TEPAT PUKUL 12 malam, Tusnedi Jawir masih duduk di kursi meja kerjanya di depan jendela kamar, persis menghadap ke halaman rumah. Gorden jendela sengaja dibiarkan sedikit terbuka. Sejak tadi leptop di depannya menyala. Kesepuluh jari-jemarinya masih asyik mengetik. Ia tengah merampungkan sebuah cerita tentang Naira Ayu, isteri tercintanya. Beberapa hari ini, Tusnedi Jawir memang jarang keluar rumah, selama itu ia hanya pergi ke ruang makan dan toilet. Sesekali Tusnedi Jawir membawa makan siangnya ke ruang kerja sambil mengetik. Ia memang pernah bilang pada isterinya agar tidak mengganggunya jika sedang mengetik.
“Jangan ganggu dulu ya, sayang. Aku sedang merampungkan sebuah tulisan untukmu,” bisiknya kepada Naira Ayu, pada malam ketiga memasuki usia pernikahan mereka. Tapi Naira Ayu menginginkan Tusnedi Jawir ada di atas tempat tidur.
Tusnedi Jawir hanya mengecup kening Naira Ayu dengan mesra.
“Baiklah sayang, malam ini aku menemanimu dari sini, ya,” bisiknya kemudian. Naira Ayu hanya tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Kalau sudah rampung, aku masih menantimu di situ,” Naira Ayu melirik tempat tidur.
“Iya sayang. Aku pasti segera menyusul.”
Naira Ayu melangkah ke tempat tidur setelah meletakkan segelas susu coklat panas dan kue kering satu kesukaan Tusnedi Jawir. “Jangan lupa diminum susu coklatnya. Nanti keburu dingin,” katanya mengingatkan.