.”

“Sepertinya Naira Ayu pernah bercerita jika asal neneknya dari kota sebelah?” tanya Tusnedi Jawir pelan.

“Yang di Padang Panjang itu Nenek dari ayahnya. Mohon maaf, Mama harus pergi karena ada urusan di luar. Kebetulan di rumah tidak ada orang,” kata Mama tak mempersilahkan Tusnedi Jawir masuk.

Tusnedi Jawir heran, tidak seperti biasanya Mama memperlakukan dia begini, pikir Tusnedi Jawir. Karena ia tahu, Mama orang yang paling ramah terhadap tamu, yang ia tahu, termasuk ramah terhadap dirinya ketika Naira Ayu dan Tusnedi Jawir masih pacaran. Mama selalu mempersilahkan Tusnedi Jawir untuk masuk, dan selalu menyediakan pecak bandeng kesukaan Tusnedi Jawir, jika sedang main ke rumah dalam waktu yang lama.

“Dan Mama tahu, pasti kamu haus dan merindukan es durian buatan Mama. Iya, kan? Nanti Mama buatkan, ya. Kebetulan stok durian masih banyak,” kata Mama seperti hari-hari lalu.

“Air putih saja Ma,” biasanya Tusnedi Jawir akan berkata demikian. Tak enak merepotkan Mama. Soal panggilan Mama, itu Mama yang memintanya sekali waktu. Meski Tusnedi Jawir memilih air mineral, tapi Mama selalu membuatkan es durian. Dengan alasan ia tahu udara di luar sedang terik, dan perjalanan Tusnedi Jawir dari rumahnya lumayan jauh. Tapi kali ini sikap Mama berubah drastis.

Maka tak jarang Tusnedi Jawir selalu mendapati Naira Ayu tidak ada di rumah (atau sengaja disembuyikan Mama). Dan ia harus pergi lagi setelah melakukan perjalanan cukup jauh, tanpa bertemu Naira Ayu.

Lain hari Tusnedi Jawir beberapa kali mengetuk pintu rumah itu dan mengucapkan salam, tapi tak ada orang yang menyahut salamnya, meski dari luar, ia tadi mendengar sayup-sayup suara musik mengalun indah.

           “Tadi sih, pas ibu keluar, ibu masih lihat ada Naira Ayu. Tapi entah mungkin sudah keluar lagi, sebab sepuluh menit kemudian itu tidak lagi duduk-duduk di luar,” begitu kata tetangga depan rumah Naira Ayu. Tusnedi Jawir megucapkan terima kasih kepada si pemberi informasi, ia menaksir umur si ibu sudah empat puluh tahun.      

_

 

Jelang H-1 pernikahan Naira Ayu dengan Badri Mubarok, pikiran Tusnedi Jawir makin kacau. Malam itu, dia menenggak bir. Ia berpikir, air api itu adalah teman yang pas di saat seperti itu. Dalam mabuknya, ia memberanikan diri menyambangi rumah Naira Ayu.

Saat sampai di rumah Naira Ayu—ia datang dengan cara mengendap-endap—ia berhasil menarik tangan Naira Ayu ke saung kecil di samping rumahnya, dan memintanya untuk menikahinya dan membatalkan pernikahan dengan Badri Mubarok. Ia berjanji akan membahagiakannya dan membikinkan rumah untuk tempat tinggal mereka berdua di pusat kota.

Tanpa diduganya, Naira Ayu mengangguk. Ia mau diajak Tusnedi Jawir kabur dari rumahnya yang penuh dengan keramaian orang-orang tengah mendekorasi panggung pengantin. Sesekali suara Mama terdengar oleh Tusnedi Jawir. Mama terdengar tengah berbincang dengan suaminya untuk persiapan besok.

“Bawa aku kabur dari tempat ini,” kata Naira Ayu memohon. “Sesugguhnya aku tak mencintai Badri. Aku hanya mencintaimu, Tus. Dan menginginkan yang ada di ranjang pengantin adalah kamu, bukan Badri,” katanya kemudian.

Tusnedi Jawir mengangguk senang. Ia kemudian lekas membawa Naira Ayu pergi dari rumah itu. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia membawa kabur Naira Ayu atas kemauannya sendiri, paling tidak itu tak melanggar hukum, begitu pikir Tusnedi Jawir.   

Tapi nyatanya keinginan Naira Ayu kabur dengan Tusnedi Jawir hanyalah mimpi belaka. Tusnedi Jawir terbangun dari tidurnya, di samping tempatnya tidur masih berserakan botol-botol bekas bir.

_

 

Saat itulah Tusnedi Jawir tak mampu mengontrol dirinya sendiri atas kepergian Naira Ayu. Itu merupakan hari-hari terberat dalam hidupnya. Hingga ia kemudian berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan menikah dengan perempuan lain, selain Naira Ayu.

“Apa kau yakin dengan ucapanmu itu?” kata Ajat Geni, ketika Tusnedi Jawir bercerita kepadanya perihal kepergian Naira Ayu dari kehidupan Tusnedi Jawir karena akan menikah dengan orang lain.

“Seyakin aku percaya tentang keberadan mahkluk halus di muka bumi ini.”

“Aku takut kau akan menjadi bujang lapuk yang menyedihkan,” Aming Brewok ikut menimpali.

Lebih tepat orang yang menyedihkan sekaligus tolol, begitu pikir Yiyi Jangkung hendak mengatakan pada Tusnedi Jawir. Tapi ia mengurungkan niatnya mengatakan hal itu. Orang yang sedang patah hati, pikirnya, sebaiknya diberi motivasi untuk bangkit, bukan malah dibuat makin terpuruk dan disudutkan.

“Semoga Tuhan memberimu umur panjang, sehingga Naira Ayu bisa kau nikahi kemudian hari, meski ia sudah menjadi janda dan tua,” kata Yiyi Jangkung.

Tusnedi Jawir tertawa terbahak.

_

 

Ia berkelana mencari Naira Ayu entah ke mana. Ia berkelana dengan berjalan kaki. Sekali waktu hingga melewati sungai besar dekat kampung. Pada penghujung bulan September, ia sengaja tidur di bak truk yang berisi muatan kardus bekas yang tengah parkir di pom bensin, dan saat ia terbangun (lebih tepatnya dibangunkan sang supir truk, lengkap dengan sirama air), ia sudah sampai di kota lain, yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Dari sana Tusnedi Jawir menyusuri kota itu yang cukup padat dan ramai kendaraan. Ia berpikir itu mungkin Jakarta. Tapi kemudian ia tak yakin kota itu bernama Jakarta.

Malam hari ia mencari tumpangan lagi. Kadang menunggu di pom bensin, atau di terminal. Begitu si sopir truk lengah, ia akan mengendap-endap masuk ke dalam bak truk yang terbuka atau tertutup terpal. Hingga sampai penghujung tahun, ia baru bisa kembali lagi ke kotanya.

Lihat selengkapnya