TUTWURIMAN

Akhmad Rifaldi
Chapter #3

Mawar Merah Sekolah #3

Ancah, adalah sang Ketua Kelas, berlari kencang menuju bangunan bagian depan, bangunan khusus untuk berkumpulnya guru-guru untuk mengerjakan administrasi pengajaran, setelah namanya dipanggil melalui pengeras suara sekolah. Saking kencangnya berlari, Ancah melakukan pengereman atas laju kakinya tepat di tikungan di depan pintu kelas. Bunyi sepatunya berdecit menggesek keramik lantai walkway, karena gaya relativitas dari kencangnya berlari menyebabkan tubuhnya menyenggol tiang pelataran kelas.

"Awas... awas air panaasss..". Teriaknya, sambil terus berlari, menuruni tiga tapak tangga pelataran sekolah dengan cara melompat tiga anak tangga itu sekaligus. Begitu semangatnya dia jika dipanggil oleh Tata Usaha sekolah melalui pengeras suara. Sudah menjadi kebiasaan dia jika namanya disebut-sebut melalui speaker, adrenalinnya pasti meningkat tajam, stamina menjadi full, seperti mendapatkan kekuatan baru.

Diriku masih diam duduk manis di kursi kayu di dalam kelas, tidak seperti yang lain yang lebih suka mengobrol, menggosip atau berlari-lari di dalam kelas. Diriku lebih suka membuat coretan dibuku tulis. Kadang menggambar panorama alam dalam skala kecil (kira-kira 1x1 cm) atau coretan grafis atau juga simbol-simbol yang abstrak. Di sampingku Arba, hanya memandang hasil gambar yang kubuat, setelah selesai baru dia komentari hasil karyaku.

"Lagi menggambar apa kau, Di?" Tanya Arba, sambil meletakkan dagunya di lipatan tangannya, duduknya sangat manis dengan lirikan mata.

"Sayap tutwuri versi baru". Ujarku, sambil mengeluarkan pulpen warna merah dan biru yang kukeluarkan dari dalam tasku.

"Itu terus, tidak ada yang lain kah?"

"Udah sana, kau cari rumput di taman belakang, tinggal dikunyah."

"Emangnya aku ini sapi?" Katanya cemberut sambil menyenggol lenganku.

"Siapa tahu kau lapar." Timpalku sambil tersenyum.

..Gedubrak.. Ada yang menabrak pintu kelas.

"Horeee... yihaaa...", Ancah berteriak, tiba-tiba muncul dari pintu kelas sambil melompat dengan nafas yang mengos-ngos, tubuhnya menabrak pintu kelas, dia tidak menghitung antara kecepatan larinya dengan tikungan masuk kelas, untung saja pintu terbuat dari lapisan kayu tripleks tipis yang lentur, andai dari kayu ulin sekeras baja, pasti melengkung pundak tangannya.

"Tarik nafas dulu, Ancah!" Seru Riana yang biasa duduk paling depan kelas, gadis manis dengan rambut pendek yang diikat dengan pita merah. Anak yang paling rajin menulis dipapan tulis kelas, andalan ketua kelas.

"Pengumuman, berhubung Bu Agustina sedang rapat di kantor Dikbud, maka pelajaran Geografi ditugaskan untuk mencatat, Judul Bab tentang Atmosfer Bumi." Ancah menjelaskan sambil mengacungkan buku Geografi dan Kependudukan terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terbitan tahun 1980.

"Cihuuuiiii..." Semua berteriak serempak kegirangan, ada yang berjoget, ada yang mengangkat kedua tangan seperti baru saja meraih kemenangan, ada pula berteriak bergaya orang Indian menepuk-nepuk kecil ke bibir yang dimoncongkan.

"Barang siapa tidak bersungguh-sungguh mencatat, maka dilipat-gandakan dosa-dosanya." Kata Isur dengan nada keras, yang lain pun menimpali dengan tawa sekeras-kerasnya.

“Dosa-dosa kami sudah dikuasakan sepenuhnya ke Isur.” Ucap Ancah.

“Mana bisa dosa-dosa dikuasakan di atas materai.” Balas Isur.

Isur adalah teman sekelasku yang otaknya encer dan rajin beribadah. Ciri khasnya selalu mengutip kata-kata Hadist riwayat atau konotasinya dibuat mirip. Setiap kejadian yang pas, pasti keluar kata-kata mutiara religius diucapkannya.

"Riana, tolong kau tulis materi Geografinya di papan tulis kelas". Pinta sang ketua kelas kepada Riana, memang setiap pencatatan pelajaran, Riana selalu diandalkan untuk mencatat di depan kelas, selain tulisannya bagus juga dapat menulis dengan cepat.

Riana maju, dengan langkah kaki menari-nari sambil pantatnya digoyang-goyangkan, tangan kiri di pinggang dan tangan kanan diangkat gemulai ke atas, lalu meraih buku yang ada ditangan Ancah. Dia melangkah ke meja guru untuk mengambil Kapur Tulis cap Sarjana.

"Arba, kau pindah duduk ke belakang." Aku dan Arba terkejut mendengar suara yang sangat dekat dari kuping kami.

Kutoleh ke asal pemilik suara, Goceng (nama panggilan). Goceng teman sekelasku yang agak nakal tapi baik hati, gaya bahasanya selalu diselingi dengan ancaman, tidak ada yang berani jika berhadapan dengan dia. Badan besar, hitam dan sering sekali memamerkan ototnya. Matanya juga merah, seperti orang sakit mata, seperti habis minum air baygon cap orang tua. Apalagi Seusia dia, sudah sangat mengenal akrab dengan pergaulan anak muda berbau kekerasan, seluruh murid disekolah ini sangat takut kepadanya.

"Ayo cepat, atau....". Sambil tangannya mengepalkan genggamannya tepat menggesek-gesek ujung hidung Arba.

Secepat kilat Arba beranjak dari tempat duduknya, pantat menyenggol meja di sebelahnya, kakinya tersangkut kaki meja dan mengakibatkan tubuhnya terjerembap ke lantai. Arba pindah ke kursi kayu dua baris di belakangku, sekaligus menyembunyikan wajahnya dibalik tas milik Enjoy.

Goceng hanya tersenyum dengan membetulkan lipatan baju di lengan kiri dan kanannya, kulihat juga celana pendek biru yang dia kenakan juga dilipat-lipat kecil. Lipatan baju dan celana itu adalah model trendi anak muda saat itu, kalau perlu lipatannya sebisa mungkin dapat digulung setinggi-tingginya. Semakin tinggi semakin keren kali ya.

"Di, minta tolong gambarkan tato di lengan kananku". Pintanya kepadaku.

Goceng sering memintaku membuat gambar tato di lengannya, karena menggunakan pulpen biasa, cepat luntur, tidak lebih dari 24 jam sudah hilang, jadi hampir ada mata pelajaran kosong, Goceng selalu mendekat ke mejaku, dengan berganti-ganti gambar tato. Gambar ular, gambar senjata, gambar pisau, gambar mata bahkan gambar banteng yang mirip gambar kambing.

"Mau tato apa nih, Ceng?" Tanyaku dengan nada datar, karena sudah terbiasa berinteraksi dengan Goceng atau teman yang selevel dengan karakter Goceng.

"Mawar berduri, bisa?" Sambil menyodorkan contoh gambar Mawar merah yang berduri. Sepertinya ini potongan gambar logo group musik Amerika yaitu The Gun Roses, bunga mawar merah dengan pistol. Tetapi dia minta hanya mawarnya saja.

"Di, jika ada orang yang mengganggu kau, kasih tahu aku ya!" Katanya seraya melihat-lihat setiap goresan pulpenku di lengan atasnya. Penawaran perlindungan keamanan itulah upahku darinya.

"Pasti." Jawabku singkat. Aku sibuk memandang sobekan contoh mawar dan coretan dikulit lengannya.

Teman-teman dikelas sedang sibuk mencatat pelajaran yang ada dipapan tulis, sedangkan diriku sibuk menggambar bunga mawar. Jika ada yang tidak tepat goresan pulpenku, kuhapus dengan menggosok ujung jempolku. Gambar bunga mawar berduri hampir selesai, tiba-tiba datang Ujang menghampiri kami dengan senyum yang dikulum.

"Ada apa Jang?" Tanya Goceng dengan nada tidak senang.

Ujang adalah teman yang romantis, badannya tinggi jangkung, selalu berpakaian rapi walaupun tetap menggunakan celana pendek, paling senang membicarakan kecantikan wanita dan gadis-gadis yang dia sukai.

"Mau minta tolong ke Adi, sekalian curhat". Katanya agak malu-malu. Berarti aku nanti menjadi pendengar curahan hatinya lagi nih. Memang selain menggambar, keahlianku yang lain adalah membuat puisi atau surat cinta, walaupun aku tidak punya pengalaman dalam dunia percintaan, namun karena pandai merangkai kata-kata menawan, jadi beberapa temanku sering memanfaatkan keahlianku.

"Nanti giliran engkau, kalau selesai ya." Goceng terseringai.

Walaupun berbeda karakter antara Goceng dan Ujang, tetapi mereka juga satu komplotan yang suka berkumpul saat di luar jam sekolah. Itulah dunia, berbeda karakter akan mengakrabkan mereka, saling menutupi.

"Dikit lagi kan?" Tanya Ujang.

"Apanya yang sedikit". Goceng menyanggah.

"Iya, pastilah, kan tinggal durinya saja, tidak jantan kalau jadinya mawar tanpa duri". Celetuk Ujang diselingi gelak tawanya. Goceng menendang lemah ke sepatu Ujang, aku hanya tersenyum melihat kelakuan kedua orang sangar dengan orang romantis ini.

“Jang, sore ini kita ngumpul di rumahku ya?” Ajak Goceng.

“Asyik, ada minuman baru kah?” Tebak Ujang.

“Bukan, hari ini kuajarkan ilmu tenaga dalam Jambangan”.

Lihat selengkapnya