TUTWURIMAN

Akhmad Rifaldi
Chapter #2

Sewangi Aroma Kasturi #2

Tahun 1989 - Kotabaru

Malam beranjak semakin temaram, suara jangkrik menembus disuasana gelap berkabut. Kibas sayap kelelawar menyeruak disela-sela dedaunan, beberapa buah jambu air berjatuhan terlepas dari tangkainya, jambu yang tidak utuh bekas gigitan kelelawar berserakan di tanah.

Tubuh kurus kecilku agak menggigil dari hawa malam dan kumemeluk lututku mengurangi rasa kedinginanku, berebah di kursi kayu di bawah pohon buah Sirsak. Suara tepukan telapak tanganku memukul-pukul tubuhku mengusir nyamuk-nyamuk yang haus darah. Kulirik jam dinding disela pintu rumah pamanku, waktu telah menunjukkan pukul 10 malam. Waktu belum berakhir, pikirku.

Hampir setiap malam, aku menunggu Ibuku berjualan Gado-gado dan pecel di warung depan rumah paman Amat. Paman Amat adalah adik ipar dari ayahku. Biasanya warung akan ditutup sekitar jam 11 tengah malam. Warung kecil terbuat dari kayu dan beratapkan seng aluminium, disimpang tiga jalan Veteran dan jalan Biduri, di bawah pohon buah belimbing, di dalam pagar Komplek rumah Kakek Haji Ramlie, kakek tiri dari jalur keturunan Ayahku.

Sekarang ini tahun 1989, aku duduk dibangku kelas 3, SMP Negeri 5 Kotabaru di Kalimantan Selatan. Kotabaru terletak di sebuah pulau yang bernama Pulau Laut, terpisah dengan Pulau Kalimantan. Pulau yang terkenal dengan segarnya ikan-ikan tangkapan nelayan yang tinggal di wilayah Rampa, di sana banyak tinggal orang-orang pinggiran yang hidup sebagai nelayan.

Selanjutnya suku ini kami sebut suku Bajau sebutan turun temurun, menurut dialek bahasa daerahku. Mereka ini merupakan suku yang hidup dan kehidupannya tak bisa dipisahkan dengan laut. Segala aktivitas mereka berhubungan dengan air laut. Mereka membangun rumah tempat tinggal di atas permukaan laut, tepatnya di pinggiran laut, berdiri di atas air yang dibangun bertiang tinggi dengan konstruksi kayu yang biasa disebut rumah panggung.

Tentang Ibuku, Ibu seorang pedagang kuliner gado-gado dengan warung kecil, Ibu lahir di Pulau Sebuku, Pulau yang tidak jauh dari Pulau Laut. Masyarakat kepulauan itu berkomunikasi menggunakan bahasa Banjar dengan logat tersendiri. Ibu adalah seorang pekerja keras untuk membantu kehidupan sehari-hari selain penghasilan Ayahku sebagai Tukang Jahit di Pasar Atom Kotabaru, aku tidak mengerti mengapa pasar itu disebut pasar Atom, tempat berkumpulnya para penjahit-penjahit Kotabaru. Mungkin dulu pasar itu tempat berjualan kacang atom bukan bom atom.

Suara keras ledakan mengusik masa tidur-tidur ayam yang telah membangunkanku, buah belimbing besar jatuh di atas permukaan atap warung yang terbuat dari seng, Kelelawar buah masih bergerilya di setiap dahan pohon. Dengan bersusah payah kuangkat tubuhku untuk bisa duduk di kursi kayu itu, suaranyamuk masih berkumandang di seputar kepalaku, beberapa bentol dikulit telinga, wajah dan kakiku membuat diriku tidak nyaman.

"Ma, sudah mau ditutupkah warungnya?" tanyaku kepada ibuku yang sedang sibuk membersihkan panai batu, alat untuk menghaluskan bumbu sambal kacang gado-gado. Biasanya aktivitas mencuci panai batu dengan air cucian piring adalah kegiatan terakhir Ibu untuk menutup warung.

"Iya Di, tolong bantu Ibu masukan piring dan gelas ke dalam rak laci di bawah. Tempatkan di ujung rak di atas kertas bungkusan gado-gado ya." Pinta Ibuku yang biasa kupanggil Ema. Kuambil gelas yang masih berisi sisa air minum untuk cuci mukaku, rasa mengantuk masih menyelimuti mataku. Tidak lupa kubasahi rambutku dari sisa sedikit air digelas, lalu kurapikan rambutku menyisirnya dengan jari, tidak lupa kutarik beberapa helai rambutku ke depan kening.

Peralatan baskom lontong, sayuran dan mangkok telur yang sudah kosong kumasukkan ke dalam keranjang besar, ada pula 3 bungkus gado-gado untuk dibawa pulang. Ada dua keranjang besar dan satu keranjang kecil yang sudah kupenuhi dengan peralatan jualan ini. Satu keranjang masih berat berisi sisa lontong utuh yang tidak laku yang belum dipotong-potong. Ibu mematikan lampu dan melepaskannya dari tiang warung, kemudian menyimpannya di dalam rak meja, supaya bola lampu itu tidak dicuri orang.

Kami pun berangkat pulang dengan membawa bersama-sama keranjang besar di tengah, sedangkan tangan kanan dan kiri kami membawa keranjang yang isinya ringan, aku kebagian keranjang kecil yang ringan di sebelah kiriku. Ibuku menutup pagar halaman rumah ini perlahan agar tidak berisik. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam lewat. Suasana jalan sepi, tidak ada kendaraan yang lewat. Lampu-lampu jalan menerangi setiap jalan yang kami lewati.

"Cil, sudah pada pulang?". Tegur penjaga malam di persimpangan tiga, sebelum tanjakan jalan Demang Leman. Panggilan Cil memang digunakan untuk penyebutan ibu-ibu atau tante dalam bahasa Banjar.

"Iya nih, sudah tidak ada pembeli lagi." Jawab Ibuku, sambil permisi untuk melanjutkan perjalanan pulang.

“Hati-hati di jalan, Cil.”

Rumah kami yang berjarak sekitar 300 meter dari Warung. Naik tanjakan jalan yang gelap, tidak ada lampu penerangan di sini, tetapi jalannya lumayan besar beraspal. Yang ada hanya suara anjing menggonggong di kuburan samping Musala Miftahul Hair yang kami lewati.

Beberapa Anjing terus menggonggong di dalam pagar kuburan tua itu, aku tidak tahu makam siapa di samping Musala itu, pastinya mungkin dulu semasa hidup almarhum adalah tokoh masyarakat di desa kami ini, sehingga mendapat lokasi kuburan tepat di samping Musala, lokasi yang menurut masyarakat kami sangat bagus untuk tempat penguburan.

Mata anjing menatap kami, disela-sela pagar yang gelap, jalan kami sudah terseok-seok membawa keranjang yang berat dan terus menanjak. Tali keranjang ditangan kananku kumasukkan di pergelangan tanganku dan kupegang talinya kuat-kuat untuk bersiaga kalau anjing itu menyeruduk kami.

"Wahai yang tak kasat mata, mohon kami jangan diganggu". Suara kecil berbisik Ibuku, namun masih terdengar olehku. Kalimat itu selalu kudengar jika melewati jalan gelap dan menakutkan, sebuah tradisi suku kami untuk meminta ijin melintas kepada makhluk yang tidak kasat mata.

Aku hanya diam saja, tidak berkomentar ataupun bertanya. Moncong salah satu anjing menyeruak disela-sela pagar, menggeram beberapa kali. Terus menatap kami dengan tajam, Ibuku minta untuk berdiam dan tidak melangkah. Suasana menjadi hening sesaat, anjing-anjing tadi juga ikut diam tak bersuara dan bergerak meninggalkan makam tadi. Dadaku yang berdegup kencang, mulai tenang perlahan-lahan, walaupun hal ini sering terjadi, tetap saja rasa takut masih ada.

"Kalau kamu kencing di jalan yang sepi atau dihutan, minta ijinlah. Karena kita tidak tau kalau ada makhluk yang tidak kita lihat di depan mata kita, entah itu jin atau iblis. Kita harus percaya bahwa Allah menciptakan makhluk bukan hanya manusia saja." Itulah pesan Ibu, memang pesan ini sering kudengar dari beberapa datu-datu kami. Banyak pesan-pesan datu yang memperingati anak-anak dari turun temurun, kadang-kadang itu hanyalah sebuah mitos, namun ada maksud tersembunyi dibalik larangan itu.

Kepercayaan suku kami yang kadang dianggap mitos, misalnya:

* Tidak boleh duduk dibantal, tidak boleh duduk di tengah pintu masuk saat hujan, * tidak boleh makan lauk tanpa nasi, * tidak boleh membakar ikan kering di tengah hutan, * tidak boleh membawa telur matang di kapal laut atau sampan, * tidak boleh berfoto bersama dalam jumlah ganjil, * tidak boleh menyapu dimalam hari, * tidak boleh bernyanyi berlama-lama dikamar mandi, * tidak boleh membunuh binatang apa pun saat hamil walaupun hanya semut, * tidak boleh memakan jantung pisang, * tidak boleh berpura-pura menangis, * tidak boleh anak kecil memakan kaki ayam (ceker), * tidak boleh membuka payung di dalam rumah, * tidak boleh bersiul dimalam hari, * tidak boleh memotong kuku dimalam hari, * tidak boleh mencukur rambut dimalam hari, * tidak boleh melempar garam kepada orang lain, * tidak boleh menyisakan nasi saat makan, * tidak boleh menggigit kuku jari sendiri, * tidak boleh makan asinan dimalam hari, dan masih banyak pesan-pesan datu dulu yang masih kami ingat di Kalimantan ini.

"Di, kamu kunci pagar rumah ya". Kata Ibu, setelah kami tiba di rumah dan menempatkan semua keranjang bawaan tadi di dalam rumah.

"Iya, Ma". Jawabku, sambil membawa masuk semua sendal ke dalam pagar dan menutup pagar. Lalu pintu rumah kurapatkan.

Pintu rumah kami tidak pernah dikunci secara khusus, karena gerendel kunci pintu rusak, pintu hanya dipasangi pengunci gesper engsel di bawah pintu, lantai diujung pengunci gesper dibuat lubang, lalu ujung pengunci diikat benang nilon dan diikat melalui lubang kunci di sebelah luar pintu. Jadi kalau masuk rumah, tinggal ditarik nilonnya, sedangkan kalau menutup pintu tinggal dirapatkan maka akan terkunci dengan sendirinya.

Ku lihat Ayah sedang menyantap makan malam gado-gado yang dibuatkan Ibu dari warungnya, sambil menonton acara Aneka Ria Safari, TVRI adalah satu-satunya channel televisi saat itu dengan TV tabung hitam putih. pas terlihat lantunan lagu Malaysia, judulnya Isabela, lagu kesukaanku yang dinyanyikan oleh group Search Amy, lagu itu sangat viral di Indonesia dan Malaysia.

Begini lirik lagunya:

"Isabella adalah kisah cinta dua dunia, Mengapa kita berjumpa namun akhirnya terpisah, Siang jadi hilang ditelan kegelapan malam, Alam yang terpisah melenyapkan sebuah kisah..."

Saat itu, aku memahami lagu itu adalah sebuah cerita cinta tentang 2 dunia berbeda, dunia nyata dan dunia makhluk halus, dunia yang mempersatukan dua makhluk yang berbeda yang ditentang oleh kehidupan masing-masing. Itu hanya pemahaman diriku dari sisi yang berbeda.

"Sudah, kau cuci kaki dan muka dulu, lalu segera tidur, besok kau sekolah". Kata Ayahku.

"Iya Bah." Sahutku, panggilan Abah dalam keseharian dalam budaya suku banjar. Biasanya Ayah tidur tengah malam, setelah menonton TV hingga acara sudah habis. Biasanya TVRI berhenti siaran tepat jam 12 malam. Sebenarnya acara TV kesukaan ayah adalah Dunia Dalam Berita.

Lihat selengkapnya